Demi harta Dirja rela melakukan pesugihan, pesugihan yang katanya aman. Tak perlu menumbalkan nyawa, hanya perlu menikah lagi saja. Semakin Dirja menikah dengan banyak wanita, maka harta yang dia dapatkan juga akan melimpah.
"Ingat, Dirja! Kamu harus menikah dengan wanita yang memiliki hari spesial, seperti wanita yang lahir pada malam satu suro. Atau, wanita yang lahir pada hari Selasa Kliwon."
"Siap, Ki! Apa pun akan saya lakukan, yang terpenting kehidupan saya akan jadi lebih baik."
Akan seperti apa kehidupan Dirja setelah melakukan pesugihan?
Benarkah pesugihan itu aman tanpa tumbal?
Gas baca, jangan sampai ketinggalan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cucu@suliani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pesugihan Aman Tanpa Tumbal
Dirja duduk terpaku, dia seperti orang yang tersihir oleh kata-kata pria tua itu. Setiap permintaan disambut dengan gerakan tanpa suara, tanpa ragu. Ketika pria tua itu memintanya melepas baju, perlahan Dirja membiarkan bajunya tersingkap satu per satu, matanya menatap kosong ke arah lain.
Tak lama kemudian, pria itu menunjuk bak mandi dari tanah liat. Tanpa mengeluh, Dirja melangkah masuk. Airnya dingin menusuk kulit, tapi wajahnya tetap tenang, tanpa tanda menggigil.
Sesekali ia menarik napas dalam-dalam, menghirup aroma bunga tujuh rupa yang tersebar di air, seperti mencari ketenangan dari keheningan. Di pinggir bak, Ki Gundul mengambil dupa yang tadi disimpan dekat sumur.
Ia memutari tubuh Dirja dengan langkah pelan, mengayunkan tangan agar asap kemenyan menari-nari menempel di kulitnya. Tubuh pria itu kini sudah tercium wangi, wangi khas bunga tujuh rupa dan juga bercampur kemenyan.
"Makan kembang kantil ini, Nak.”
Suara pria tua itu terdengar lirih, tetapi sangat tegas. Dirja mengangkat tangan, dia menerima bunga itu, lalu memasukkannya ke mulut tanpa ekspresi, seolah hal itu hanyalah rutinitas biasa.
Ki Gundul tertawa kecil, matanya berkilat puas. Kepatuhan Dirja memang sesuatu yang selalu membuatnya senang. Ini di luar ekspektasinya, karena pria itu sempat menolak untuk melakukan hal yang dia mau ketika pertama kali mereka bertemu.
"Sebenarnya untuk apa sih Ki? Kenapa saya disuruh memakan bunga kantil?"
"Nanti kamu akan tahu sendiri jawabannya setelah menjalaninya," jawab Ki Gundul.
"Tapi, saya---"
Ki Gundul menatap Dirja dengan mata tajam, Dirja langsung menunduk karena tidak sanggup untuk membalas tatapan mata pria itu. Tak lama kemudian pria itu bersuara, suaranya tenang tapi tegas.
"Turun dan pakai kembali baju kamu," perintahnya.
Tubuh Dirja menggigil hebat, kulitnya sudah pucat karena dingin yang menusuk setelah berendam. Saat kakinya menyentuh bebatuan yang ada di sana, rasa kebas menyebar ke seluruh tubuhnya, membuat langkahnya berat.
Namun, dengan napas yang tersengal, dia memaksakan diri berdiri tegak dan meraih pakaiannya. Semakin lama dia polos seperti itu, justru akan semakin menambah rasa dingin yang menusuk sampai ke tulang.
Setelah selesai berpakaian, Ki Gundul membawa Dirja ke ruang pemujaan yang remang. Di sana, aroma dupa menyambutnya, asap putih mengepul dari dupa yang terus menyala. Ayam cemani terpajang di atas meja sesaji, berdampingan dengan beberapa kue dan secangkir kopi yang pahit.
Di setiap sudut ruangan itu ada bunga tujuh rupa bertebaran rapi, hal itu tentunya menambah kesan sakral. Ketika gelap mulai merayap, pria tua itu menyalakan lampu corong di sekeliling ruangan, membuat bayangan dirinya dan juga Dirja menari di dinding.
"Duduk dan bersila, Nak," ujar Ki Gundul.
Dirja menurut, dia menundukkan kepala sambil memperhatikan sesaji yang terhampar di hadapannya. Rasa penasaran merambat di dalam dada, akhirnya suaranya memecah hening.
"Sebenarnya kita itu akan melakukan apa, Ki?"
"Akan melakukan ritual pemujaan, kamu akan menjadi budak dari penghuni hutan larangan."
Dirja mengerutkan kening, matanya menatap Ki Gundul penuh tanya. Kini kesadarannya mulai pulih, banyak pertanyaan yang berputar di otaknya.
