NovelToon NovelToon
Merayakan Kehilangan

Merayakan Kehilangan

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: Raft

Ini tentang gadis ambigu yang berhasil merayakan kehilangannya dengan sendu. Ditemani pilu yang tak pernah usai menyapanya dalam satu waktu.

Jadi, biarkan ia merayakannya cukup lama dan menikmatinya. Walau kebanyakan yang ia terima adalah duka, bukan bahagia.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raft, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kenapa harus ada luka? - 6

...Kamu tau kenapa Tuhan menciptakan luka? ...

...Supaya bahagia yang datang, akan lebih terasa. ...

***

Katanya, dunia ini hanya omong kosong belaka. Karena sifatnya yang sementara, juga luka yang ditorehkan tanpa jeda. Tapi katanya juga, dunia ini bagaikan surga bagi yang menikmatinya.

Tapi bagi Rey. Dunia ini hanya luka yang selalu menghantuinya.

Kenapa ia harus diciptakan jika Tuhan hanya membuatnya terus merasa kesakitan?

Sudah delapan belas tahun ia melawan penyakitnya, tapi tak kunjung menemukan kata sembuh yang ia harapkan.

Setelah menelan obat yang selalu menemaninya agar bisa bertahan, Rey menghela napas panjang. Dan bertanya kapan ia bisa bebas dari obat yang menyebalkan.

Dirasa tubuhnya sudah merasa baikan, Rey mulai beranjak untuk menghampiri Rai yang masih menunggunya di ruang tengah.

Ketika langkahnya sebentar lagi sampai, matanya melihat Rai yang kembali menangis dengan wajah yang tertunduk dalam. Rey bisa langsung tau karena pundak Rai yang bergoyang cukup kencang.

Astaga, kenapa perempuan berkacamata itu selalu saja menangis? Apa itu hobinya?

Rey mulai melangkah pelan ke arah Rai yang masih sibuk menangisi hal yang tidak tau itu apa. "Heran gue. Kenapa sih lo nangis mulu?"

Tanpa menghapus air matanya, Rai mulai mengangkat kepalanya. Dan tersenyum seperti biasa, walau ada air mata di antara senyum yang tidak pernah Rey suka.

"Aku nangis karena puisi kamu."

Entah kenapa, Rey tidak percaya dengan alasan itu.

Rai mulai membereskan barang yang ia bawa dan membersihkan jejak air mata yang mulai mengering di pipinya. "Aku pulang dulu, ya! Nanti malam aku kirim melodinya ke kamu."

Dan Rey hanya mengangguk sembari melihat punggung Rai yang semakin lama semakin mengecil di matanya, dan menghilang di balik pintu berwarna coklat itu.

Entah perasaannya atau memang benar nyatanya. Ia melihat jika Rai sedang terluka begitu dalam sekarang, dan Rey masih belum tau kenapa Rai bisa terluka seperti itu.

***

"Mamah...bener mau ke Bandung lagi?"

Sepulang dari rumah Rey, Rai langsung mencari Ibunya untuk membicarakan hal yang Tantenya bilang di telpon beberapa menit lalu.

"Kamu harus fokus belajar, Rai. Ibumu juga butuh perhatian selama 24 jam. Tante juga udah bilang sama Ibumu buat dirawat di Bandung aja sama Adik-adiknya. Biar kamu gak keganggu dan bisa fokus untuk kelulusan."

Rai sebenarnya keberatan dengan keputusan itu. Ia 'kan ingin mengurus Ibunya sampai sembuh.

"Tau gitu, Rai gak akan pindah ke Jakarta. Kasian Ibu jadi bolak balik Jakarta-Bandung."

Terdengar helaan napas panjang di sebrang sana. "Sayangnya Ibumu waktu itu gak ijin dulu. Tiba-tiba nyimpen surat di kamar Tante kalau kalian mau pindah ke Jakarta."

