Demi melunasi hutang ibunya, Nayara rela menjual keperawanannya pada pria asing di hotel mewah. Ia pikir semuanya berakhir malam itu—hingga pria itu kembali muncul sebagai kakak sahabatnya sendiri.
Alaric, Pewaris keluarga kaya yang dingin sekaligus berbahaya, langsung mengenali Nayara sebagai gadis yang pernah ia sentuh. Sejak saat itu, hidup Nayara berubah jadi permainan penuh ancaman godaan dan rahasia terlarang yang siap meledak kapan saja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon OctoMoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 / THTM
Sejak hari itu, Nayara mulai mengatur jarak. Ia bangun lebih pagi agar bisa membantu ibunya di dapur sebelum Alaric turun dari kamar. Saat Elara masih terlelap, Nayara sudah berada di taman belakang, pura-pura sibuk menyiram bunga atau membantu ayahnya menata pot-pot kecil.
Namun, seolah dunia bersekongkol melawannya—setiap kali ia berusaha menjauh, sosok pria itu selalu muncul.
Pagi ini pun sama. Matahari baru naik, embun belum sepenuhnya mengering di rumput, dan Nayara tengah menunduk memungut daun kering di taman. Suara langkah berat terdengar dari arah belakang.
“Pagi yang tenang, ya?” suara bariton itu terdengar santai, tapi Nayara tahu betul siapa pemiliknya.
Ia menegakkan tubuhnya pelan, berusaha tersenyum. “Pagi, Kak Alaric.”
Alaric mengenakan kemeja putih dengan kancing terlepas dua di atas, tangannya membawa secangkir kopi. Pria itu menatapnya, seolah setiap gerakan Nayara adalah pemandangan yang menarik untuk diamati.
“Aku tidak tahu kalau kau suka membantu di taman,” ucapnya, matanya mengikuti gerak tangan Nayara yang memungut daun.
“Kadang… kalau lagi tidak ada kerjaan, aku bantu Ayah.”
“Bagus,” jawab Alaric singkat, tapi langkahnya justru semakin mendekat.
Nayara menggigit bibir bawahnya, ingin segera menyudahi percakapan ini. “Aku harus ke dapur dulu, Kak,” katanya buru-buru, lalu berbalik hendak pergi.
Namun, langkah kakinya berhenti saat suara berat itu kembali terdengar, rendah tapi tegas, seperti biasa.
“Kenapa kau selalu pergi setiap kali aku datang, Nayara?”
Pertanyaan itu membuat tubuh Nayara menegang. Ia menelan ludah, tidak berani menatap.
“Tidak, Kak. Aku cuma… takut merepotkan,” jawabnya pelan.
“Benarkah?” Alaric melangkah satu langkah lebih dekat. Hanya beberapa jengkal memisahkan mereka.
Tatapan matanya begitu dalam, membuat Nayara menunduk cepat-cepat. “Aku tidak akan menganggap kehadiranmu merepotkan.”
Suara itu, tenang tapi berisi tekanan halus yang membuat jantung Nayara berdetak tak beraturan. Ia membungkuk sedikit, pura-pura sibuk mengambil daun yang tidak perlu diambil, lalu berkata cepat,
“Aku benar-benar harus ke dapur, Kak,” dan tanpa menunggu balasan, Nayara berjalan cepat meninggalkan taman.
Alaric tersenyum samar, menatap punggung Nayara yang berlari kecil menuju pintu belakang rumah.
“Selalu berlari,” gumamnya pelan, matanya menyipit dengan ekspresi yang sulit diartikan—antara geli, tertarik, dan terobsesi.
Siang harinya, Nayara menemani Elara belajar di ruang tengah. Buku-buku berserakan di meja, dan Elara tampak serius mengerjakan tugasnya. Nayara bersyukur, ini salah satu momen aman—tidak ada Alaric, tidak ada tekanan.
Namun, rasa aman itu tidak bertahan lama.
Saat pintu ruang tengah terbuka, suara langkah itu lagi. Langkah berat yang bahkan tanpa suara pun mampu membuat bulu kuduk Nayara berdiri.
“Kalian belajar apa?” tanya Alaric tenang.
“Biologi!” jawab Elara riang, tanpa sadar Nayara mulai menunduk gelisah.
“Ah… topik menarik,” gumam Alaric sambil berjalan ke belakang kursi mereka. Ia berdiri di sana, memandangi halaman buku yang terbuka. “Tentang sistem reproduksi, rupanya?”
Nada suaranya tenang, tapi cukup untuk membuat wajah Nayara memanas. Elara, yang tidak menyadari ketegangan itu, justru tertawa. “Iya! Aku nggak suka bab ini, susah banget hafalannya.”
Alaric tertawa kecil. “Mungkin kau butuh seseorang yang menjelaskannya dengan cara lebih… praktis.”
Elara hanya mengerutkan dahi, tidak paham maksudnya, tapi Nayara tahu persis. Ia menunduk lebih dalam, pura-pura membaca. Jantungnya berdetak cepat, bukan karena topik pelajaran, tapi karena tatapan pria di belakang mereka terasa menusuk tengkuknya.
Sore itu, saat Elara tertidur di sofa, Nayara memutuskan untuk pulang. Ia pamit pada ibunya sebentar, berkata ingin mengambil beberapa buku di rumah. Tapi di depan pintu, langkahnya kembali terhenti.
Alaric berdiri di sana. Lagi-lagi.
“Kemana?” tanyanya tanpa senyum.
“Ke rumah sebentar, Kak.”
“Perlu aku antar?”
“Tidak perlu. Rumahku dekat.”