"Maksudnya budak seperti apa? Apakah dengan melakukan ritual ini, berarti aku terjerumus pesugihan?"
Suaranya bergetar sedikit, berharap mendapat kepastian yang tidak membuatnya resah.
Ki Gundul mengulum senyum tipis, sorot matanya menenangkan.
"Tenang saja, pesugihan ini aman. Tak perlu tumbal apa pun."
Dirja menghela napas dalam, ada bayangan takut yang mulai pudar di wajahnya. Ia mulai menerima kenyataan itu, bahkan seolah tidak punya alasan untuk menolak.
Lagi pula saat ini dia memang sedang membutuhkan uang yang banyak, dia butuh modal untuk perkebunan dan juga pertaniannya. Dia butuh uang untuk biaya pengobatan istrinya, dia bahkan butuh uang untuk membayar hutang-hutangnya.
"Lalu, apa yang harus kupersembahkan pada penghuni hutan larangan di sini?" tanyanya pelan.
Ki Gundul menjawab dengan yakin, hal itu dia lakukan agar Dirja tidak memiliki keraguan sama sekali untuk melakukan pesugihan.
"Kamu cukup menikah dengan wanita yang lahir pada hari-hari spesial. Seperti menikah dengan wanita yang lahir di malam satu Suro, atau Selasa Kliwon. Mereka adalah kunci kekayaanmu. Semakin banyak wanita dengan hari spesial yang kamu nikahi, semakin bertambah pula hartamu."
Mata Dirja membelalak, campur aduk antara ragu dan antusias. Baru kali ini dia mendengar ada yang namanya pemujaan tapi tanpa tumbal, menjadi budak setan dan penuh dengan kekayaan, tetapi tidak perlu mencari orang untuk ditumbalkan.
"Serius, Ki? Hanya dengan menikah saja?"
"Ya," jawab Ki Gundul mantap. "Cuma itu."
Dirja menggigit bibir bawahnya, seperti ada sesuatu yang ingin ia tanyakan kembali. Dirja menunduk lesu, saat ini keadaannya merupakan seorang pria miskin. Bagaimana mungkin dia bisa menikahi banyak wanita?
Jangankan untuk menikah lagi, untuk membiayai istrinya, Darmi saja dia tidak memiliki uang. Dia bahkan tidak bisa membawa Darmi menuju rumah sakit untuk berobat.
"Aku paham dengan apa yang kamu pikirkan, sekarang ikuti ritual yang akan aku lakukan. Kamu cukup memotong ayam cemani yang ada di sana, darahnya kamu siramkan pada batu yang ada di dekat dupa. Lalu, untuk daging ayam cemaninya harus kamu makan sampai habis."
Mendengar ucapan Ki Gundul, Dirja tiba-tiba saja merasakan mual yang luar biasa. Dia bahkan hendak muntah, tetapi dia tahan dengan sekuat tenaga.
"Ingat, Dirja. Jika kamu mampu melewati ritual ini, jika kamu mampu memakan semua daging ayam cemani sampai habis, maka akan ada modal yang besar untuk kamu menikah dan membayar hutang."
Mendengar kata uang yang besar membuat matanya melotot.
"Benarkah?" tanya Dirja.
Dicekok terus menerus dengan kata-kata uang membuat dia lupa akan segala hal, Ki Gundul semakin bersemangat.
"Ya, jadi... mari kita mulai ritualnya. Karena semakin cepat kita memulai ritual, semakin cepat kamu mendapatkan uang dan juga kekayaan."
"Siap, Ki."
Keduanya kini sudah duduk bersila, Ki Gundul duduk berhadapan dengan Dirja. Keduanya hanya terhalang dupa yang terus menyala dan juga sesaji saja, Ki Gundul menutup matanya. Lalu, dia mulai membaca mantra.
Cukup lama pria itu komat-kamit membaca mantra, hingga tidak lama kemudian pria itu meminta Dirja untuk memotong ayam cemani. Dirja menurut, setelah ayam itu dipotong, darahnya langsung dia siramkan pada batu yang ada di ruangan itu.
Benda yang tadinya berupa batu itu tiba-tiba saja berubah menjadi wanita cantik, wanita yang begitu seksi dan kini menatap Dirja dengan tatapan yang begitu sulit untuk diartikan. Dirja dengan cepat mendekat ke arah Ki Gundul.
"Ki, itu siapa?" tanya Dirja dengan tatapan matanya yang tidak terlepas dari wanita cantik itu.
"Sudah, jangan banyak tanya. Makanlah ayamnya," perintah Ki Gundul.
punya pikiran tidak sih Dea ini.
Egois, judes dan emosian
iblis kalau di turuti semakin menjadi membawamu makin dalam terperosok dalam kehinaan .
Dirja ,ringkih banget hatimu ,baru di katain begitu kau masukkan ke dalam hati terlalu jauh ,hingga punya pikiran melenyapkan kehidupan insan tidak bersalah yang baru berkembang.
semangat teh Ucu