NovelToon NovelToon
Diselingkuhi Dokter, Dipinang Pemilik Rumah Sakit

Diselingkuhi Dokter, Dipinang Pemilik Rumah Sakit

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Cinta Terlarang / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Penyesalan Suami / Pelakor jahat
Popularitas:8.3k
Nilai: 5
Nama Author: Isti arisandi

Kinanti, seorang dokter anak yang cerdas dan lembut, percaya bahwa pernikahannya dengan David, dokter umum yang telah mendampinginya sejak masa koass itu akan berjalan langgeng. Namun, kepercayaan itu hancur perlahan ketika David dikirim ke daerah bencana longsor di kaki Gunung Semeru.

Di sana, David justru menjalin hubungan dengan Naura, adik ipar Kinanti, dokter umum baru yang awalnya hanya mencari bimbingan. Tanpa disadari, hubungan profesional berubah menjadi perselingkuhan yang membara, dan kebohongan mereka terus terjaga hingga Naura dinyatakan hamil.

Namun, Kinanti bukan wanita lemah. Ia akhirnya mencium aroma perselingkuhan itu. Ia menyimpan semua bukti dan luka dalam diam, hingga pada titik ia memilih bangkit, bukan menangis.

Di saat badai melanda rumah tangganya datanglah sosok dr. Rangga Mahardika, pemilik rumah sakit tempat Kinanti bekerja. Pribadi matang dan bijak itu telah lama memperhatikannya. Akankah Kinanti memilih bertahan dari pernikahan atau melepas pernikahan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isti arisandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 6. Malam bergelora

… Bibir mereka bertaut. Lama. Diam. Tapi bergetar, karena gairah, karena rasa hangat yang ikut menyusup di setiap hembusan napas.

Hujan masih turun, semakin deras. Di balik jendela, kabut mulai menyelimuti halaman villa, menciptakan dunia kecil yang terasa terisolasi dari realitas.

David melepaskan tautan itu perlahan. Ia menatap Naura dengan napas memburu, kening mereka masih saling menempel, mata saling mencari jawaban.

“Kenapa kamu melakukan ini padaku?” bisik David, matanya redup. "kucing kecil, kamu sangat nakal."

Naura menggeleng. “Aku nggak tahu. Aku hanya… merasa ini satu-satunya waktu kita untuk jujur.” Tangan Naura bermain di dada bidang kakak iparnya.

David menyentuh pipi Naura yang mulai basah oleh air mata. “Jujur… tapi juga menyakitkan.”

Naura tersenyum kecil di antara air matanya. “Lebih menyakitkan kalau aku pergi tanpa tahu bahwa pernah… walau hanya sebentar… kamu menginginkanku seperti aku menginginkanmu.”

David mengusap air mata di wajah Naura. “Naura… aku pria yang terlalu sering menahan diri. Tapi malam ini… aku kalah.”

Naura meletakkan dada David yang berdegup cepat. “Malam ini nggak akan aku lupakan.”

Mereka saling memandang, tanpa banyak kata, hanya pelukan erat. Pelukan yang dalam. Bukan hanya karena hasrat, tapi karena kekosongan yang telah terlalu lama tak diisi. Pelukan dua hati yang terluka, yang lelah berpura-pura kuat.

Mereka duduk berdampingan, tidak bicara, hanya bersandar satu sama lain, saling menyentuh tangan, saling menenangkan jiwa masing-masing.

Malam itu seperti bersekongkol dengan takdir, hanya ada suara desir angin, gemerisik dedaunan yang menari di luar jendela villa, dan degup jantung dua insan yang kini berada dalam satu ruang yang sama.

Dengan keputusan penuh pertimbangan, David mendorong tubuh Naura, gadis itu rebah dengan posisi pasrah.

David merubah posisi duduknya, tubuhnya sedikit membungkuk ke arah Naura yang terbaring dengan pipi kemerahan. Mata mereka saling menatap dalam diam panjang, namun tidak ada satu pun kata yang mampu menandingi percakapan mata mereka.

Ada rasa yang menggantung lama, seolah semesta sendiri menunggu keduanya saling menjatuhkan ego yang tersisa.

Jari-jari David menyentuh pipi Naura, pelan, penuh rasa ingin melindungi. “Kamu tahu,” bisiknya lirih, “kadang aku takut menyentuhmu... Aku takut kamu akan menyesalinya."

Naura menutup mata, membiarkan jemari David menjelajahi lekuk wajahnya, seolah sedang mengukir kenangan di benaknya. “Aku tidak akan menyesalinya Mas David... jika kamu yang memelukku.” panggilan kakak pun berubah menjadi Mas. Terdengar merdu dan manja.

