Ketika cinta pertama kembali di waktu yang salah, ia datang membawa hangatnya kenangan sekaligus luka yang belum sembuh.
Nora tak pernah menyangka masa lalu yang sudah ia kubur dalam-dalam muncul lagi, tepat saat ia telah memulai kisah baru bersama Nick, pria yang begitu tulus mencintainya. Namun segalanya berubah ketika Christian—cinta pertamanya—kembali hadir sebagai kakak dari pria yang kini memiliki hatinya.
Terjebak di antara masa lalu dan cintanya kini, sanggupkah Nora memilih tanpa melukai keduanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yellow Sunshine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pesta Musim Panas Pertama di Florida
Hari yang sudah dinanti-nantikan Nina akhirnya tiba. Sebenarnya aku juga menantikannya, namun jelas tak sebesar Nina. Aku menantikan keseruan yang ada di pesta musim panas itu. Sementara Nina sangat menantikan pertemuanku dengan pria populer bernama Nick.
Dan setelah mendengar alasan di balik keinginannya untuk mempertemukanku dan Nick, aku pun tak masalah. Aku bisa menerimanya. Sebab, Nina pada dasarnya hanya merasa bahwa Nick adalah seorang pria yang sangat baik yang harus dipertemukan denganku. Pikirnya, mungkin saja aku akan menyukainya. Setidaknya, jika aku pada akhirnya jatuh cinta dan memiliki sebuah hubungan, aku sudah menjatuhkan pilihanku pada orang yang tepat. Mungkin begitulah yang dipikirkan Nina.
Semalam aku tidur lebih awal dan bangun sebelum jam tujuh pagi. Setelah menjalani berbagai treatment di salon kecantikan kemarin dan memiliki jam tidur malam yang cukup, rasanya tubuhku begitu segar dan bersemangat hari ini. Rencana Nina benar-benar luar biasa.
Pagi ini matahari bersinar sangat terik. Benar-benar khas matahari musim panas. Beberapa menit yang lalu aku bergegas mandi, setelah Nina menghubungiku untuk memberitahu bahwa tidak lama lagi ia akan tiba di sini. Dan benar saja, begitu aku selesai menyelesaikan kegiatan mandiku, ia sudah duduk manis di atas ranjangku.
"Selamat pagi, Nora! Sudah siap untuk bersenang-senang?", tanyanya, sambil memainkan alisnya naik turun dan tersenyum.
"Ya, tentu. Aku sangat siap bersenang-senang hari ini.", jawabku. "Ehm, kamu terlihat luar biasa pagi ini, Nina.", komentarku, setelah memperhatikannya dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Kecintaannya pada fashion memang tak diragukan lagi. Hal tersebut tercermin dari bagaimana ia menata rambutnya, merias wajahnya dan memilih pakaiannya.
Seperti yang kukatakan, Nina tampak begitu luar biasa pagi ini. Ia menata rambut keritingnya dengan mengikat rambut bagian atasnya, sementara sisanya dibiarkan tergerai. Tampak sangat manis tapi tetap effortless. Lalu, ia merias tipis wajahnya dengan sentuhan dari pensil alis, maskara, eye liner, foundation, bedak dan lipstik satin yang membuatnya tampak semakin segar. Dan untuk pakaiannya, ia memilih sebuah sundress berwarna biru muda dengan motif bunga yang tampak kontras dengan kulit cokelatnya yang menawan.
Sementara itu aku berdiri di depan lemari kayuku, mencoba mencari dan memilih pakaian apa yang akan kukenakan untuk pergi ke pesta musim panas siang ini. Setelah beberapa menit menimbang-nimbang, akhirnya kuputuskan untuk memakai sebuah croptop berwarna kuning dan celana jeans high waist. Namun, belum sempat aku memakainya, Nina sudah menggerutu dan mengambil pakaian yang baru saja kukeluarkan dari dalam lemari itu.
"Ini terlalu biasa, Nora! Kamu butuh sesuatu yang lebih menarik. Biar aku bantu carikan!", kata Nina, menghampiri lemari kayuku untuk mencari sesuatu yang menurutnya akan lebih menarik untuk dikenakan.
"Hmm, ini jauh lebih baik.", gumamnya lagi, setelah menemukan apa yang ia kehendaki. Sebuah atasan off-shoulders berwarna putih dan rok jeans mini sudah berada di tangannya.