Alaric hanya menatapnya lama, sebelum akhirnya berkata pelan, “Kalau kau terus berusaha menghindar, aku akan semakin penasaran, Nayara.”
Nayara menelan ludah, tak tahu harus berkata apa. Ia hanya menunduk, melewati pria itu tanpa menatap, dan berjalan cepat menuruni tangga.
Namun satu hal yang ia tahu—tidak peduli seberapa jauh ia mencoba menjauh, bayangan itu selalu mengikuti.
Sejak percakapan itu, Nayara tidak bisa tenang. Ia merasa selalu diawasi; setiap kali menoleh ke arah jendela atau lorong, bayangan Alaric seolah ada di sana.
Siang berganti sore, dan rumah besar itu mulai terasa menyesakkan. Saat Elara tertawa sambil menonton acara televisi, Nayara duduk di sisi berlawanan, berusaha fokus menulis catatan pelajaran. Namun matanya justru menangkap sosok tinggi yang berdiri di ujung tangga.
Alaric.
Ia tidak bergerak, hanya menatap ke arah ruang tamu. Tatapan itu tenang, tapi menusuk—membuat Nayara menelan ludah dan buru-buru memalingkan wajah. Namun bahkan tanpa melihat, ia bisa merasakan bahwa pria itu masih menatapnya.
Hatinya berdetak kencang. Napasnya terasa pendek. Ia tahu, ia tidak boleh menunjukkan rasa takut, tapi tubuhnya tidak mau bekerja sama.
“Nay, kamu kenapa? Pucat banget,” tanya Elara polos.
“Enggak apa-apa… cuma pusing dikit,” jawab Nayara cepat. Ia menutup bukunya, berdiri, dan berjalan menuju dapur dengan alasan ingin minum air.
Langkahnya cepat, tapi ia tahu langkah lain mengikuti di belakangnya.
Lorong menuju dapur sepi; hanya suara langkah mereka berdua yang bergema di lantai marmer. Nayara berusaha menahan napasnya agar tidak terlalu keras, tapi setiap detik membuat jantungnya semakin kencang.
Ketika ia berhenti di depan dispenser air, suara rendah itu terdengar di belakangnya.
“Kenapa kau menghindar lagi?”
Tangannya gemetar saat menuang air. “Saya tidak—”
“Jangan bohong,” potong Alaric pelan. Suaranya datar, tapi mengandung tekanan yang membuat bulu kuduknya berdiri.
Ia menunduk, mencoba menyusun kalimat, tapi Alaric melangkah lebih dekat. Kini jarak mereka hanya setengah langkah. “Kau takut padaku?” tanyanya lagi.
Nayara tidak menjawab. Ia hanya menggenggam gelas erat-erat.
“Takut… tapi tetap di sini,” gumam Alaric, lebih pada dirinya sendiri, lalu ia mencondongkan tubuh sedikit. “Kau tahu, rasa takutmu justru membuatku ingin tahu lebih banyak.”
Nayara menelan ludah. “Saya hanya… tidak ingin membuat masalah di rumah ini.”
Alaric tersenyum tipis. “Masalah tidak selalu datang karena seseorang berbuat salah. Kadang, karena seseorang terlalu berusaha sembunyi.”
Ia berbalik perlahan, meninggalkannya di sana dengan kaki yang hampir lemas. Tatapan terakhir pria itu—sekilas saja—cukup untuk membuat Nayara tahu: ini bukan sekadar permainan.
Setiap langkahnya di rumah besar ini seolah diawasi, setiap napasnya terasa berat oleh rasa bersalah yang belum sempat diucapkan.
Ia tahu… Alaric tahu sesuatu. Entah bagaimana, pria itu selalu muncul di saat Nayara mulai tenang—menatapnya lama, tanpa kata, tapi cukup untuk membuat lututnya lemas.
Kadang Nayara ingin berlari, pulang ke rumah kecil di belakang taman, bersembunyi di pelukan ibunya. Tapi setiap kali ia mencoba mencari alasan, Elara akan menahannya dengan senyum polos.
“Nay, jangan pulang dulu, ya? Aku belum selesai belajar…”
Bagaimana Nayara bisa menolak? Ia tidak mungkin pergi begitu saja.
Namun yang paling menakutkan bukanlah tatapan Alaric, melainkan kemungkinan bahwa suatu hari, Elara akan tahu segalanya. Tentang malam itu. Tentang siapa pria yang membuatnya kehilangan segalanya.
Tentang kakaknya sendiri.
Alaric memandang dari balkon kamar atas, tempat ia bisa melihat halaman belakang dan jendela kamar Elara.
Di sana, di bawah cahaya sore, Nayara duduk membaca buku bersama Elara. Gadis itu tertawa, tapi tawa itu tampak dipaksakan—senyum yang rapuh, seperti kaca tipis yang bisa pecah kapan saja.
Alaric menyandarkan tubuh pada pagar besi, mata tajamnya tak lepas dari sosok itu.
Semakin ia mengamatinya, semakin ia sadar satu hal:
Nayara bukan hanya takut. Ia masih terikat padanya.
Seseorang yang benar-benar membenci tak akan gemetar hanya karena tatapan. Seseorang yang sudah melupakan tak akan menunduk setiap kali namanya disebut.
Alaric menghela napas pelan.
“Kau boleh bersembunyi di balik sopan santun mu, Nayara…” gumamnya lirih.
“Tapi aku tahu. Aku tidak akan pernah mau melepaskan mu.”
Sebuah senyum samar muncul di wajahnya—bukan senyum lembut, tapi lebih seperti kepastian.
Ia tahu, cepat atau lambat, gadis itu akan menjadi miliknya sendiri.
Dan ketika hari itu tiba, ia akan berdiri di sana, menunggu.