Hening. Lalu satu senyum tumbuh di bibir David. Pelan, ia menunduk dan mengecup kening Naura dengan penuh kelembutan. Ciuman itu bukan sekadar sentuhan, tapi janji yang meresap jauh ke dalam dada Naura, membuat napasnya tercekat oleh haru.

"Kalau malam ini kita hanya punya waktu beberapa jam untuk saling mencinta," ucap David dengan suara berat, "aku ingin setiap detiknya menjadi puisi."

Naura tersenyum tipis. “Kalau begitu... tulislah aku malam ini dengan jemarimu.”

Dan saat itu, waktu seperti berhenti.

David menyentuh Naura seakan sedang membaca halaman paling indah dari sebuah buku yang sudah lama ingin ia buka. Tiap inci kulitnya disentuh bukan dengan nafsu, tapi dengan pemujaan. Naura bukan sekadar perempuan yang ia inginkan, tapi jiwa yang selama ini ia rindukan dalam setiap malam-malam sunyi. Cinta mulai tumbuh dan bersemi karena tragedi Semeru.

Mereka saling merapat. Nafas yang tadinya berjarak kini berpadu dalam irama yang tenang. David menatap wajah Naura dari dekat, mengusap rambut gadis itu yang terurai di atas bantal.

"Apakah kamu sadar," katanya sambil mengelus lembut lengan Naura, "bahwa aku selalu berdoa agar malam seperti ini datang? Malam di mana kita tidak perlu berkata-kata, hanya perlu saling diam dan saling percaya.”

Naura mengangguk. Matanya berkaca-kaca. Tubuhnya perlahan ia geser, mendekap David dengan kedua tangannya. “Aku juga... selama ini aku hanya ingin dicintai tanpa dituntut. Dan hanya kamu yang membuatku merasa cukup. Berarti Mas David menghindari aku itu hanya bohong."

Di luar, suara dedaunan bergetar. Di dalam kamar, hanya ada desir napas dan detak jantung yang mulai berpadu dalam satu irama. David menarik selimut, menyelimuti tubuh mereka seperti ingin membungkus malam itu agar tidak lekas habis. Ia menunduk, mencium ujung hidung Naura, lalu bibirnya turun ke pelipis, ke pipi, lalu berhenti di bibirnya.

Kecupan itu bukan ledakan. Ia lembut, dalam, dan begitu lambat hingga Naura merasakan waktu berhenti berputar. Sentuhan bibir mereka mengalir pelan, menembus dinding-dinding rasa yang selama ini hanya mereka simpan diam-diam.

David menyentuh tangan Naura dan meletakkannya di dadanya. "Rasakan," bisiknya, "itu detak jantungku. Malam ini, setiap detaknya hanya memanggil namamu."

Naura memejamkan mata. Air mata haru menetes di sudut matanya. Tidak pernah dalam hidupnya ia merasa begitu dicintai tanpa harus menjadi apa-apa. Di hadapan David, ia boleh rapuh, boleh menjadi perempuan biasa, dan tetap dicintai dengan luar biasa.

Mereka mulai menyatu dalam dekap. Tanpa tergesa, tanpa tuntutan. Setiap gerakan adalah bahasa kasih. Setiap pelukan adalah penyembuh luka-luka lama yang tak pernah mereka tunjukkan pada dunia.

David mengusap punggung Naura, membelainya seperti angin musim semi yang datang setelah badai. Naura menyandarkan wajah di bahu David, mencium lehernya pelan, seolah berkata, “Terima kasih karena tidak terburu-buru membaca ku.”

Malam berlanjut, seakan memberi izin bagi dua tubuh untuk saling mengobati. Nafas mereka menjadi musik lembut yang mengiringi gelombang rasa yang datang silih berganti.

Di dada David, Naura menemukan kedamaian. Di pelukan Naura, David menemukan rumah.

Tak ada jeritan. Tak ada gairah yang memburu-buru waktu. Yang ada hanya getar kecil, pelukan panjang, dan bisikan-bisikan lembut di antara sunyi.

“Aku takut esok pagi kamu berubah pikiran,” kata David, menggenggam jemari Naura yang kecil dan hangat.

Naura memandangnya, lalu mencium punggung tangan pria itu. “Kalau aku berubah pikiran, itu hanya karena aku ingin lebih jatuh cinta padamu lagi. Bukan pergi.”

David mencium kening Naura untuk kesekian kalinya. Tak pernah ada yang bisa mengukur cinta, tapi malam itu, mereka merasa tak ada lagi yang perlu ditakar.

Waktu perlahan berjalan, namun rasanya seperti mereka hidup dalam dimensi yang hanya mereka berdua yang tahu.

