Aku, Ghea Ardella, hanyalah seorang gadis pecinta sastra,menulis mimpi di antara bait-bait senja,
terobsesi pada harapan yang kupanggil dream,dan pada seorang pria yang kusebut my last love.
Dia, pria asal Lampung yang tak pernah kusentuh secara nyata,hanya hadir lewat layar,namun di hatiku dia hidup seperti nyata.
Aku tak tahu,apakah cinta ini bersambut,
atau hanya berlabuh pada pelabuhan kosong.
Mungkin di sana,ia sudah menggenggam tangan wanita lain,sementara aku di sini, masih menunggu,seperti puisi yang kehilangan pembacanya.
Tapi bagiku
dia tetaplah cinta terakhir,
meski mungkin hanya akan abadi
di antara kata, kiasan,
dan sunyi yang kupeluk sendiri.
Terkadang aku bertanya pada semesta, apakah dia benar takdirku?atau hanya persinggahan yang diciptakan untuk menguji hatiku?
Ada kalanya aku merasa dia adalah jawaban,
namun di sisi lain,ada bisikan yang membuatku ragu.
is he really mine, or just a beautiful illusion?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Thalireya_virelune, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kebangkitan di titik terendah
Malam itu, aku tak mau menunda lagi. Segera aku menyiapkan perlengkapan perawatan tubuh, wajah, dan rambut.
Aku membuka YouTube, mencari tutorial perawatan dan cara berdandan yang simpel tapi efektif.
Perlahan, aku mulai mengikuti langkah demi langkah, belajar merapikan rambut, membersihkan wajah, dan memperhatikan detail kecil yang sebelumnya terabaikan.
Setiap gerakan terasa seperti ritual baru ,sebuah usaha untuk memperbaiki diri, bukan untuk orang lain, tapi untukku sendiri. Sedikit demi sedikit, aku merasakan perubahan, bukan hanya di penampilan, tapi juga di hati.
“Kalau aku konsisten, aku bisa lebih percaya diri aku bisa bangkit dan menatap dunia dengan kepala tegak,” gumamku pada diri sendiri, sembari menatap cermin kecil di meja.
Tiba-tiba, Mama masuk ke kamar.
“O, ya Kak, ayo makan!” serunya sambil tersenyum.
Matanya berhenti sejenak, menatapku dengan ekspresi kaget. “Tumben kamu perawatan? Habis disakiti siapa nih?” tanyanya, nada suaranya setengah bercanda tapi penuh rasa ingin tahu.
Aku tersenyum canggung, sedikit menunduk. “Eh,gak apa-apa, Ma. Cuma pengen… mencoba merapikan diri saja,” jawabku pelan, berusaha terdengar santai.
Mama mengangkat alisnya, lalu tersenyum tipis. “Hmm… baguslah kalau begitu. Tapi jangan lupa makan dulu, ya. Nanti kalau perawatan terus tapi gak makan, malah sakit badan,” ucapnya sambil menatapku lembut.
Aku mengangguk, merasa hangat sekaligus sedikit malu karena ketahuan sedang fokus memperbaiki diri.
Beberapa saat kemudian, aku keluar dari kamar dan menuju meja makan. Malam itu, keluarga sudah berkumpul: Mama Helena, Ayah, dan Bella, adikku yang selalu ceria.
“Sudah siap makan, Kak?” tanya Bella sambil tersenyum manis.
Aku tersenyum balik, duduk di kursi. Aroma masakan hangat menyambutku, membuat perutku yang tadi sedikit kosong menjadi lapar.
Suasana hangat keluarga membuat hatiku sedikit tenang, meskipun bayangan Reza masih sesekali muncul di benakku.
“Kakak kelihatan segar banget hari ini,” ucap Bella sambil tersenyum, matanya berbinar penuh kekaguman.
“Iya, kok kayak ada yang beda, ya?” timpal Ayah, menatapku dengan penuh perhatian.
Mama tersenyum lembut sambil mengangguk. “Anak kita sekarang lagi belajar perawatan dia itu,makannya keliatan segar"
Aku tersenyum malu, menunduk sedikit. “Iya,cuma pengen mencoba merapikan diri sedikit,” jawabku pelan.
“Merapihkan diri sedikit? Atau karena putus cinta?” Ayah bergurau sambil tersenyum nakal.
Aku menelan ludah kecil, tersenyum canggung. Gurauan Ayah itu benar… tapi juga tidak sepenuhnya.
Sebenarnya, semua ini kulakukan bukan karena Reza, bukan karena ingin membuat siapa pun terkesan.
“Aku cuma ingin melakukan ini untuk diriku sendiri, Yah,” jawabku pelan, menatap Ayah. “Biar lebih percaya diri dan merasa lebih baik dengan diri sendiri.”
“Baguslah kalau begitu. Fokus sama diri sendiri itu penting, Nak. Kalau sudah cantik, cinta yang benar akan datang sendiri.”timpal ayah.
Aku menarik napas panjang, hatiku terasa sedikit lega. Sekarang aku semakin yakin, langkah-langkah kecil ini harus semangat aku jalani,demi jadi cantik, berkualitas,dan berharga.
Setelah makan malam selesai, aku kembali ke kamar dengan semangat baru. Kali ini bukan sekadar mencoba merapikan diri secara spontan, tapi aku ingin benar-benar membuat perubahan untuk diriku sendiri.
Aku membuka laptop dan mulai meneliti hal-hal yang perlu dipersiapkan untuk pergi ke Jepang: biaya hidup, pekerjaan yang bisa dicoba, hingga tempat tinggal yang nyaman. Setiap informasi yang kubaca membuat semangatku semakin membara.
Di sisi lain, aku menyiapkan alat-alat perawatan dan kosmetik yang kubutuhkan. Setiap langkah kecil itu membuatku merasa lebih percaya diri.
“Kalau aku konsisten, aku yakin bisa berubah,aku bisa menjadi versi diriku yang lebih baik." gumamku sambil menatap cermin. Bayangan gadis rapuh yang dulu mudah terluka mulai tergantikan sosok Ghea yang tegas, mandiri, dan fokus pada masa depannya sendiri.
Aku menatap sekeliling kamar sebentar, menata beberapa alat perawatan yang baru saja kupakai, lalu menutup laptopku. Tubuhku terasa lelah setelah hari yang panjang dan penuh pikiran tentang masa depan.
Dengan langkah pelan, aku merapikan selimut dan berbaring di ranjang. Mata ini terasa berat, dan perlahan aku menutupnya.
Malam itu, aku tidur dengan hati yang sedikit lebih ringan daripada sebelumnya.
Meski luka dan kenangan pahit masih tersisa, kini ada secercah harapan yang menghangatkan.