Irene Larasati seorang polisi wanita yang ditugaskan menyamar sebagai karyawan di perusahaan ekspor impor guna mengumpulkan informasi dan bukti sindikat penyeludupan barang-barang mewah seperti emas, berlian dan barang lainnya yang bernilai miliaran. Namun, bukannya menangkap sindikat tersebut, ia malah jatuh cinta kepada pria bernama Alex William, mafia yang biasa menyeludupkan barang-barang mewah dari luar negri dan menyebabkan kerugian negara. Alex memiliki perusahaan ekspor impor bernama PT Mandiri Global Trade (MGT) yang ia gunakan sebagai kedok guna menutupi bisnis ilegalnya juga mengelabui petugas kepolisian.
Antara tugas dan perasaan, Irene terjerat cinta sang Mafia yang mematikan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reni t, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Seorang pelayan berseragam hitam putih seketika memasuki kamar saat mendengar teriakan Irene. Wanita itu terkejut, menatap sang pelayan dengan kening mengkerut.
"Ka-kamu siapa?" tanya Irene dengan tergagap.
"Saya pelayan yang berkerja di sini, Nona. Saya ditugaskan buat melayani Anda," jawab pelayan tersebut membungkuk memberi hormat. "Perkenalkan, nama saya Bella."
Irene terdiam, menggerakkan matanya ke kiri dan ke kanan. Mengapa Alex menyediakannya pelayang segala? Sebesar apa rumah yang dimiliki oleh sang mafia hingga pelayan saja harus mengenakan seragam hitam putih layaknya pekerja hotel? Batin Irene mulai bertanya-tanya.
"Maaf, Mbak Bella. Ini rumahnya Pak Alex, 'kan? Alex William!" tanya Irene ingin lebih memastikan.
"Betul, Nona."
"Terus, yang ganti baju saya siapa? Bukan majikan kamu, 'kan?"
Bella tersenyum ringan. "Bukan, Nona. Mana berani Tuan Alex gantiin pakaian Anda," jawabnya ramah dan sopan. "Anda adalah wanita pertama yang dibawa Tuan ke rumah ini."
Bella tersenyum sinis. "Jangan ngarang, Mbak. Mana mungkin Pak Alex gak pernah bawa cewek ke sini? Dia itu tampan dan kaya raya, mana mungkin gak ada cewek yang tertarik sama dia?"
"Kalau urusan itu saya gak tau, Nona, tapi selama saya bekerja di sini, Pak Alex gak pernah sekalipun bawa perempuan ke rumah ini."
Irene kembali terdiam. Rasanya sangat tidak masuk akal, pria sesempurna Alex tidak pernah membawa perempuan ke rumahnya? Sempurna di sini dari segi fisik dan finansial, jika dilihat dari sisi gelapnya, Alex tetap saja penjahat yang tidak bermoral. Bagaimana tidak, pria itu adalah mafia yang sudah merugikan negara, jumlahnya pun tidak main-main. Barang seharga ratusan juta bisa lolos dari bea cukai dan diedarkan di negara kita tercinta ini. Bayangkan berapa kerugian yang harus ditanggung oleh negara?
"Eu ... Pak Alex-nya sekarang di mana, Mbak?" tanya Irene seraya menatap sekeliling kamar.
"Pak Alex sedang ada urusan penting, Nona. Beliau meminta saya untuk melayani Anda. Jika Anda membutuhkan sesuatu, jangan sungkan panggil saya," jawab sang pelayan lagi-lagi bersikap ramah dan sopan, layaknya sedang berbicara kepada majikannya sendiri.
"Kesempatan bagus, aku bisa cari informasi penting di rumah ini. Mumpung Pak Alex lagi gak ada, aku bisa bebas berkeliling rumah ini," batin Irene, diam-diam menyunggingkan senyuman.
"Mbak, boleh saya lihat-lihat rumah ini?" tanya Irene dengan canggung.
"Boleh, Non. Mau saya antar?"
"Hah? Ng-ngak usah, Mbak. Saya bisa sendiri ko," jawab Irene tersenyum cengengesan. "Ngomong-ngomong, tolong jangan panggil saya dengan Nona segala, Mbak. Panggil saya Irene."
"Baik, Non Irene."
Irene mendengus kesal. "Astaga, Non lagi."
"Tapi, apa Nona udah gak apa-apa? Muka Nona lebam-lebam gitu," tanya Bella seraya menunjuk wajah Irene menggunakan jari telunjuknya sendiri.
Irene seketika turun dari atas ranjang lalu melangkah menuju meja rias yang berada di sisi kanan. Ia terkejut saat melihat wajahnya sendiri dari pantulan cermin di mana luka lebam nampak di beberapa bagian wajahnya, pelipis wajahnya pun diperban.
"Astaga, kenapa muka gue jadi ancur gini sih?" gumamnya seraya menyentuh perban di pelipis wajah juga lebam di pipi sebelah kanannya.
Irene kembali memutar badan, menatap wajah Bella dengan senyum. "Aku mau keliling rumah ini dulu ya, Mbak. Nanti kalau aku butuh sesuatu, aku bakalan panggil Mbak, oke?"
