Naila baru saja turun dari bus dari luar pulau. Ia nekat meninggalkan keluarga karena demi menggapai cita-cita yang terhalang biaya. Naila lulus jalur undangan di sebuah kampus negeri yang berada di ibu kota. Namun, orang tuanya tidak memiliki biaya hingga melarangnya untuk melanjutkan pendidikannya hingga memaksanya menikah dengan putra dari tuan tanah di kampung tempat ia berasal.
Dengan modal nekat, ia memaksakan diri kabur dari perjodohan yang tak diinginkan demi mengejar mimpi. Namun, akhirnya ia sadar, biaya perguruan tinggi tidak bisa dibayar hanya dengan modal tekad.
Suatu saat Naila mencari pekerjaan, bertemu dengan balita yang keluar dari pekarangan tanpa penjagaan. Kejadian tak terduga membuat ia bekerja sebagai pengasuh bagi dokter tampan yang ditinggal mati oleh istri yang dicintainya.
#cintaromantis #anakrahasia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CovieVy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6. Ibu Tanpa Status
Pria itu berjongkok, mencoba melepaskan pelukan si kecil dari tubuh Naila. Namun, lengan gadis kecil itu justru melingkar lebih erat di leher gadis asing itu.
"Rindu, pulang!"
"Ngga mau, Lindu mau sama Mama!" jerit si kecil dengan suara melengking, suaranya memecah udara pagi yang mulai menggeliat oleh aktivitas manusia di sekitarnya.
Naila pun menjadi canggung. Posisi tubuh mereka begitu dekat, membuatnya merasa tak nyaman berada dalam pelukan anak kecil sementara sang ayah tampak gusar.
"Pak... maaf, biar saya yang mencoba untuk berbicara," ucap Naila pelan, berusaha melepaskan diri dengan cara yang halus dari dua tangan mungil yang terus melingkari lehernya.
"Mungkin Rindu lebih bisa mendengar saya," ucapnya lagi dengan rasa percaya diri.
Pria itu berdiri pelan, menatap Naila tanpa senyum.
"Barusan kamu manggil saya apa?"
Naila menegakkan tubuh. "Apa maksud Anda, Pak?"
"Bapak?" gumamnya, nada suaranya datar. “Apa di matamu saya kelihatan setua itu?"
Naila memandangnya bingung. Wajah pria itu memang tegas dan dingin, tetapi tak tampak begitu tua. Mungkin... sekitar pertengahan tiga puluhan?
"Saya tidak bermaksud menyinggung—"
“Sudahlah,” potongnya, lalu mengalihkan pandangan kembali pada putrinya. “Rindu, ayo ikut Papa.”
Gadis kecil itu menggeleng keras, pelukannya tak mengendur sedikit pun. “Lindu mau sama Mama!”
Tubuh Naila terdorong ke belakang oleh pelukan erat itu. Ia terduduk di atas aspal yang masih terasa dingin. Pria itu menatapnya sejenak, seolah menahan sesuatu di balik tatapannya yang tajam.
"Jangan kasar, Pak. Dia hanya anak kecil," gumam Naila, tak berani menatap langsung.
Suara pria itu terdengar berat, nyaris tak terdengar. "Saya tidak punya waktu."
Ia berjongkok, mencoba menarik anaknya dari pelukan Naila. Namun si kecil malah menempel semakin erat, pipinya menempel di bahu Naila.
“Papa bawa Mama aja, ya?” ucap si kecil lembut, seolah mengajukan tawaran damai.
Pria itu terdiam. Ia memperhatikan gadis muda di hadapannya. Kerudungnya rapi, wajahnya polos. Bukan tipe yang menyembunyikan niat di balik senyum palsu. Tapi tetap saja, ia orang asing.
“Tidak bisa,” ucapnya singkat. “Kita tidak mengenal dia dengan baik.”
Naila menunduk, merasa harus menjelaskan. “Saya Naila. Hanya… hanya gadis biasa yang kebetulan bertemu Rindu di mesjid kemarin," bisiknya bermain dengan jemari kedua tangan.
Pria itu tak bereaksi. Matanya tak berkedip.
“Lalu, kenapa kamu bertengkar dengan Bu Inge tadi?” Tatapannya dingin, membaca sesuatu yang terus membuatnya teringat akan seseorang.
Naila menggigit bibir. Ia merasa bingung dan tak tahu harus menceritakannya dari mana. "Bukan apa-apa, Pak," bisiknya tertunduk dan layu. Rasa lelah itu muncul kembali teringat akan semua perlakuan orang-orang yang tinggal di rumah itu.