Keduanya bergerak dengan ritme halus dan lembut. David takut menyakiti Naura, Davit yakin ini untuk pertama kali bagi adik iparnya yang memiliki mata indah itu.

"Sakit?"

"He,em." Naura mengangguk pelan. Dia mencengkeram punggung David hingga kukunya membekas.

Naura lalu merasakan sesuatu yang hangat mengisi rahimnya untuk pertama kali. Naura memejamkan mata merasakan sensasinya yang luar biasa. Davit pun mempercepat pelukannya lalu mengecup kening Naura dan tersenyum.

David merebahkan tubuhnya ke samping. Sesekali menoleh pada Naura, Naura pun sama. Keduanya berbaring dalam diam setelah tubuh mereka saling menyatu dalam pelukan panjang. Bukan karena lelah, tapi karena rasa telah mencapai puncaknya.

Nafas mereka tenang, saling mendengar detak jantung satu sama lain. Naura mengusap dada David pelan, lalu bersuara pelan, “Terima kasih sudah menyentuhku dengan cinta, bukan dengan ego.”

David menoleh, mencium mata Naura. “Terima kasih karena telah mengizinkan aku mencintaimu seperti ini.”

Pelukan itu bertahan lama. Bahkan saat kantuk mulai merayap, tubuh mereka tetap saling melekat. Tak ada yang ingin lepas lebih dulu.

Selimut membungkus mereka, tetapi yang benar-benar menghangatkan bukanlah kain itu, melainkan rasa. Sebuah malam tanpa saksi, tanpa saksi pun mereka tahu bahwa yang terjadi adalah cinta, bukan hanya hasrat.

Mereka tertidur dalam pelukan, dan malam pun menyelimutinya dengan damai.

***

Di luar, suara Yusuf memecah keheningan. Mobilnya baru tiba pukul dua dini hari.

Ketika Naura dan David sudah bermain kesekian kalinya.

David mengangkat wajah Naura, menatapnya dalam-dalam untuk terakhir kali malam itu. “Sekarang waktunya kamu pergi sama Yusuf, biar Mbak Kinanti dan Yusuf nggak curiga.”

Naura mengangguk, memakai baju bajunya, Ia bangkit, mengambil koper kecilnya, dan berjalan pelan ke luar kamar.

Di depan pintu, sebelum benar-benar pergi, ia berbalik.

“Aku akan pergi, Mas David. Tapi rasa ini... akan tetap tinggal di sini.” Naura menunjuk letak hatinya berada.

David tidak menjawab. Ia hanya menatap Naura dengan mata yang berbicara lebih dari seribu kata.

Naura melangkah ke luar, meninggalkan villa itu bersama kenangan yang akan ia simpan sendiri.

"Maaf aku terlambat menjemput, apa kakinya sudah baik baik saja." tanya Yusuf yang merasa jalan Naura agak aneh.

"Iya, aku baik baik saja." Naura lalu menoleh ke ruang tengah dimana David baru keluar kamar yang satunya lagi.

David keluar dan tersenyum.

"Kamu terlambat banget. Apa nggak sebaiknya kalian balik besok pagi?" tanya David.

"Besok pagi aku praktek, lagian sebentar lagi subuh, jalanan pasti sudah rame," jawab Yusuf.

"Ya udah, kalian berdua hati-hati ya, antar Naura sampe rumah orang tuanya, Suf"

"Siap Bos."

"Taksi yang aku pesan paling jam enam juga udah tiba." kata David.

***

Mobil hitam Yusuf melaju pelan menuruni jalanan berliku yang masih diselimuti kabut tipis. Hujan baru saja reda, menyisakan aroma tanah basah dan hawa dingin yang menusuk sampai ke tulang.

Di kursi penumpang sebelah Yusuf, Naura duduk diam. Tangannya meremas pangkuan rok panjangnya, tubuhnya bersandar, tapi bukan karena nyaman, melainkan sangat lelah, kakak iparnya sungguh perkasa.

Yusuf meliriknya beberapa kali, mencoba mencari celah untuk membuka obrolan. Tapi sejak mereka masuk mobil tadi, hanya kata “makasih” yang keluar dari mulut Naura, dan setelah itu, hanya keheningan.

“Capek?” tanya Yusuf, memecah sunyi.

Naura menoleh sebentar, lalu mengangguk kecil. “Sedikit.”

Yusuf mengangguk pelan. “Kalau mau tidur, sandarin aja ke jok. Perjalanan masih lumayan lama.”

Naura menatap jendela. Kabut perlahan tersapu, menyisakan pemandangan perkebunan yang memudar di kejauhan. Tapi yang ada di matanya bukan kebun, melainkan wajah David, tatapan hangatnya, pelukan tadi, dan kata-kata yang menggantung tanpa ujung.

