Jenar dan Gena bertemu di Pantai Pangandaran. Mereka sedang terluka hatinya dan saling menyembuhkan satu sama lain. Namun di hari terakhir Gena mendengar pembicaraan Jenar dan sahabatnya di telepon. Jenar mengatakan bahwa Ia hany mengisi hatinya dan tidak menganggap serius. Gena sakit hati karena Ia menyukai Jenar. Pergi tanpa mengatakan apapun. Jenar merasa juga dibodohi Gena. Lalu memang takdir tak bisa ditolak, Kakak mereka jodoh satu sama lain dan akan menikah mereka diperkenalkan sebulan sebelum pernikahan sebagai calon ipar. Walaupun saling membenci, mereka tahu bahwa ini demi kebahagian Kakak yang mereka sayangi. Berpura-pura tidak saling mengenal. Tanpa berkata apapun. Sembilan bulan kemudian saat musibah terjadi, saat Kakak mereka kecelakaan dan meninggalkan seorang bayi. Mereka mau tidak mau harus bersama, mengurus keponakan mereka. Dan saat itulah cinta mereka bersemi kembali. Apakah ini sebuah takdir dengan akhir bahagia atau hanya luka lama yang terbuka lagi? -You Never Know What Happen Next-
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 - Kecupan Manis
“Jadi kamu udah ketemu sama si Fadlan?”
Sembari berjalan menelusuri area Green Canyon tempat mereka jalan-jalan sore ini, Gena bercerita pada Jenar tentang pertemuannya dengan Fadlan tadi siang. Sebagai informasi, saat ini Gena mengajak Jenar jalan-jalan ke Green Canyon untuk mengisi waktu sore mereka. Jenar tentu mau-mau saja. Ke mana pun diajak Gena, Jenar pasti setuju karena hanya Gena yang ia punya di sini.
“Iya. Setelah aku pikir-pikir, saran kamu ada benarnya. Rasanya terlalu kekanakan bertengkar dengan Fadlan hanya karena kesalahpahaman. Jadi aku memutuskan untuk memaafkan dia.”
Mendengar hal itu membuat Jenar merasa senang. Dadanya menghangat karena Gena mau mendengarkan suaranya. Ia merasa dihargai oleh pria itu. Seakan Gena memang membutuhkan saran darinya. Seakan di sini sarannya berpengaruh pada suasana hati Gena.
“Thanks, ya, udah dengarin saranku,” kata Jenar.
Gena menggeleng. “Nggak. Harusnya aku yang minta makasih. Makasih ya udah care sama aku.”
Dari gerbang, mereka semakin masuk ke dalam tempat wisata itu. Tebing tinggi menjulang dengan pemandangan sungai di bawahnya membuat segar mata memandang. Gena sangat menjaga Jenar. Ia pegangi tangan wanita itu agar tidak terpeleset berjalan di bebatuan yang licin.
“Ge, aku mau naik perahu itu!”
“Jangan cepat-cepat jalannya. Nanti kamu jatuh!” jerit Gena memberitahu.
Jenar sangat aktif. Gena yang khawatir di sini mengingat kaki gadis itu baru sembuh.
“Aku nanti mau masuk ke Goa. Kayaknya bagus di sana. Airnya juga jernih!”
“Iya, tapi kamu jalannya pelan-pelan. Nanti kes—JENAR!”
Gena menjerit saat Jenar tergelincir dan hampir jatuh masuk ke sungai. Refleks Gena menarik tangan Jenar dan membawa gadis itu menjauh dari tepian tebing tersebut.
“Kamu ini nakal banget. Udah aku bilang dari tadi. Sabar, Je, sabar. Pelan-pelan. Kalau kamu kenapa-kenapa gimana?!” Gena menceramahi Jenar dengan bahu naik turun.
Jenar terdiam. Dengan tatapan sayu, ia berkata, “maaf. Aku habisnya excited banget. Dari tadi pas kamu ajak aku udah nggak sabar sebenarnya.”
Melihat tampang memelas Jenar membuat Gena meredamkan marahnya. Ia usap puncak kepala Jenar pelan, tatapannya pun serta merta melembut. “Jangan kayak tadi lagi, ya? Aku marah demi kebaikan kamu juga,” gumamnya pelan.
Jenar meraih tangan besar Gena dan menggenggamnya. “Iya, deh, aku janji bakal dengerin omongan kamu.”
“Cewek pintar,” puji Gena. Ia cubit ringan pipi Jenar hingga membuat gadis itu tersipu malu.
“Kakinya sakit nggak?” Gena bertanya sambil memerhatikan tumit Jenar yang hampir keseleo tadi.
“Enggak kok.”
“Serius?”
“Iya. Kamu tuh bawel banget. Aku nggak apa-apa. Serius, Ge...”
