Kevin cuma anak SMA biasa nggak hits, nggak viral, hidup ya gitu-gitu aja. Sampai satu fakta random bikin dia kaget setengah mati. Cindy cewek sejuta fans yang dielu-elukan satu sekolah... ternyata tetangga sebelah kamarnya. Lah, seriusan?
Cindy, cewek berkulit cerah, bermata karamel, berparas cantik dengan senyum semanis buah mangga, bukan heran sekali liat bisa bikin kebawa mimpi!
Dan Kevin, cowo sederhana, dengan muka pas-pasan yang justru dipandang oleh sang malaikat?!
Gimana kisah duo bucin yang dipenuhi momen manis dan asem ini selanjutnya!? daripada penasaran, mending langsung gaskan!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Proposal, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Makan Malam Tak Terduga
Kevin merasa terlalu malas untuk pergi ke supermarket. Dia memilih menyeruput minuman jeli kesukaannya yang selalu ada di lemari es, sambil bersandar di pagar balkon apartemennya, menikmati udara malam yang segar. Saat itulah, tanpa diduga, Cindy muncul di balkon apartemen sebelah.
Begitu melihat Kevin, Cindy langsung menyandarkan tubuhnya ke pagar balkon. Matanya tertuju pada minuman jeli di tangan Kevin, dan alisnya berkerut menunjukkan ketidaksetujuan.
Kevin terkejut. Dia sama sekali tidak menyangka akan didekati seperti ini, dan untuk beberapa saat hanya bisa terdiam membeku.
"Kamu ngerti kan? Jeli ini bisa ngisi energiku dalam hitungan detik," akhirnya Kevin berbicara, mencoba membela diri.
"Jadi kamu rencana makan ini untuk makan malam?" tanya Cindy dengan nada tak percaya.
"Emang kenapa kalau iya?"
"Anak SMA dengan badan segede kamu cuma makan ini?" ujar Cindy.
"Jangan ikut campur urusan orang."
Biasanya, Kevin memang cuma beli makanan siap saji dari minimarket atau lauk instan dari supermarket. Dia benar-benar nggak berniat masak, dan juga nggak mau makan mie instan lagi, jadi memutuskan minum jus jeli sebagai pengganti makan malam.
Tentu saja ini nggak bakal cukup, dan mungkin nanti dia bakal ngemil biskuit atau permen sebagai tambahan.
"Kenapa nggak masak aja?" saran Cindy.
"Aku nggak bisa masak dan nggak bakal bisa. Kamu tahu itu kan?"
"Dan kamu juga nggak bisa merapikan kamar. Ajaib banget bisa hidup sendiri kayak gini." ujar Cindy
"Diem aja. Itu urusanku sendiri kan?"
Kenyataan pahit itu bikin Kevin cemberut dan langsung menghabiskan sisa jus jelinya. Beberapa hari lalu dia emang berniat bersih-bersih kamar, tapi karena terus diingetin kayak gini, malah jadi males melakukannya.
Kevin jadi penasaran kenapa Cindy tiba-tiba jadi cerewet. Dia balas menatap Cindy sambil menghela napas kecil.
"Tunggu sebentar."
Sebelum Kevin sempat jawab atau protes, Cindy sudah menghilang dari balkon dan kembali ke apartemennya.
Suara jendela yang ditutup membuat Kevin bingung. "Apaan sih? Dia bilang tunggu, tapi nungguin apa?" gumamnya sambil menatap ke arah apartemen Cindy yang nggak memberi jawaban.
"Kayaknya udah tenang nih. Aku balik aja deh," batin Kevin.
Tapi dia tetap menunggu seperti disuruh, meski udara malam musim dingin ternyata lebih dingin dari perkiraannya. Jaket tipis yang dipakainya nggak cukup menghangatkan.
"Nggak tau juga kenapa aku nurut aja nungguin dia," batin Kevin sambil menggerutu.
Udara yang dia hembuskan terlihat putih. Saat itulah, suara bel pintu elektronik berbunyi dari koridor.
Kevin langsung berbalik menuju pintu. Cuma ada satu orang yang mungkin datang.
Dia nggak ngerti kenapa Cindy mau datang, tapi sambil berjalan ke pintu, dia berusaha menghindari tumpukan baju dan majalah yang berserakan di lantai.
Kevin udah tau siapa yang datang bahkan tanpa perlu liat lewat lubang intip. Dia membuka pintu, dan seperti dugaannya, di depannya berdiri Cindy dengan rambut pirangnya yang terurai.
"Apa yang kamu lakuin?" tanya Kevin.
"Aku nggak tahan liat betapa berantakannya hidupmu. Ini cuma sisa makanan, tapi..." Cindy mengulurkan tangannya yang kecil memegang wadah Tupperware.
Dari tutup transparannya, Kevin bisa liat ada makanan di dalamnya yang masih hangat, terlihat dari tetesan air di tutupnya. Ada beberapa jenis masakan yang nggak terlalu jelas terlihat.
