“SANDRAWI!”
Jeritan Ratih memecah malam saat menemukan putrinya tergantung tak bernyawa. Kematian itu bukan sekadar duka, tapi juga teka-teki. Sandrawi pergi dalam keadaan mengandung.
Renaya, sang kakak, menolak tunduk pada kenyataan yang tampak. Ia menelusuri jejak sang adik, menyibak tiga tahun yang terkubur. Dan perlahan, luka yang dibungkam mulai bersuara.
Mampukah Renaya memecahkan misteri tersebut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lirien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Surat terakhir
Teruntuk keluargaku… jika kalian membaca surat ini, berarti aku sudah tidak lagi bersama kalian. Maaf… maafkan aku yang memilih jalan ini. Aku sudah tidak sanggup lagi bertahan…
Renaya menggigit bibirnya, jemarinya gemetar saat membaca tulisan terakhir dari sang adik, Sandrawi.
Untuk Bapak dan Ibu… maafkan aku yang gagal menjadi anak baik. Maaf karena tak mampu membuat kalian bangga. Aku tahu perbuatanku tak layak dimaafkan… Sandrawi paham… aku sudah mencoreng nama keluarga… aku sadar tak ada tempat untukku di rumah ini lagi… Maaf… Sandrawi menyesal…
Air mata menetes deras di pipi Renaya. Ia mengusap kasar matanya, namun tangisan justru semakin deras.
Untuk Mbak Kinasih, Mbak Renaya, dan Adibrata… tolong jaga Bapak dan Ibu… Sandrawi pamit…
Paragraf terakhir menusuk jantung Renaya tanpa ampun. Tubuhnya lunglai bersandar di dinding kamar, dada terasa nyeri seakan dipukul berkali-kali. Logika separuhnya masih menolak, menolak keras kenyataan bahwa adiknya mati dengan cara semacam itu… di rumahnya sendiri.
Surat itu jatuh terlepas dari genggamannya, melayang dan mendarat di lantai. Renaya tak peduli lagi. Ia hanya berharap… berharap besar jika kehamilan Sandrawi bukanlah kehendaknya sendiri. Ia masih ingin percaya… bahwa ini semua kecelakaan atau kejahatan seorang lelaki tak berperasaan.
Namun… kalimat-kalimat dalam surat itu terlalu jelas. Sandrawi… adiknya sendiri… melakukan semua itu dengan sadar.
“Apa yang kau pikirkan, Sandrawi?” Renaya berbisik, suaranya nyaris tak terdengar. “Kenapa kau memilih jalan ini?”
Ia menggeleng keras. Tak masuk akal. Adiknya yang lembut, pemalu, bahkan menundukkan wajah saat dipuji oleh lawan jenis, bagaimana bisa… sejauh ini?
Lebih buruk lagi… Sandrawi pergi meninggalkan mereka semua dalam kesenyapan, tanpa pernah membisikkan keluh, tanpa membagi beban.
Renaya tetap di kamar itu, berusaha mengingat lagi potongan-potongan masa lalu. Semua tawa, kehangatan, kebersamaan. Semua kenangan yang kini hanya menjadi sisa-sisa nyeri.
Malam pun berakhir dengan Renaya tertidur, tubuhnya menggigil lelah, wajahnya basah air mata, di kamar yang pernah menjadi tempat tidur adik tercintanya.
Di sisi lain, Kinasih dan Bagantara juga belum pulang. Mereka menetap sementara di rumah besar yang kini terasa begitu hampa.
Dari dalam kamar, Bagantara melirik Kinasih yang baru saja masuk.
“Bagaimana kondisi Ibu?” tanyanya pelan.
Kinasih mengangkat bahu santai. “Masih tertidur… tapi terus mengigau… menyebut nama Sandrawi berkali-kali.”
“Mungkin sebaiknya Ibu kita bawa periksa besok… syok seperti ini nggak bisa dianggap remeh,” saran Bagantara.
