NovelToon NovelToon
40 Hari Sebelum Aku Mati

40 Hari Sebelum Aku Mati

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Fantasi / Reinkarnasi / Teen School/College / Mengubah Takdir / Penyelamat
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: Tiga Dara

Bagaimana rasanya jika kita tahu kapan kita akan mati?
inilah yang sedang dirasakan oleh Karina, seorang pelajar SMA yang diberikan kesempatan untuk mengubah keadaan selama 40 hari sebelum kematiannya.
Ia tak mau meninggalkan ibu dan adiknya begitu saja, maka ia bertekad akan memperbaiki hidupnya dan keluarganya. namun disaat usahanya itu, ia justru mendapati fakta-fakta yang selama ini tidak ia dan keluarganya ketahui soal masa lalu ibunya.
apa saja yang tejadi dalam 40 hari itu? yuk...kita berpetualang dalam hidup gadis ini.

hay semua.... ini adalah karya pertamaku disini, mohon dukungan dan masukan baiknya ya.

selamat membaca....

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Dara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 20. Rumah Itu Pemberian Papa

Karina dan Nia terbaring bersebelahan di lantai kamar Nia dengan lunglai. Jendela kamar yang sudah terbuka lebar dan kipas angin yang menyala tak dapat menghalau panasnya siang itu. Musik lembut mengalun dari ponsel Karina, membuatnya sedikit terbuai rasa kantuk. Sementara Nia sudah sejak tadi mencuri curi kesempatan tertidur meskipun tidak lelap, tidur ayam kalau orang bilang. Karina yang sebetulnya lelah dan mengantuk, tak dapat tertidur dengan pikiran yang tidak tenang, sangat mengganggunya.

“Nyokap lu kok gak balik balik sih Ni? Udah jam segini juga.”

“Tau deh.”

Suara Nia terdengar terseret-seret rasa kantuknya. Matanya pun enggan untuk dibuka.

“Ni bangun dong Ni, ayo telponin nyokap lu dulu Ni.”

“Hmm....”

“Ni ayo dong Nia... Gue capek nih nunggunya.”

“Iya... Lagian lu ngapain sih mau ketemu nyokap gue tumben-tumbenan. Lu kan baru semalem balik dari Bandung, lu gak capek apa dari pagi dah nungguin nyokap gue ampe jam segini?”

“Ini penting banget Nia. Gue harus nanyain sesuatu ke nyokap lu.”

Nia bangkit dari duduknya. Berusaha untuk duduk dengan tegak melawan rasa kantuknya. Sejak pulang dari Bandung malam tadi, Karina belum banyak cerita dengannya. Dan kedatangannya sejak pagi tadi membuat Nia semakin penasaran, apa sebetulnya yang ia dapatkan dari Bandung hingga harus segera mungkin bertemu ibunya.

“Lu kemaren ketemu siapa aja di sana? Trus apa aja yang lu dapetin?”

Wajah Nia berubah serius. Ia duduk menghadap sahabatnya yang masih tergeletak di lantai dengan resah.

“Cuma dapet sampah. Berkotak kotak noh ampe bingung mau disimpen dimana.”

Karina menyahut dengan kesal, disambut wajah Nia yang mengernyit tak mengerti.

“Udah buruan telponin nyokap lu suruh balik kek sekarang. Penting nih.”

“Ya lu crita dulu, lu ketemu siapa kemaren.”

Karina bangkit, ikut duduk bersandar pada ranjang dan menekuk kakinya, kepalanya ia sandarkan pada lutut dengan tidak semangat.

“Gue cuma ketemu sama penjaga rumah nenek gue. Trus dia kasih barang barang bekas nyokap gue yang gak dibawa ikut pindah jakarta. Udah gue periksa, gak ada yang penting.”

“Jadi lu beneran datengin rumah nenek lu?”

“Iya. Dan lu tau gak nenek gue siapa?”

Nia menggeleng. Pastinya maksut Karina bukan menanyakan nama neneknya.

“Nenek gue itu ya oma Surya. Pemilik bakery yang nempatin rumah lama gue di Bandung.”

