follow IG Othor @ersa_eysresa
Di usia 30, Aruni dicap "perawan tua" di desanya, karena belum menemukan tambatan hati yang tepat. Terjebak dalam tekanan keluarga, ia akhirnya menerima perjodohan dengan Ahmad, seorang petani berusia 35 tahun.
Namun, harapan pernikahan itu kandas di tengah jalan karena penolakan calon ibu mertua Aruni setelah mengetahui usia Aruni. Dia khawatir akan momongan.
Patah hati, Aruni membuatnya menenangkan diri ke rumah tantenya di Jakarta. Di kereta, takdir mempertemukannya dengan seorang pria asing yang sama sekali tidak dia kenal.
Apakah yang terjadi selanjunya?
Baca kisah ini sampai selesai ya untuk tau perjalanan kisah Aruni menemukan jodohnya.
Checkidot.....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eys Resa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
Setelah pembicaraan semalam, Siang ini, Aruni dan kedua orang tuanya pergi ke desa yang berbatasan dengan kota tempat mereka tinggal. Jaraknya tidak jauh hanya tiga puluh menit perjalanan.
Debar jantung Aruni terasa lebih kencang dari biasanya saat mobil yang dikemudikan ayahnya memasuki gerbang sebuah desa yang asri.
Hamparan sawah hijau membentang di sepanjang jalan, diselingi rumah-rumah sederhana dengan halaman yang dipenuhi tanaman. Udara segar dengan aroma tanah basah menyambut kedatangan mereka. Sebuah kontras yang jauh berbeda dengan hiruk pikuk kota tempat Aruni menghabiskan hari-harinya.
"Sudah siap, Nak?" tanya Pak Burhan, melirik Aruni dari kaca spion.
Aruni menarik napas dalam-dalam dan mengangguk.
"Insya Allah, Ayah."
Mereka berhenti di sebuah rumah sederhana dan itu adalah rumah Ahmad. Ternyata rumah Ahmad lebih sederhana dari yang ia bayangkan. Sebuah bangunan kayu dengan cat hijau yang sedikit pudar, namun tampak bersih dan terawat. Halaman depannya ditumbuhi berbagai macam bunga yang berwarna-warni. Di teras, seorang wanita paruh baya dengan senyum hangat menyambut kedatangan mereka.
"Assalamualaikum, Pak Burhan, Bu Aminah. Mari silakan masuk," sapa wanita itu, yang tak lain adalah ibunda Ahmad.
Setelah bersalaman dan berbasa-basi sejenak, Bu Aminah memanggil anaknya, "Ahmad, ini Nak Aruni sudah datang."
Dari balik pintu muncul seorang pria. Aruni langsung mengenali wajahnya dari foto yang diberikan ibunya. Ahmad, tidak setampan aktor-aktor di televisi, namun ada aura ketulusan dan keramahan yang terpancar dari matanya. Kulitnya tampak sedikit legam terbakar matahari, dan tangannya terlihat kasar, menandakan ia adalah seorang pekerja keras. Ia mengenakan kemeja batik sederhana dan celana bahan berwarna gelap.
"Assalamualaikum, Mbak Aruni," sapa Ahmad dengan suara yang terdengar lembut di telinga Aruni, senyumnya mengembang tulus.
"Waalaikumsalam, Mas Ahmad," jawab Aruni gugup, berusaha menyembunyikan rasa canggungnya.
Kedua keluarga kemudian duduk di ruang tamu yang sederhana namun rapi. Obrolan mengalir perlahan, dimulai dari perkenalan diri hingga cerita tentang kehidupan di desa dan di kota.
"Jadi, Mbak Aruni ini seorang guru SD ya?" tanya Ahmad, mencoba membuka percakapan lebih jauh setelah basa-basi awal.
"Iya, Mas," jawab Aruni dengan senyum tipis. "Sudah hampir lima tahun mengajar."
"Pasti seru ya, berinteraksi dengan anak-anak setiap hari," timpal Ahmad, matanya menunjukkan ketertarikan. "Saya sendiri setiap hari berkutat dengan tanaman di kebun dan sawah."
"Ada suka dukanya, Mas. Tapi sebagian besar menyenangkan kok," kata Aruni, merasa sedikit lebih rileks. "Kalau Mas Ahmad sendiri, apa saja suka dukanya jadi petani?"
Ahmad tertawa kecil. "Sukanya ya, melihat tanaman tumbuh subur dan menghasilkan panen yang bagus. Dukanya kalau musim kemarau panjang atau hama menyerang. Kadang juga harga jual panen tidak sesuai harapan."
Ia menjelaskan dengan antusias tentang jenis-jenis padi yang ditanamnya, tentang sistem pengairan tradisional yang masih digunakan di desanya, dan tentang harapannya untuk bisa mengembangkan pertanian di desanya menjadi lebih modern. Aruni mendengarkannya dengan saksama, sesekali menimpali dengan pertanyaan sopan, merasa ada hal baru yang menarik perhatiannya.
Setelah beberapa saat berbincang di ruang tamu, Bu Yanti, ibu Ahmad meminta Ahmad mengajak Aruni untuk melihat kebun, sedangkan Pak Burhan dan Bu Aminah duduk santai di teras menikmati suasana desa yang jarang mereka temui di kota.
