Berawal dari ganti rugi, pertengkaran demi pertengkaran terus terjadi. Seiring waktu, tanpa sadar menghadirkan rindu. Hingga harus terlibat dalam sebuah hubungan pura-pura. Hanya saling mencari keuntungan. Namun, mereka lupa bahwa rasa cinta bisa muncul karena terbiasa.
Status sosial yang berbeda. Cinta segitiga. Juga masalah yang terus datang, akankah mampu membuat mereka bertahan? Atau pada akhirnya hubungan itu hanyalah sebatas kekasih pura-pura yang akan berakhir saat mereka sudah tidak saling mendapatkan keuntungan lagi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rita Tatha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 06
"Ya ampun, ngapain harus ketemu sama Om Tampan lagi, sih," keluh Lily sambil mendirikan sepedanya. Sementara Yosep keluar dari mobil dan membuka pintu belakang dan Brian keluar dari sana.
"Masih kurang ganti ruginya?" tanya Brian saat sudah berdiri di depan Lily.
"Bukan gitu, Om. Cuma ...."
"Kaki Anda berdarah, Nona." Yosep menyela. Mengalihkan perhatian kedua orang itu. Benar saja, karena menggunakan rok pendek, lutut Lily berhasil mencium aspal. Lukanya cukup lebar dan ada darah segar yang keluar.
Brian berjongkok, menatap luka itu dengan ngeri sendiri.
"Ngapain, sih, Om." Lily melangkah mundur perlahan karena merasa tidak nyaman ketika Brian sedekat itu. "Jangan-jangan om mau ngintip celana dal*m gue ya?"
Brian bangkit sambil mendengkus kasar. Bahkan, sebuah sentilan mendarat di kening Lily hingga membuat gadis itu mengaduh. "Pikiranmu sungguh sangat kotor. Apa kamu tidak merasakan sakit dengan lukamu yang seperti itu."
"Ini hanya luka kecil, Om. Emangnya Om mau kayak di novel gitu. Lihat luka gini langsung bawa ke rumah sakit?" tanya Lily sambil menantang.
"Yosep, kita ke rumah sakit sekarang!" perintah Brian. Hal itu membuat Lily termangu beberapa saat.
"Eh, jangan, Om. Gue mau pulang sekarang. Nanti biar diobati ayah di rumah." Lily menolak saat Yosep hendak membuka pintu mobil belakang.
"Tapi ...."
"Udah, sana Om pulang aja. Gue pulang dulu ya, Om. Takut ada culik." Lily hendak menaiki sepedanya. Namun, Brian menahan gadis itu.
"Biar aku mengantarmu pulang." Brian menawarkan diri. Namun, Lily justru terkekeh.
"Om, rumah gue di depan sana. Enggak ada lima menit sampai. Mendingan Om pulang aja, deh."
"Aku akan mengantarmu atau ganti rugi ...."
"Astaga. Baiklah. Tapi gue enggak mau naik mobil." Lily mendorong sepedanya ke arah Brian.
Lelaki itu hanya diam menatap Lily dan sepedanya bergantian. Mengayuh sepeda? Brian jarang sekali melakukannya. Bahkan ia lupa kapan terakhir kali naik sepeda. Ia pun menawarkan menggunakan mobil. Namun, Lily menolak.
Pada akhirnya, Brian pun menuruti gadis itu. Meminta Yosep untuk mengikuti di belakang menggunakan mobil. Ingin sekali Yosep melarang, tetapi Brian memberikan kode bahwa semua tidak ada masalah. Brian pun mengayuh sepeda itu dan Lily duduk di belakangnya.
Tin tin tin!
Tinggal berapa langkah sampai rumah, terdengar bunyi klakson lagi. Brian menghentikan sepedanya, sedangkan Lily langsung turun.
"Dia tidak kapok juga!" gerutu Lily kesal.
"Siapa?"
"Mak Lampir!"
Tepat ketika Lily menjawab. Yasmin keluar dari mobil. Wajah wanita itu terlihat sangat kesal dan seperti hendak melahap Lily hidup-hidup. Sementara Lily hanya memasang wajah santai tanpa takut sedikit pun.
"Ngapain lagi, sih! Mau mampir ke rumah?" tanya Lily setengah meledek.
"Gue masuk rumah lu? Najis!" cemooh Yasmin sambil meludah di depan Lily. Hal itu membuat Brian naik pitam dan hampir memukul Yasmin. Namun, Lily memberi kode dengan kedipan mata. "Wah, ternyata elu sama pacar elu ya."
"Emang kenapa? Makannya elu jangan berani sama gue. Ada pacar gue di sini." Lily berbicara dengan sangat yakin. Tanpa keraguan sedikit pun.
"Cih! Tampang doang ganteng. Penampilan rapi kayak orang kantoran, tapi gue yakin kalau dia sama kayak elu. Miskin!" hina Yasmin sambil tersenyum sinis.
"Berani sekali kamu!" sentak Brian emosi.
"Kenapa? Elu berani? Elu mau ngebela cewek elu yang miskin dan kampungan ini?" Yasmin tidak juga berhenti.