Bella menganggukkan patuh. "Baik, Non. Saya permisi."
Irene menganggukkan kepala, kembali memutar badan hingga tubuhnya menghadap cermin. Ia menatap tubuhnya sendiri, di mana piyama berwarna ungu berbahan sutra nampak membalut tubuh langsingnya.
"Hmm! Piyamanya bagus juga, tapi ngomong-ngomong bajuku di mana?" gumamnya, lalu menatap sekeliling mencari pakaian miliknya. "Apa mungkin bajuku dibuang juga? Padahal baju itu mahal, dasar Alex. Mentang-mentang orang kaya, seenak-enaknya buang barang orang."
Irene merapikan rambut pendeknya yang sedikit berantakan sebelum akhirnya berbalik dan berjalan ke arah pintu kemudian membukanya.
"Astaga!" decak Irene, melangkah keluar dari dalam kamar.
Matanya membulat, menatap ruangan luas layaknya aula dengan lantai marmer berwarna putih. Pagar yang menjadi pembatas lantai dua berada di ujung lantai dengan tangga yang menjuntai, menghubungkan lantai satu dan lantai dua.
"Ya Tuhanku, ini rumah apa istana?" gumam Irene, melangkah lalu berdiri di ujung tangga.
Pemandangan di lantai satu terlihat lebih menakjubkan. Ruangan luas tanpa sekat, sofa berwarna kuning keemasan bertengger di ruang tamu, di sisi lain sofa yang berbeda bertengger tepat di depan televisi berukuran raksasa. Gorden berwarna abu muda dengan tinggi setara lantai dua nampak menutup kaca jendela raksasa dengan pintu utama di tengah-tengahnya.
Irene melangkah menuruni satu-persatu anak tangga dengan perasaan takjub. Ini adalah pertama kalinya ia memasuki rumah semewah dan semegah ini. Beberapa pelayan bahkan nampak sedang melakukan tugasnya dan mereka semua memakai seragam yang sama yaitu, stelan hitam putih.
"Ini sih gila, gila banget," decaknya, Alex melebihi ekspektasi yang ia bayangkan. "Ini si bukan rumah, anjir. Ini istana. Ya Tuhan!"
Seorang pelayan melangkah menghampiri lalu membungkukkan tubuhnya memberi hormat. "Selamat siang, Nona. Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya dengan sopan.
Irene menggaruk lehernya sendiri dengan perasaan canggung, ia merasa seperti seorang putri kerajaan. "Eu ... nggak ko, aku cuma mau lihat-lihat rumah ini doang, Mbak. Silahkan teruskan pekerjaan kamu."
Pelayan tersebut mengangguk. "Baik, Nona. Permisi," ucapnya kembali membungkuk hormat sebelum akhirnya berbalik dan melanjutkan pekerjaannya.
"Ya Tuhan, kalau rumahnya sebesar ini, gimana caranya aku cari ruangan kerja Alex?" batin Irene, menghentikan langkahnya seraya menatap sekeliling.
Irene benar-benar dibuat bingung, sepertinya tidak akan mudah mencari informasi penting di rumah ini. Berapa ruangan yang harus ia periksa satu-persatu? Terlebih, ada banyak pelayan yang bisa saja memergoki aksinya, rumah sebesar ini pun sudah pasti memiliki CCTV di setiap sudut ruangannya.
Iren mengusap wajahnya kasar dengan mata terpejam. "Ternyata perkejaan ini gak semudah yang gue bayangkan. Ya Tuhan, berilah hambamu ini petunjuk," gumamnya dengan kesal, melangkah menyusuri ruangan luas tersebut dengan ragu-ragu dan bingung. Sampai akhirnya, suara seseorang terdengar menyerukan namanya dengan suara lantang.
"Kamu udah bangun, Briptu Irene Larasati?"
Irene sontak menahan langkahnya dengan tubuh gemetar, matanya membulat, kedua kakinya terbeku. Briptu Irene? Dari mana orang yang menyerukan namanya itu tahu bahwa ia seorang polisi? Batin Irene. Dirinya baru saja akan mulai menyelidiki, tapi identitasnya sudah diketahui. Apa ini akhir dari segalanya? Apa hidupnya akan berakhir di sana? Di rumah bak istana, menyajikan surga dunia, tapi akan menjadi neraka dan kuburan baginya.
"Mampus!" batin Irene dengan mata terpejam.
Suara langkah sepatu terdengar nyaring dan beraturan, melangkah mendekat membuat Irene semakin ketakutan. Wanita itu akhirnya memutar badan, masih dengan tubuh gemetar.
"Kenapa kamu diem aja, Briptu Irene Larasati?" ucap laki-laki tersebut berdiri tepat di depan Irene yang baru saja berbalik.
Irene mendongak memandang wajahnya dengan mata memerah dan berair. "Ma-maksud Anda apa?"
Bersambung ....
mampus kau david,habis ni kau akan liat kemurkaan dan kemarahan bang alex 🤭😅😅