“Ah, ngapain dibawa-bawa ke dokter?” Kinasih mencibir, menghempaskan tubuh ke kasur. “Lama-lama juga hilang sendiri. Untuk apa nangisin anak nggak tau diri yang cuma bikin malu keluarga?”
Bagantara tak membalas, hanya menghela napas. “Sudah… tidur saja.”
Kinasih ikut berbaring, lalu menepuk dahi pelan. “Aku lupa ambil air putih.”
“Biar aku ambil,” Bagantara menawarkan.
Tak lama kemudian, ia bangkit, berjalan ke luar kamar. Dapur terletak di bagian belakang rumah, ia harus melewati ruang tengah yang remang dan lorong menuju dapur. Tak satupun lampu menyala kecuali bohlam temaram di dinding.
Langkahnya melambat saat melewati kamar Sandrawi. Dari celah pintu, ekor matanya menangkap sekelebat bayangan.
Bagantara mengerutkan dahi, perlahan mundur beberapa langkah.
“Apa cuma halusinasi?” pikirnya.
Ia menutup pintu kamar Sandrawi rapat, lalu lanjut berjalan ke dapur. Baru saja menuang air ke dalam gelas, terdengar suara pintu berderit.
Kepalanya menoleh cepat ke arah suara. Pintu kamar Sandrawi… kembali terbuka perlahan.
Bagantara berdiri kaku, menunggu seseorang muncul… namun tak ada siapapun.
“Renaya?” panggilnya. “Pak? Bu?”
Tak ada jawaban. Sunyi. Bagantara mencoba mengabaikan desiran dingin di tengkuknya. “Pasti cuma angin,” batinnya. Meski ia tahu betul seluruh rumah terkunci rapat. Tak ada angin malam yang bisa mendorong pintu terbuka seperti itu.
Ia mencoba menenangkan diri, menuang air lebih cepat. Namun sial, tangannya terpeleset, teko air jatuh, menumpahkan genangan ke lantai.
“Brengsek…” desisnya kesal.
Sambil membersihkan air dengan keset, matanya mencari teko yang barusan jatuh. Namun… teko itu tak ada.
Bagantara berjongkok, mengintip ke bawah meja, ke sudut dapur… nihil. Teko menghilang.
“Apa aku taruh di mana tadi, ya?” gumamnya, mencoba berdamai dengan pikirannya sendiri.
Hingga saat ia hendak kembali ke kamar… matanya terpaku. Teko itu… berdiri manis di meja ruang tengah.
Tubuh Bagantara kaku, napasnya tercekat. Ia tahu jelas, bahkan semenit lalu ia tidak melewati ruang tengah. Tak ada alasan teko itu bisa berpindah ke sana.
Dengan tubuh berat, Bagantara mengambil teko, kembali menaruhnya di tempat semula, lalu buru-buru membawa segelas air menuju kamar. Namun… ketika melewati kamar Sandrawi, bulu kuduknya berdiri.
Seolah ada sesuatu yang menatap dari balik ruangan itu.
Ia mempercepat langkah, namun saat melewati ruang tengah, matanya kembali menangkap bayangan… sosok perempuan tengah duduk bersimpuh.
“Renaya?” panggilnya, suara agak serak. “Ngapain duduk gelap-gelapan?”
Tak ada jawaban.
Bagantara menyalakan lampu.
Kosong. Tak ada siapa-siapa.
Ia matikan lampu.
Sosok itu kembali duduk… dengan rambut panjang terurai menutupi wajah.
Bagantara menyalakan lampu lagi… sosok itu lenyap.
Mematikannya sekali lagi… dan perempuan itu berdiri… tepat di hadapannya.
“AAAHH!”
Suara teriakan Bagantara membelah kesunyian malam, bersamaan dengan kaca gelas yang pecah di lantai, membangunkan seisi rumah.