"Tenang aja, Rai. Lagi pun Jakarta ke Bandung gak terlalu jauh, kok! Tante sendiri yang bakal jemput Ibumu ke rumah nantinya."

"Terus nanti Rai di Jakarta sama siapa? Sendiri gitu? Kalau Rai ikut pindah lagi, sayang banget soalnya. Rai aja masuk ke sekolah baru hari ini."

"Tante bakal kirim Ananta sama Dikta buat temenin kamu. Jadi tenang aja."

Kalau ditanya siapa orang yang paling Rai sayang, sudah jelas Sang Ibu lah jawabannya. Ia ingin merawat Ibunya sampai benar-benar sembuh walau itu tak mudah baginya.

"Mamah tau 'kan kalau sekarang Rai cuman punya Mamah doang?"

Rai menatap dalam mata Ibu yang terlihat sendu.

"Maaf karena Mamah salah ambil langkah. Seharusnya kita gak usah pindah. Tapi Mamah janji, ketika kamu lulus nanti, Mamah bakal datang kesini lagi."

Dan ketika Rai mendengar kalimat itu menyapa telinganya, ia sedikit lebih tenang dari sebelumnya. Bahkan sekarang, ia bisa tersenyum tulus tanpa beban lagi.

Rai mengangkat kelilingnya "Mamah janji?"

Dan Sang Ibu membalasnya dengan menyatukan kelilingnya juga "Iya, Mamah janji."

Mereka saling tersenyum dan tak lama menjadi sebuah tawa bahagia. Walau Rai tau jika bahagia mereka belum hadir sepenuhnya. Setidaknya, mereka bisa mensyukuri apa yang Tuhan berikan saat ini. Bukankah itu kunci bahagia sesungguhnya?

***

Rey sebenarnya tidak pernah suka dengan pekerjaan Ayahnya. Selain menyita banyak waktu dengan keluarga, Sang Ayah juga selalu melarangnya melakukan banyak hal dengan alasan demi kesehatannya.

Rey tau jika Ayahnya itu peduli. Tapi ia tetap tidak suka karena rasanya seperti dikekang saja.

Di dalam layar laptop milik Ibunya, ada Sang Ayah yang sedang melepas rindu dengan keluarga kecilnya.

"Ayah belum mau pulang? Ren kangen, tau!"

Renata selalu semangat jika berbicara dengan Ayahnya. Wajar saja, karena cinta pertamanya itu sangat jauh dari jangkauannya.

"Ayah juga kangen, tau! Tapi sayangnya Ayah belum bisa pulang, Sayang. Kerjaan Ayah masih banyak disini. Kalau kamu libur panjang, Ayah beliin tiket biar kamu sama Ibu yang kesini, ya? Sama Kak Rey juga."

Pekerjaannya selalu menjadi alasan kenapa Ayahnya itu belum bisa pulang. Padahal disini, Renata sangat butuh sosoknya.

"Renata nyusul Ayah juga gak ada gunanya. Ayah malah sibuk di rumah sakit." Suara Renata melirih. Membuat naluri Rey sebagai Kakak menenangkannya dengan mengusap pundaknya penuh kasih.

Terdengar Ayah menghela napas di sebrang sana. "Ayah minta maaf ya, Ren-"

"Ayah gak salah, kok! Sejujurnya Renata bangga sama Ayah karena giat kerja buat keluarga. Bukan untuk kita aja, tapi semua pasien Ayah juga. Renata gak papa, kok! Tapi Ayah janji, harus terus telpon kita, ya!" Potong Renata yang tidak suka dengan kata maaf yang Ayahnya ucapkan.

Ayah tersenyum lebar. "Anak Ayah udah dewasa, ya?" Lalu terkekeh setelahnya.

"Iya, dong! Ren 'kan udah 17 tahun."

Rey memutar bola mata malas mendengarnya. Dewasa dari mananya, makan saja masih disuapi Ibunya. "Iya, si yang paling dewasa."