Gena mengambil tangan Jenar dan menautkan jari-jari mereka. Sontak Jenar merebahkan kepalanya di bahu lebar Gena. Mereka berjalan pelan menelusuri area wisata yang sedikit curam itu. Gena sengaja berjalan lambat untuk menjaga Jenar. Ia benar-benar mengawasi gadis itu. Tak ia biarkan terluka sedikit pun.
“Ge, aku mau body rafting. Kayaknya seru!” Jenar menujuk ke segerombolan wisatawan yang berada di dekat wisata arung jeram itu.
“Serius kamu bisa? Kaki kamu baru aja terkilir kemarin. Belum terlalu pulih,” larang Gena.
“Kata siapa? Nih, aku udah baikan kok,” kata Jenar seraya menggerak-gerakkan kakinya.
Gena terdiam, masih terlihat ragu membolehkan Jenar naik wahana itu.
“Ayolah. Aku kan ada kamu yang jagain. Pasti aku nggak bakal kenapa-kenapa,” pinta Jenar memelas.
Pada akhirnya Gena setuju. Ia rasa aktifitas body rafting memang wajib dicoba jika berkunjung ke tempat ini. Alhasil mereka pun menuju tempat pendaftaran wahana tersebut.
Dan selama kegiatan itu berlangsung, tangan Gena tak pernah lepas dari Jenar....
***
Hari sudah malam ketika mereka sampai di hotel. Seperti biasa, Gena mengantar Jenar ke penginapannya. Wajah mereka tampak berseri-seri layaknya rembulan yang bersinar terang malam ini. Meski sebenarnya badan mereka pegal-pegal karena naik wahana itu.
“Tadi seru banget,” kata Jenar.
“Iya. Seru. Lain kali kita ulang lagi,” sahut Gena.
Bersamaan dengan itu mereka tiba di pekarangan penginapan. Gena terpaksa berhenti di luar karena mereka harus berpisah. Sehabis ini Gena berencana balik ke penginapannya.
“Udah sampai,” kata Gena.
“Ah, iya. Udah sampai aja. Kita harus pisah ya?” Jenar mengatakan dengan berat hati.
Gena diam. Ia tidak menyahut ucapan Jenar, melainkan memandangi wajah gadis itu lekat-lekat. Tiap kali manik mereka bertemu, tiap itu pula Gena merasakan jantungnya berdegup kencang. Jujur, Gena pun berat rasanya meninggalkan Jenar kembali ke kamarnya. Namun karena penginapan mereka berbeda, Gena tentu harus pulang ke penginapannya.
“Kalau gitu aku balik dulu ya? Good night,” gumam Gena lembut.
Dan setelah itu Gena pun memutar badannya, berniat kembali ke penginapan—
“Gena! Aaaa takut! Genaaa!”
Teriakan Jenar membuat langkah Gena terhenti. Dapat ia lihat seekor anjing hitam berlarian ke arah mereka. Anjing tersebut menggonggong dengan suara keras hingga membuat Jenar ketakutan. Refleks, Jenar menarik pinggang baju Gena dan membawa lelaki itu masuk ke penginapannya.
“Ge, aku takut,” bisik Jenar.
Sekujur badannya gemetar karena anjing tersebut mengikuti mereka sampai ke pintu. Bahkan gonggongannya masih terdengar dari arah luar.
Melihat Jenar ketakutan membuat Gena memeluk tubuh perempuan itu untuk menenangkan. Jenar membalas pelukan Gena tak kalah erat. Pelukan itu berlangsung bermenit lamanya, sampai anjing tersebut pergi dan suaranya tak terdengar lagi.
Namun meski anjing itu telah pergi, baik Gena dan Jenar enggan melepas pelukan. Keduanya tetap di posisi seperti itu. Bahkan kini Jenar menenggelamkan wajahnya di dada bidang Gena. Dapat ia dengar dengan jelas detak jantung pria itu yang tak beraturan.
Perlahan Jenar mengangkat wajahnya, dan di saat bersamaan Gena menundukkan pandangannya. Tatapan mereka bertemu di udara. Wajah mereka juga tanpa sadar berada di jarak yang cukup dekat.
Entah angin apa yang mempengaruhi otak mereka sampai-sampai keduanya kini saling menatap bibir masing-masing. Keduanya terbawa suasana. Banyaknya kontak fisik yang mereka lakukan sejak tadi ternyata cukup mempengaruhi rasa nyaman yang muncul di hati mereka.
Sebelah tangan Gena terangkat, mengusap wajah lembut milik Jenar dengan gerakan pelan. Jenar memejamkan mata menikmati sentuhan itu. Tangan Jenar masih setia melingkari pinggang Gena. Perlahan, kepala Gena makin miring. Jenar tentu tahu ke mana arah perbuatan mereka malam ini. Dan karena menginginkannya juga, Jenar pun memberi akses pada Gena dengan ikut memiringkan kepalanya.
Satu detik ... dua detik ... bibir mereka akhirnya bertemu untuk pertama kalinya.
hanya mengisi kekosongan dan move on.
siapun pasti kesal dengarnya.
cinta atau obsesi
😇😇😇