“Bukannya nama nenek lu Dini?”

“Iya, jadi namanya, Dini Suryadinata. Dini itu nama nenek gue, surya itu nama suaminya, kakek gue.”

Nia manggut-manggut, mulutnya membulat membentuk huruf O.

“Jadi lu ketemu nenek lu lagi?”

“Gak. Pas kita mau nyamperin dia di rumah sakit dianya udah gak ada. Kita samperin ke bakery kata pegawainya gak ada. Balik ke panti wreda tapi kita juga gak dikasih tau alamatnya. Bingung gue. Udah mentok semuanya.”

Karina menunduk pilu, rasa lelahnya jelas nampak di wajahnya, membuat Nia merasa iba dan ikut bersedih. Tak tega melihat kondisinya saat ini, Nia akhirnya meraih ponselnya di atas meja lalu menghubungi ibunya, meminta agar segera kembali.

“Mama lagi otewe. Kita suruh nunggu bentar. Sabar ya Rin.”

Pinta Nia diikuti anggukan kepala Karina.

“Jadi bis dibilang kedatangan lu kemaren ke Bandung, nihil Rin?”

“Iya Ni. Kita gak dapet apa-apa. Makanya, harapan satu-satunya sekarang nyokap lu Ni. Penjaga rumah nenek bilang, papa nyusul kami ke Jakarta buat cari kami. Tante Nurul sama mama kan sahabatan. Besar kemungkinannya kalau papa mau cariin kita pasti nemuin nyokap lu dulu. Iya kan? Masuk akan kan?”

“Iya sih Rin. Gue juga setuju sama analisis lu. Kita tunggu mama aja ya. Kita pastiin ke mama.”

Nia mengusap punggung tangan Karina lembut. Keduanya tersenyum, optimis.

**

Nurul menatap kedua anak gadis di hadapannya satu persatu. Hatinya bergemuruh. Ia tau bahwa saat ini pasti akan datang. Saat di mana Karina akan menodong dirinya pertanyaan perihal ayahnya. Dan Nurul yang sebetulnya sudah mempersiapkan jawaban sejak dulu, masih dibuat kaget dan gelisah karenanya.

“Karin mohon tante, tolong ceritakan apapun soal papa. Gak mungkin kalau tante gak tahu soal papa kan?”

“Apa mamamu tau soal ini Rin?”

“Mama tau kok tante kalau kami sedang mencari keberadaan papa.”

“Mamamu mengizinkan?”

Karina mengangguk. Dia sedikit tidak menyangka, bahwa ibunya belum menceritakan ini kepada sahabat satu-satunya.

Nurul mengangguk. Ia mengerti, memang sudah saatnya anak anak Budiman ini mencari ayahnya. Dan tidak ada alasan baginya untuk menutupi.

“Ayahmu dulu memang menemui tante. Menanyakan keberadaan kalian. Tapi tante tidak kasih alamat rumah kalian kepadanya.”

“Kenapa tante?”

“Tante tidak mau usaha mamamu untuk melupakan papamu sia-sia Karina. Mamamu sudah berjuang setengah mati untuk bangkit, apa jadinya jika tiba-tiba papamu datang menemui kalian?”

Karina terdiam. Apa yang dikatakan oleh tante Nurul itu cukup masuk akal baginya. Seandainya ini terjadi pada persahabatannya dengan Nia, tentu dia juga akan melakukan hal yang sama unutuk melindungi sahabatnya itu.

“Mama ketemu papa Karin di mana ma?”

“Budiman datang ke toko mama Nia. Itu terjadi mungkin sebelas tahun yang lalu. Beberapa bulan setelah keluarga Karina datang dari Bandung.”

“Trus papa bilang apa aja tante?”

“Papamu cuma menitipkan uang dan tabungan untuk kalian. Trus dia pergi dengan berjanji, tidak akan menemui kalian sampai kalian sendiri yang datang mencarinya.”

“Om Budiman nitipin uang ma?”