Renata mendengus sebal. "Ih, Kakak gak diajak, ya! Maaf maaf aja!"

"Hey udah, jangan malah berantem. Rey, itu keadaan kamu gimana? Udah lebih baik dari sebelumnya?"

Rey menggedikkan bahunya. "Masih gini aja. Belum ada perubahan yang signifikan."

"Nanti kamu kesini, berobat di rumah sakit tempat Ayah kerja. Ada temen Ayah yang kayaknya bisa bunuh penyakit kamu itu."

Rey menghela napas lelah. Ia tak pernah suka membahas penyakitnya. Ia hanya ingin melupa jika tubuhnya sedang tidak baik-baik saja.

"Buat apa? Akhirnya Rey pasti mati juga."

Memiliki penyakit atau tidak. Malaikat maut pasti menghampiri. Jadi, untuk apa menghabiskan tenaga maupun harta supaya penyakit itu pergi dari tubuhnya? Pikir Rey yang sudah menyerah dengan semua.

"Rey, kamu ini ngomong apa?"

Rey tau ayahnya pasti kecewa ketika mendengarnya. Tapi, ia benar-benar sudah lelah dengan rasa nyeri yang selalu mengganggu aktivitasnya, itu sungguh menyebalkan.

Rey menggeleng pelan. "Lupain aja."

Renata menepuk pundak kakaknya itu beberapa kali, bermaksud untuk menguatkan "Kakak harus semangat! Renata bakal ada di samping Kakak terus pokoknya."

Dan Rey mengembangkan senyumnya dengan anggukan kepala untuk membalas itu. "Makasih."

"Rey! Ada temanmu, nih!" Teriak Ibunya dari depan rumah, yang sepertinya baru pulang membeli makan malam.

"Iya, Rey kesana!" Balasnya dengan berteriak pula.

Setelahnya, Rey melihat Sang Ayah yang ada di dalam layar untuk pamit sebentar.

"Yah, Rey ke depan dulu, ya!"

Dan Ayahnya hanya mengangguk mengiyakan.

Di teras rumahnya, ada Rai yang duduk ditemani Ibunya. Mereka mengobrol sebentar sebelum akhirnya usai ketika ia datang.

"Aku udah buat melodinya. Aku juga udah rekam dan simpan di flashdisk ini." Ucap Rai sembari menyodorkan flashdisk berisi rekaman yang ia sebutkan barusan.

"Nanti gue dengerin. Thanks."

Rai mengangguk sembari tersenyum kecil. Lalu mulai berdiri tegak untuk beranjak.

"Rey, ada yang Ibu lupa. Kamu bisa tolong beliin martabak coklat pesenan Adikmu? Itu juga kalau kamu mau." Ucap Ibunya yang kembali keluar.

Tanpa mempertimbangkan, Rey langsung mengangguk mengiyakan. "Boleh."

"Nih uangnya. Makasih, ya!"

"Iya."

Setelahnya, Sang Ibu kembali masuk ke dalam.

"Aku temenin, ya!" Ucap Rai yang belum sepenuhnya beranjak dari sini.

"Lo pikir gue anak kecil apa? Udah, gak usah. Lo balik aja, sana!"

Tapi Rai tidak mau. Ia tetap mengikuti kemana Rey melangkahkan kaki. Ia tidak akan menganggu, dan ia berjanji akan hal itu.

Rey hanya menghela napas kasar ketika tau jika Rai ternyata orang yang keras kepala. Tidak ada pilihan lain selain mengijinkan Rai untuk mengikutinya sekarang.

***

^^^23-Mei-2025^^^

1
Zαskzz D’Claret
mampir juga thor😁
Sky blue
Bikin kesemsem berat sama tokoh utamanya.
Febrianto Ajun
karyamu keren banget thor, aku merasa jadi bagian dari ceritanya. Lanjutkan ya!
Tít láo
Gemesinnya minta ampun!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!