"Apa kamu yakin, Nina?"
"Tentu saja! Cepat pakailah!"
"Hmm, sempurna!", seru Nina, tampak puas melihat penampilanku saat ini.
Selanjutnya, aku memakai riasan tipis pada wajahku, lalu merapikan rambut panjangku yang kubiarkan terurai. Ibu memaksa kami menyantap roti sandwich yang sudah disiapkannya di atas meja makan bersama dua gelas susu, sebelum kami bergegas pergi. Setelah menghabiskan sarapan, barulah kami berangkat menuju Gainesville menggunakan mobil sedan putih milik Nina.
Perjalanan dari rumah menuju Gainesville membutuhkan waktu sekitar dua jam. Memang cukup jauh. Itulah alasan kenapa aku memutuskan untuk tinggal di asrama kampus saja saat perkuliahan dimulai nanti. Aku tidak ingin menempuh perjalanan yang cukup melelahkan ini setiap harinya.
Setibanya di Gainesville, matahari tampak bersinar lebih terik dari sebelumnya. Cuaca cerah musim panas membuat suasana pesta terasa semakin hidup. Dari tempat parkir mobil, aku sudah bisa melihat keramaian di area sekitar danau Wauburg, dimana tenda-tenda kecil berderet rapi dengan pita warna-warni dan bendera-bendera kecil yang melambai-lambai tertiup angin. Juga suara musik yang terdengar lirih dari arah panggung kecil yang ada di tengah area pesta.
"Saatnya bersenang-senang!", seru Nina, menatap keramaian di depan sana dengan mata berbinar dan senyuman lebar. Tampak begitu bersemangat.
Udara hangat musim panas bercampur aroma makanan dari food truck yang berbaris di sisi danau, menyambut kami yang baru saja turun dari mobil. Di depan kami, beberapa mahasiswa tampak berlalu lalang, mengenakan sundress, tanktop, croptop, kemeja motif tropis dan pakaian musim panas lainnya.
"Hei, Nina! Kukira kamu tidak akan datang!", seru seorang mahasiswa bertubuh mungil dengan wajah asianya yang tampak ramah. Pasti itu teman Nina.
"Hei, Sarah! Tentu saja aku datang. Aku tidak akan pernah melewatkan pesta musim panas tahunan yang menyenangkan ini.", jawab Nina, sambil memeluk temannya yang bernama Sarah tersebut.
"Hei, Siapa ini? Sepertinya aku belum pernah melihatnya bersamamu.", tanya Sarah, menatap kehadiranku.
"Ah, Benar. Perkenalkan, ini Nora. Sebentar lagi, dia akan menjadi teman satu asrama kita.", kata Nina, memperkenalkanku pada Sarah. "Nora, ini Sarah. Dia tinggal tepat di sebelah kamar asrama kita. Dan dia sangat pandai memasak. Kamu pasti akan tergila-gila pada setiap masakannya nanti.", lanjut Nina, bergantian memperkenalkan Sarah padaku.
"Hai, Nora! Kita pasti akan sering bertemu nanti. Aku akan membuat sesuatu yang enak saat kamu tiba di asrama.", kata Sarah, tersenyum simpul.
"Wah! Trims, Sarah. Aku jadi tidak sabar tinggal di asrama."
"Ya. Kamu tidak akan pernah menyesal tinggal disana. Percaya padaku!", sahutnya. "Baiklah, kalian bersenang-senanglah! Aku akan pergi kesana dulu! Sampai jumpa!"
"Sampai jumpa!", balasku dan Nina, bersamaan.
"Dia orang yang menyenangkan, Nora. Kamu pasti akan menyukainya juga."
"Ya, seperti begitu."
Kami mengambil minuman soda dan meneguknya sedikit demi sedikit, sambil berjalan perlahan menyusuri area pesta. Kemudian, Nina tiba-tiba menghentikanku dan mencondongkan tubuh untuk berbisik di dekat telingaku.
"Coba lihat ke arah jam dua! Pria yang berdiri tepat di bawah pohon besar dan sedang berbicara dengan dua orang temannya, itu adalah Nick.", bisiknya.