Nia penasaran, karena dirinya juga merasa tidak pernah mendapat cerita ini dari ibunya.

“Ya. Uang. Dalam jumlah banyak.”

“Trus uang itu tante kasihkan mama?”

Nurul menggeleng. Dia beranjak dari kursinya.

“Kalian tunggu disini. Tante ambilkan buku tabungan itu.”

Tidak butuh waktu lama Nurul kembali, membawa sebuah amplop coklat lusuh yang sepertinya sudah ia siapkan. Karina menerima amplop itu dengan tangan bergetar. Ia tak pernah menyangka sama sekali bahwa ia akan mendapatkan petunjuk semacam itu.

“Bukalah. Itu semua adalah milik ayahmu yang diberikan untuk kalian.”

Dengan gamang Karina membuka amplop itu. Satu lembar kertas surat kuasa dan dua buah buku tabungan berada disana. Satu persatu ia membuka buku tabungan itu dan dua gadis ini terbelalak melihatnya.

“Ya ampun Rin, beneran ada duitnya itu tabungan.”

Nia terpekik melihat angka yang tertera di salah satu buku itu.

“Salah satu buku tabungan itu sudah kosong Rin. Isinya sudah tante ambil. Kamu pasti pernah dengar dari mamamu, cerita bahwa nenek Nia memberikan rumah peninggalan orang tuanya untuk kalian dengan cuma-cuma kan?”

Karin dan Nia mengangguk. Karin memang mengetahui cerita itu, bahwa keluarga nenek Nia memberikan rumah yang saat ini mereka tempati kepada mereka. Rumah itu adalah rumah yang sejak pertama mereka datang ke Jakarta dipinjamkan kepada keluarganya untuk ditinggali. Hingga akhirnya disuatu ketika, nenek Nia sebelum meninggal datang dan mengatakan bahwa rumah itu diberikan kepada mamanya untuk mereka tempati, tanpa harus mengganti atau membayar. Hal ini tentu saja sempat ditolak oleh Nurma ibunya, tetapi nenek Nia tidak mau menerima alasan apapun, ia hanya berharap Nurma dan anak-anaknya menempati rumah itu dan tidak pindah. Itu saja.

“Rumah itu hanya alasan agar tante dapat memberikan uang ini kepada mamamu tanpa mamamu perlu tahu bahwa Budiman lah yang memberikannya. Uang di salah satu buku tabungan itu sudah tante ambil, tante anggap sebagai uang ganti rumah kalian. Dan uang itu sudah tante berikan kepada nenek Nia. Bahkan, sebulan kemudian nenek Nia sudah mengubah kepemilikan nama tanah dan rumah itu. Tugas ibumu hanyalah merenovasi rumah itu. Dan ibumu berhasil Karin.”

Karina mengerti sekarang. Jadi rumah itu, adalah rumah pemberian ayahnya, dibeli dengan uang yang ayahnya titipkan lewat tante Nurul. Sementara selama ini, mereka hanya tau bahwa rumah itu diberikan secara cuma-cuma oleh nenek Nia. Bahkan mereka taunya, Budiman adalah ayah yang menelantarkan anak-anaknya. Dada Karina terasa terbakar. Ada air mata yang meleleh tak terbendung. Betapa selama ini ia tidak tahu apa-apa tentang ayahnya. Rasa sesal itu menyeruak hingga ke kerongkongan.

“Satu saldo di buku tabungan itu masih utuh Karin. Itu, surat kuasanya ada di sana. Berlaku seumur hidup. Kamu ambillah. Simpan itu. Tante sudah tidak tau harus bagamana caranya memberikan itu kepada ibumu”

Karina terisak. Ia memeluk kertas-kertas itu dalam tangisnya. Dalam pelukan Nia, Karin berbisik.

“Papa, maaf Karin terlambat mencari papa.”

***

1
Soraya
apa mungkin Pak bewok penjualan es itu budiman
Soraya
mampir thor
🔥_Akane_Uchiha-_🔥
Sangat kreatif
mamak
keren mb Dy,
Tiga Dara: hey... sapa nih??
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!