Kevin berkedip beberapa kali, bingung. Melihat ekspresinya, Cindy menghela napas panjang.
"Kamu nggak makan yang bener. Suplemen itu cuma tambahan, bukan makanan utama."
"Apa kamu emakku?"
"Aku cuma ngomongin hal yang wajar. Lagian kamu harusnya bersih-bersih apartemen. Susah banget jalan di dalem sana."
Cindy melirik ke belakang Kevin, lalu menyipitkan mata kesal, bikin Kevin terdiam.
"Aku masih bisa lewat kok."
"Nggak mungkin. Baju nggak seharusnya dibiarin di lantai."
"Ya mereka cuma kebetulan jatuh aja."
"Baju harusnya dicuci, dikeringin, dilipat. Majalah-majalah itu juga harus dirapihin. Bahaya kalau kamu kesandung dan jatuh."
Nada Cindy terdengar kesal, tapi Kevin tau dia sebenernya khawatir. Dia ingat waktu Cindy merawatnya dulu, mereka hampir jatuh karena kamarnya yang berantakan.
"Grr..." Kevin nggak bisa balas, cuma bisa meringis pas menerima Tupperware itu. Kehangatannya langsung terasa di telapak tangannya, nyaman di udara dingin begini.
"Jadi... aku boleh makan ini?"
"Aku bakal buang kalau kamu nggak mau." ujar Cindy.
"Nggak, nggak, aku mau kok. Jarang-jarang dapet makan malam bikinan Malaikat."
"Jangan panggil aku begitu. Serius." Wajah Cindy langsung memerah.
Panggilan "Malaikat" itu bikin Cindy malu banget. Kevin juga sebenernya ngerasa nggak enak udah panggil dia begitu.
"Aku minta maaf. Nggak bakal panggil gitu lagi," kata Kevin sambil tersenyum.
Kalau diterusin, bakal bikin suasana jadi awkward. Lagian hubungan mereka juga nggak cukup dekat buat bercanda kayak gitu.
Cindy berdehem, mencoba tenangin diri, tapi pipinya tetep aja merah.
"Ya udah, aku terima dengan senang hati. Kamu nggak perlu ngerasa bersalah udah bikin aku sakit kemarin."
"Aku nggak ngerasa bersalah. Sekarang kita udah imbang setelah aku rawat kamu. Aku lakuin ini buat diri sendiri, tapi aku emang khawatir liat gaya hidupmu."
"Aku ngerti."
Setiap kali berhadapan sama Cindy, Kevin selalu ngerasa nggak berdaya. Dia tau bakal kalah dalam debat ini.
Apalagi kondisi apartemennya yang berantakan udah ketauan Cindy waktu dia dirawat. Nggak ada gunanya bohong.
"Makan yang bener dan jaga gaya hidup sehat ya?"
"Apa kamu emakku?" ujar Kevin.
Sementara Cindy ngomong dengan wajah serius, Kevin cuma bisa jawab lelah.
Dia bawa Tupperware itu ke dalam, cari sumpit sekali pakai, lalu duduk di sofa ruang tamu.
Gimana rasanya makanan bikinan Cindy?
Bubur yang Cindy bikin waktu itu enak. Lidah Kevin masih nggak terlalu peka karena demam, tapi rasanya tetap nikmat.
Berdasarkan pengalaman itu, kemampuan masak Cindy emang bagus. Sekarang dia penasaran, gimana rasanya makanan kali ini?
Dengan sedikit harapan, Kevin buka tutup Tupperware-nya. Aroma sedap langsung menyeruak.
Isinya sup dengan berbagai sayuran dan ayam. Warnanya cerah, wortel oranye dan kacang hijau terlihat segar. Semua dipotong kecil-kecil, bikin ngiler.
Kevin langsung ambil sumpit dan mencoba wortelnya dulu.
"Enak banget!"
Rasanya langsung terasa. Seperti ciri khas Cindy yang peduli kesehatan, bumbunya ringan tapi kaldu ikannya kuat. Bukan kaldu bubuk instan, tapi kaldu asli dari ikan bonito dan rumput laut.
Dia kunyah pelan-pelan, nikmatin rasa kaldu dan sayuran yang melebur di mulut. Sayurannya segar banget, padahal biasanya Kevin nggak suka sayur.
Kayaknya Cindy sengaja banyakin sayuran dan sedikitin ayam. Tapi ayamnya empuk banget, nggak kematengan. Bahannya sederhana tapi teknis masaknya profesional banget untuk anak SMA.
"Lebih enak lagi kalau ada nasi," batin Kevin. Tapi beras di rumahnya habis, dan dia males beli. Dia nyesel nggak beli beras tadi.
"Bener-bener Malaikat deh," gumam Kevin sambil terus menikmati sayuran di sup itu, meski tau Cindy nggak suka dipanggil begitu.