Aku sontak mengikuti arah pandangannya, ke sebuah pohon besar yang rindang. Di bawah sana berdiri seorang pria berbadan tinggi dengan punggung yang lebar. Aku tidak bisa melihat seperti apa wajahnya, karena ia berdiri membelakangi kami. Yang bisa kulihat hanya postur tubuhnya yang proporsional dengan rambut cokelatnya yang rapi.
"Nick!", seru Nina, memanggil pria tersebut.
Pada detik berikutnya, pria itu pun menoleh, membalikkan badannya menghadap ke arah kami. Aku menegang sejenak. Bukan karena gugup. Melainkan karena aku sepertinya mengenali wajah itu.
"Nina...", bisikku pelan. "Sepertinya aku mengenalinya."
Nina tampak mengernyit heran. "Apa? Kamu pernah bertemu Nick sebelumnya?", tanyanya.
"Ya. Kamu ingat dengan pria hangat yang kutemui di pantai yang pernah kuceritakan padamu? Sepertinya itu dia."
"Wah, takdir benar-benar tahu cara bermain, Nora!"
Pria bernama Nick itu datang menghampiri kami. Kedua matanya menatapku, sementara wajahnya tampak sedang berpikir, seperti mencoba mengingat.
"Hei, Nina! Bagaimana kabarmu?", tanyanya, tersenyum ke arah Nina.
"Baik, Nick. Kamu sudah kembali ke sini? Kukira kamu masih mengunjungi rumah paman dan bibimu di Riverview."
"Ya. Aku baru tiba semalam.", jawabnya. Pria itu lalu menatapku lagi. "Hai! Apakah kita pernah bertemu sebelumnya? Rasanya aku pernah melihatmu di suatu tempat.", tanyanya dengan suara rendah dan hangat.
"Hai! Kamu pernah membantuku memperbaiki ban belakang sepedaku yag bocor di pantai sore itu.", jawabku, sambil tersenyum.
Pria itu sontak tertawa. "Ah, benar. Pantas saja. Kamu terlihat familiar. Hai, aku Nick. Kita belum sempat berkenalan hari itu.", katanya, mengulurkan tangan padaku.
Aku menjabat uluran tangannya, sambil tersenyum. "Hai! Aku Nora! Sekali lagi, terimakasih untuk bantuanmu saat itu."
"Sama-sama, Nora!"
"Wah, jadi kalian sudah saling mengenal?", sahut Nina, tiba-tiba.
"Ya, secara tidak sengaja.", jawabku.
"Jadi, apa kamu juga berkuliah di sini, Nora? Sepertinya aku belum pernah melihatmu di area kampus?"
"Ehm, ya. Aku baru saja pindah dari California. Aku baru akan mulai berkuliah disini akhir bulan nanti."
"Hmm, pantas saja. Lalu, bagaimana kalian bisa saling mengenal, Nina? Apa Nora ini teman masa kecilmu atau semacamnya?"
"Bukan, Nick. Takdir yang sudah mempertemukan kami, seperti ia mempertemukan kalian.", jawab Nina sambil tersenyum.
Tidak lama dari itu, Nina pergi meninggalkan kami berdua. Katanya ia ingin pergi ke toilet. Jelas, aku tidak percaya itu. Sepertinya ia sengaja melakukannya untuk memberiku ruang dan waktu mengobrol berdua dengan Nick. Dasar Nina!
Sesuai harapan Nina, percakapan kami berlangsung ringan dan panjang. Tak terasa, kami berdiri cukup lama di dekat danau, membahas musik yang sedang dimainkan, makanan yang wajib dicoba di pesta ini, bahkan beberapa hal remeh seperti film favorit, buku terakhir yang dibaca dan hal-hal remeh lainnya.
"Mau berjalan-jalan?", tanya Nick.
"Ya, tentu.", jawabku.
Kami berjalan-jalan menyusuri area pesta yang begitu luas. Semakin lama, suasana pesta semakin terasa hidup dan meriah, musik terdengar semakin kencang, dan aroma berbagai makanan yang menggoda selera menari di udara. Tepat di ujung sana, terlihat sebuah photobooth bergaya retro yang dihias lampu-lampu kecil.
"Mau mencobanya?", tanya Nick.
"Boleh."