"Yasmin, elu bisa diem enggak?!"
"Kenapa? Elu mau ngasih ular mainan lagi? Enggak mempan!" Yasmin melempar ular mainan milik Lily. Dengan sigap Lily menangkap benda itu dan memasukkannya ke dalam tas.
"Dengar ya, kalau emang elu bukan wanita rendahan. Kalau berani elu bawa dia ke acara reuni besok. Jangan-jangan dia cuma om-om yang elu sewa. Secara elu 'kan butuh bantuan finansial." Yasmin berbicara dengan angkuhnya.
Tangan Lily terkepal erat. Namun, dia berusaha untuk tidak tersulut emosi. Justru, bibir Lily tersenyum simpul. Melihat senyuman itu, seketika Yasmin menatap was-was. Sejak dulu, dia paling takut jika melihat Lily sudah menunjukkan senyuman liciknya.
"Nona Yasmin Putri Wirajaya, sepertinya Anda tidak merasa puas juga." Lily menaikkan lengan gaun yang dikenakan. Lalu memasukkan tangan ke dalam tas lagi.
"Elu mau apa?" Yasmin melangkah mundur. Nyalinya menciut saat itu juga.
"Tentu saja memberi kenangan berharga untuk Nona Yasmin." Lily terus memainkan tangan di tas. Seolah sedang mencari sesuatu.
"Elu jangan macem-macem, ya!"
"Baaaaaa!!!" pekik Lily. Membuat Yasmin menjerit keras dan berlari masuk ke mobil. Melihat itu, gelakan tawa Lily terdengar menggelegar. Rasanya sungguh sangat puas sekali apalagi saat Yasmin melajukan mobilnya dengan kencang meninggalkan mereka.
"Dasar Yasmin bodoh! Hahaha. Astaga perut gue kram." Lily memegangi perutnya yang terasa nyeri karena terlalu banyak tertawa.
"Memangnya kamu bawa apa sampai dia ketakutan seperti itu?" tanya Brian penasaran.
"Om tahu, dari dulu Yasmin sialan itu selalu ngerjain gue. Jadi, gue selalu bawa kecoak di dalam tas. Kalau dia macem-macem, gue langsung masukin kecoak ke dalam bajunya." Lily menjelaskan sambil tertawa.
"Jadi sekarang kamu bawa kecoak?" tanya Brian lagi.
"Enggak lah! Buat apa. Gue cuma nakutin dia aja."
"Astaga, ternyata kamu usil sekali, ya."
"Udahlah. Om pulang aja. Itu rumah gue." Lily berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Kamu tidak sopan sekali. Kenapa tidak menyuruhku masuk. Aku sudah mengayuh sepeda sampai sini," kata Brian.
Lily memutar bola mata dengan malas. "Memangnya Om mau masuk ke gubuk yang udah hampir roboh itu? Percuma, Om. Di sana enggak ada makanan—Eh, mau ke mana, Om?"
Lily mengejar Brian yang sudah berjalan terlebih dahulu. Lelaki itu menyadarkan sepeda di tembok dan langsung berdiri di depan pintu. Tidak ada alasan lagi, akhirnya Lily pun menyuruh Brian untuk masuk. Yosep yang menyusul pun ikut duduk di ruang tamu bersama Brian.
"Tunggu sini dulu, Om."
"Lily, kamu sudah pulang?" Pak Faiz keluar dari kamar dengan menggunakan kursi roda. Bibi Imah mengikut di belakang. "Loh, ada tamu?"
Brian dan Yosep bergantian bersalaman dengan Pak Faiz. Lelaki paruh baya itu nampak semringah ketika melihat Brian.
"Iya, Pak. Saya ke sini untuk mengantar Lily karena terluka."
"Terluka?" Pak Faiz langsung menatap putrinya.
"Enggak, Yah. Ini hanya luka kecil saja." Lily menunjukkan kekesalan kepada Brian. Namun, lelaki itu seperti tidak peduli.
"Biar ayah lihat. Bi, ambilkan kotak obat di belakang, ya."
Dengan telaten, Pak Faiz mengobati luka itu. Saat Lily meringis, maka Pak Faiz akan menghentikan gerakannya beberapa saat. Brian yang melihat itu pun merasa iri, betapa hangatnya perlakuan Pak Faiz.
"Makasih. Ayah selalu mengobati Lily di saat terluka."
"Itu sudah kewajiban ayah. Tapi, Ly ... kamu harus segera mencari pendamping hidup. Ayah tidak tahu sampai kapan umur ayah ini. Setidaknya, kalau kamu sudah ...."
"Yah, jangan bahas masalah ini di depan tamu."
"Memangnya kenapa? Bukankah dia adalah calon suami kamu?"
"Bu-bukan." Lily melambaikan tangan. Menyanggah ucapan sang ayah. "Di-dia hanya ...."
"Saya kekasih Lily, Om."
kenapa Lily begitu syok melihat Om tampan datang yang ikut hadir dimalam itu 🤦