Aruni berjalan berdampingan dengan Ahmad, menyusuri jalan setapak di antara hamparan padi yang mulai menguning. Aroma tanah dan tanaman semakin terasa kuat.
"Ini sebentar lagi panen, Mbak," kata Ahmad sambil mengusap lembut bulir padi. "Semoga hasilnya memuaskan."
"Subur sekali sawahnya, Mas," puji Aruni, mengamati hijaunya tanaman di sekelilingnya. "Pasti Mas Ahmad rajin sekali merawatnya."
"Ya, beginilah kehidupan saya sehari-hari, Mbak," jawab Ahmad sederhana. "Sudah menjadi bagian dari hidup saya sejak kecil."
Ia dengan sabar menjelaskan berbagai jenis tanaman yang ada di kebunnya, tidak hanya padi, tapi juga beberapa jenis sayuran dan buah-buahan. Ia tampak begitu mencintai pekerjaannya, dan semangatnya itu entah bagaimana menular pada Aruni.
Saat mereka beristirahat di sebuah gubuk kecil di tengah sawah, Ahmad menyuguhkan air kelapa muda yang segar. Di bawah rindangnya pepohonan, obrolan mereka terasa lebih santai dan terbuka.
"Pemandangan di sini indah sekali ya, Mas. Beda sekali dengan suasana kota," ujar Aruni sambil menikmati segarnya air kelapa.
"Alhamdulillah, Mbak. Saya sudah terbiasa dengan suasana seperti ini. Justru saya merasa nyaman dan tenang di sini," balas Ahmad, menatap hamparan sawah dengan tatapan penuh syukur. "Mbak Aruni betah di kota?"
"Mau tidak mau harus betah, Mas. Pekerjaan saya di sana," jawab Aruni sambil tersenyum. "Tapi sesekali saya juga rindu suasana yang tenang seperti ini."
Setelah pertemuan hari itu, Aruni mulai merasakan nyaman dengan kehadiran Ahmad. Apalagi sepertinya Ahmad juga merasa tertarik dengannya.
Beberapa kali pertemuan berikutnya terasa semakin akrab. Ahmad tak pernah berusaha menjadi orang lain di depan Aruni. Ia apa adanya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Dia selalu datang ke rumah Aruni dengan motor tuanya untuk mendekatkan diri, Terkadang mereka juga keluar untuk makan bakso di pinggir jalan. Mereka selalu berbagi cerita dan tawa dan membahas banyak hal, mulai dari kenangan masa kecil, hobi, hingga pandangan mereka tentang hidup.
Aruni menyukai cara Ahmad memperlakukannya dengan sopan dan penuh perhatian. Ia juga kagum dengan pengetahuannya tentang alam dan kegigihannya dalam bekerja.
Suatu sore, saat Aruni dan Ahmad sedang menikmati teh hangat dan pisang goreng di teras rumah Aruni, percakapan mereka yang awalnya santai tuba-tiba berubah menjadi lebih serius.
"Mbak Aruni," panggil Ahmad pelan, memecah keheningan senja. "Saya... saya merasa nyaman sekali setiap kali kita bertemu."
Aruni menatap Ahmad, merasakan kehangatan menjalari hatinya. "Saya juga, Mas Ahmad. Saya merasa... berbeda saat bersama Mas."
Ahmad tersenyum tulus, matanya berbinar.
"Apakah... apakah Mbak Aruni tidak keberatan jika hubungan kita ini... menjadi lebih serius?"
Aruni terdiam sejenak, menatap mata Ahmad yang penuh harap. Namun, Ada keraguan kecil di benaknya, tentang perbedaan latar belakang mereka, tentang masa depannya di desa. Namun, ada juga perasaan hangat dan nyaman yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab.
"Mas Ahmad," kata Aruni lembut, " Ada sesuatu yang ingin saya katakan." Ia menatap mata Ahmad dengan sedikit keraguan. "Ini tentang... usia saya."
Ahmad mengerutkan kening, tampak bingung. "Usia Mbak Aruni? Memang kenapa dengan usia Mbak?"
Aruni menelan ludah. "Usia saya... sudah tiga puluh tahun, Mas." Ia menunggu reaksi Ahmad dengan cemas.
Ahmad terdiam sejenak, menatap Aruni dengan ekspresi yang sulit dibaca. Kemudian, ia tersenyum tipis. "Lalu kenapa, Mbak? Usia saya juba susah tiga lima, Bukankah usia hanyalah angka?"
Aruni merasa lega mendengar jawaban Ahmad.
"Jadi jika itu masalahnya, saya rasa itu bukanlah masalah yang berarti. Kita bisa mengatasinya. " ucap Ahmad dengan yakin.
Arumi tersenyum lebar mendengar ucapan Ahmad, pria itu sangat baik dan tulus. Jadi tidak ada alasan Aruni untuk menolak keinginan Ahmad yang ingin menjalin hubungan yang lebih serius.
"Jadi kalau begitu, Aku akan bicara pada ibu tentang rencana kita, dan mulai sekarang kita akan mengurus berkas-berkas pernikahan kita."