Ia memejamkan mata sejenak, berharap bisa menenangkan pikirannya. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Kenangan demi kenangan seperti potongan film, memutar ulang momen-momen larangan itu di benaknya.

"Aku nggak butuh dimiliki, Kak. Aku cuma pengen tahu… kamu pernah menginginkanku, meski cuma malam ini."

Naura menggigit bibir. Ia ingin menangis, tapi tak bisa. Semuanya terasa terlalu sesak untuk diurai hanya dengan air mata.

Yusuf melirik lagi. "Kamu nggak apa-apa, kan? Mukamu pucat banget."

Naura buru-buru mengangguk. “Iya… hanya pusing sedikit.”

Mereka kembali diam.

Suara mesin mobil yang halus justru terasa seperti gema yang menyakitkan. Keheningan itu bukan hening yang nyaman seperti tadi saat bersama David. Tapi sunyi yang penuh tekanan. Jarak antara dirinya dan Yusuf terasa begitu jauh, padahal mereka hanya dipisahkan oleh sandaran kursi.

Yusuf menghela napas. Ia tahu, sejak awal Naura bersikap berbeda. Dan sekarang, aura itu makin kuat. Seolah ada sesuatu yang Naura sembunyikan rapat-rapat.

“Aku senang bisa jemput kamu, meski tadi sempat nyasar karena kabut,” kata Yusuf pelan, mencoba mencairkan suasana. “Tapi aku khawatir, kayaknya kamu nggak terlalu senang aku datang.”

Naura menoleh pelan. “Bukan gitu, Yusuf… aku cuma… banyak pikiran.”

“Masalah Kak Kinanti?”

Naura mengangguk. “iya…”

“Sebentar lagi mau lahiran, semoga lahirannya lancar?”

Yusuf menatap Naura sejenak, lalu menatap jalan. Ia tidak bodoh. Bahkan, ia merasa ada yang tidak biasa dalam sikap Naura sejak pagi tadi. Yusuf mengira Naura pasti sakit, tapi tidak ingin dirinya panik.

“Kamu nyaman di villa itu?” tanya Yusuf tanpa menoleh.

Naura mengangguk pelan. “Ya… sangat nyaman, Kak davit melindungi ku.”

"David memang sangat baik dan bertanggung jawab pada Kinanti."

***

Sesampainya di Surabaya

Mobil Yusuf berhenti di depan rumah kedua orang tua Naura. Langit sudah cerah, kota kembali sibuk seperti biasa, seolah tidak peduli ada seorang gadis yang membawa beban perasaan pulang dari gunung.

Naura menatap rumah itu. Entah kenapa justru dia tidak ingin pulang kerumah itu, kali ini dia ingin tinggal dengan Kinanti yang sebentar lagi akan melahirkan.

“Naura…”

Gadis itu menoleh.

“Kalau kamu butuh teman ngobrol, atau butuh sesuatu, hubungi aku kapan saja ya.”

Naura tersenyum. Kali ini, senyum yang benar-benar tulus. “Makasih, Yusuf. Aku tahu kamu orang baik.”

Yusuf membuka pintu, membantu membawakan kopernya. Tapi Naura cepat-cepat mengambil koper itu. “Biar aku saja. Kamu pulanglah, pasti capek juga.”

Yusuf mengangguk, meski hatinya masih terasa menggantung. “Jaga dirimu, Naura.”

Naura melambai, lalu masuk ke rumah kecil itu.

Begitu pintu tertutup, ia bersandar di baliknya, dan untuk pertama kalinya sejak tadi siang, Naura membiarkan air matanya jatuh.

Ia menangis… bukan karena penyesalan, tapi karena ia baru sadar, ia sudah kehilangan sesuatu yang sangat berharga.

1
Rahmi
Lanjutttt
Rian Moontero
lanjuuuuttt/Determined//Determined/
Yunia Spm
keren
Yunia Spm
definisi ipar adalah maut sebenarnya....
watini
badai besar siap menghancurkan davit naura.karna kebusukan tak kan kekal tersimpan.moga Yusuf ga jadi nikahin Naura,dan mendapatkan jodoh terbaik.
watini
suka cerita yg tokoh utamanya wanita kuat dan tegar.semangat thor,lanjut
Isti Arisandi.: terimakasih komentar pertamanya
total 1 replies
Isti Arisandi.
Selamat membaca, dan jangan lupa beri like, vote, dan hadiah
Isti Arisandi.: jangan lupa tinggalkan komentar dan like tiap babnya ya...😘
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!