Hanya Pak Nugraha yang baik kepadaku. Tapi, jika terlalu memuji beliau, bisa saja orang ini salah menduga bahwa aku pengganggu rumah tangga mereka. Naila berperang dengan pikirannya.
Diam yang panjang kembali membuat pria itu terus membaca Naila.
Pria itu menatapnya seolah menguliti jawaban setiap reaksi yang diberikan satu per satu. Namun, jawaban iti tak kunjung terdengar.
“Kamu ada hubungan apa dengan Pak Nugraha?”
“Tidak ada, Pak.”
Matanya menyipit. "Kamu pikir saya percaya begitu saja?"
“Saya hanya calon mahasiswa baru, Pak. Tapi sepertinya saya datang terlalu cepat. Dan sekarang saya tak memiliki tempat untuk tinggal. Untuk rencana selanjutnya saya mencari kos murah yang tak jauh dari kampus. Semoga saya segera mendapatkan pekerjaan."
Tangis bayi tiba-tiba terdengar dari dalam mobil. Pria itu refleks berdiri.
“Masuk.” Ucapannya tegas, nyaris seperti perintah militer. Ia membuka pintu belakang dan menarik Rindu dengan satu tangan. Satu tangan lainnya mengisyaratkan Naila ikut.
Naila ragu. “Pak, saya…”
“Cepat. Jangan banyak tanya.” Ia tak menatap Naila saat bicara.
Begitu masuk, ia langsung menenangkan bayi yang menangis dengan suara yang sangat kencang. Bayi itu tampak belum satu tahun. Setelah menyiapkan susu formula dengan gerakan cekatan, ia menyerahkannya pada Naila tanpa berkata-kata.
Naila seakan mengerti tanpa perintah, menerima dot itu dengan kikuk, lalu menyuapkannya ke mulut bayi yang segera diam setelah mendapat apa yang ia inginkan.
“Namanya Reivan,” ucapnya singkat. “Adik Rindu.”
Suara mesin mobil menyala. Pria itu menyetir tanpa banyak bicara. Udara di dalam mobil terasa dingin, seolah mencerminkan sikapnya.
Beberapa menit berlalu dalam hening. Baru kemudian Naila memberanikan diri bertanya, “Mama mereka, ada di mana, Pak? Kenapa tidak ikut?” tanyanya dalam suasana yang terasa lebih tenang.
Namun, ia tidak mendapat jawaban. Hanya kesunyian yang menggantung, disusul desahan napas berat pria itu.
Mobil berbelok memasuki halaman luas dengan rumah mewah bergaya klasik di tengahnya. Pagar terbuka otomatis. Naila menatap kagum, tak terbiasa berada di lingkungan seperti ini.
“Ini rumah orang tua saya,” jelas pria itu datar seakan tahu apa yang terlintas dalam pikiran Naila.
“Setiap hari, anak-anak saya dititipkan ke sini karena saya harus bekerja.”
Naila mulai menduga-duga. Mungkin ia ditinggal cerai oleh sang istri, atau ditinggal karena beda alam. Naila bergantian memperhatikan kedua bocah yang dirasa memiliki nasib malang dengan rasa kasihan.
Mobil berhenti. Ia turun lebih dulu, membuka pintu untuk Rindu, lalu beralih ke sisi belakang untuk mengangkat Reivan dari pangkuan Naila. Namun saat Naila hendak turun, tangan mungil menggenggamnya.
"Ayo, Ma, kita masuk. Nenek pasti udah nungguin kita," ajak Rindu riang.
Naila tertegun. Pria itu memandangi mereka sejenak, lalu berbalik masuk ke dalam rumah tanpa sepatah kata pun.
Di dalam, seorang wanita paruh baya menyambut mereka dengan hangat. “Cucu nenek datang juga akhirnya…”
Namun matanya langsung tertumbuk pada Naila. Dahi wanita itu mengerut. Tatapannya beralih pada anaknya.
“Martin? Siapa ini?”
Pria itu diam, meletakkan Reivan ke pelukan sang ibu tanpa ekspresi.
“Martin,” ulang wanita itu lebih tegas, menuntut jawaban.
"Pengganti mama mereka?" tanyanya pelan, setengah bergurau.
Namun Martin tidak membalas. Ia hanya berbalik, menuju dapur tanpa berkata apa-apa, membiarkan semua pertanyaan menggantung di udara.