Aku dan Nick berjalan ke arah photobooth, lalu masuk ke dalamnya. Di dalam ruangan sempit ini ternyata terdapat cukup banyak properti yang lucu dan menarik. Kami duduk bersebelahan dengan perasaan sedikit canggung. Begitu layar kecil menyala dan menghitung mundur, Aku mengambil kacamata besar berbentuk bunga matahari dari kotak properti. Sementara Nick mengambil sebuah topi badut yang tampak konyol. Kami berdua tertawa.
Klik!
Foto pertama tertangkap, menampakkan wajah kami yang tengah tertawa lepas. Lalu layar kembali menghitung mundur.
Pada detik terakhir sebelum kamera kembali menyala, aku dan Nick tanpa sengaja saling menoleh. Wajah kami begitu dekat. Nafasku pun seketika tertahan. Untuk sepersekian detik, hanya ada tatapan mata itu, yang dalam dan penuh kehangatan. Senyuman manis tiba-tiba muncul di wajah Nick, dan entah kenapa aku ikut tersenyum juga.
Klik!
Foto kedua menangkap gambar itu, dimana aku dan Nick saling menatap sambil tersenyum. Terlihat seperti dua orang yang sedang jatuh cinta saja. Lalu kami melanjutkan foto kedua dan ketiga dengan sisa rasa canggung yang ada.
Nick mencetak foto-foto kami tadi, lalu membagikan satu lembar untukku dan satu lembar lagi untuknya.
"Simpanlah! Sebagai bukti bahwa kita pernah menikmati pesta musim panas yang menyenangkan ini.", kata Nick, menatapku sambil tersenyum hangat.
Saat menatap kedua mata Nick, entah kenapa, rasanya seperti ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuatku merasa nyaman. Sungguh aneh. Padahal ini baru kedua kalinya kami bertemu.
Kami kembali berjalan-jalan menyusuri area pesta, hingga Nina kembali bergabung bersama kami.
Waktu terasa berjalan begitu cepat, bahkan mungkin setengah berlari. Tanpa sadar malam mulai turun dengan sempurna, dan lampu-lampu kecil yang tergantung di pepohonan mulai menyala satu per satu. Suasana pesta pun perlahan berubah, menjadi lebih lembut dan hangat. Diiringi suara dentingan gitar dari panggung kecil yang mengalun, menciptakan nuansa yang begitu berbeda dari siang tadi. Ramai, tapi tak lagi riuh. Penuh tawa, tapi tak lagi gegap.
Kami bertiga duduk di atas tikar rumput, di tengah kerumunan mahasiswa yang tengah menikmati penampilan band indie lokal, yang membawakan lagu-lagu bernuansa indie-mellow yang terdengar hangat dan nyaman di telinga. Lagu-lagu ini baru pertama kali kudengar. Namun, aku bisa memasukkannya ke dalam daftar lagu di ponselku yang akan kudengarkan setiap hari.
Angin malam Florida mulai bertiup lirih. Tidak dingin menusuk, tapi cukup membuatku merinding dan refleks merapatkan lenganku, menyilangkan tangan ke dada.
Nick yang duduk di sampingku sepertinya menyadarinya. Tanpa banyak berkata, ia melepas kemeja panjang miliknya, lalu memakaikannya di atas tubuhku.
"Tidak usah, Nick!", kataku.
"Pakai saja, Nora!", katanya, agak memaksa.
"Tapi kamu..."
"Aku baik-baik saja.", sahutnya, tersenyum tipis. "Kamu lebih membutuhkannya."
"Trims, Nick."
"Sama-sama."
Nina tampak senang melihat kedekatan diantara kami. Ia tersenyum penuh arti, sambil mendekap sebelah tanganku erat. "Sudah kubilang, Nick pria yang sangat baik!", bisiknya lirih. Dan aku menatapnya sambil tersenyum.
Aku kembali menikmati penampilan band indie lokal di depanku. Merasakan lagu-lagu mereka yang terdengar syahdu. Keheningan pun kembali tercipta. Kali ini bukan keheningan yang canggung, melainkan rasa nyaman.
Aku sangat menikmati semua yang indraku tangkap saat ini. Penampilan band di panggung yang memukau, lagu-lagu indie-mellow yang mereka bawakan, juga aroma maskulin, bersih dan sedikit wangi kayu manis yang menyeruak dari kemeja panjang milik Nick yang menutupi tubuhku. Semua terasa sangat nyaman.