The Orchid dipimpin oleh tiga pilar utama, salah satunya adalah Harryson. Laki-laki yang paling benci dengan suasana pernikahan. Ia dipertemukan dengan Liona, perempuan yang sedang bersembunyi dari kekejaman suaminya. Ikuti ceritanya....
Disclaimer Bacaan ini tidak cocok untuk usia 18 ke bawah, karena banyak kekerasan dan konten ....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El_dira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33 Makan Malam
Gaun itu melingkari tubuh Liona seperti sarung tangan sutra yang dibuat khusus—menyempit sempurna di pinggangnya, lalu melebar indah mengikuti lekuk pinggulnya yang penuh. Kain itu tidak menyembunyikan kekuatan otot di balik keanggunannya, justru menonjolkannya. Harry menelan ludah, merasakan rasa haus yang aneh menjalar di tenggorokannya.
Sepatu hak tinggi yang dikenakan Liona membuat kakinya tampak lebih panjang dan memikat. Rambutnya bergelombang, jatuh lembut seperti tirai malam yang menyembunyikan rahasia. Bintik-bintik di pipinya membuatnya terlihat lebih manusiawi—lebih nyata, lebih dekat. Bibir merah muda yang mengilap itu seolah memanggil, dan Harry mendapati dirinya terpaku.
Tidak ada Venus dari laut yang bisa menandingi sosok di hadapannya.
Dengan tangan gugup, Liona memainkan tali jam tangannya. Tatapannya jatuh ke lantai saat Harry bergumam rendah, “Kamu... kamu cantik sekali malam ini.”
Warna merah jambu menyebar cepat di pipinya, dan tubuh Harry menegang. Dia terlihat gugup, berpindah dari satu kaki ke kaki lainnya, masih belum berani menatap Harry langsung.
“Aku tahu... aku seharusnya menurunkan berat badan,” bisik Liona, hampir tak terdengar.
Alis Harry langsung naik. “Tidak. Tidak sama sekali,” katanya cepat. “Aku suka wanita dengan lekuk tubuh. Kamu... kamu luar biasa.”
Liona menatapnya dengan bingung, seolah belum pernah mendengar pujian jujur seperti itu. Harry tersenyum canggung, menarik kerah bajunya untuk menyembunyikan kegugupan. “Bagaimana kalau kita berangkat sekarang?”
Liona hanya mengangguk pelan. Harry menahan pintu untuknya, dan aroma tubuhnya—wangi mawar bercampur lavender—menghantamnya seperti badai musim panas. Tangannya mengepal erat. Dia bisa melihat... tapi tidak boleh menyentuh. Bukan sekarang.
“Semoga kamu lapar,” katanya sambil membukakan pintu penumpang SUV-nya.
Liona hanya membalas dengan senyum kaku. Perjalanan mereka sunyi, hanya diisi dengan deru mesin dan sesekali desahan napas yang tertahan. Liona tampak gelisah, tangannya mengepal di pangkuan.
Setibanya di restoran Italia paling eksklusif di Jakarta, Harry menoleh padanya. “Kamu pernah makan di sini?”
Liona menggeleng. “Belum pernah.”
Harry mengangguk. Tempat ini biasanya hanya dikunjungi oleh mereka yang punya nama besar. Saat dia menyerahkan kunci mobil pada pelayan dan berjalan memutari SUV, dia sempat melirik orang-orang di sekitarnya yang jelas ingin tahu siapa yang datang malam itu.
Ketika Liona keluar dari mobil, dia menggigil. Tanpa pikir panjang, Harry melepas jaketnya dan menyampirkannya di bahu Liona. Mata gadis itu membelalak, tubuhnya menegang seperti akan lari.
Ada sesuatu yang salah. Tatapannya... bukan sekadar terkejut. Ada rasa takut yang samar di sana.
Namun Harry hanya tersenyum lembut, menekan tangan hangatnya di punggung Liona dan membimbingnya masuk.
Ruangan itu penuh bisik-bisik dan tatapan. Tapi Harry tidak peduli. Dia hanya ingin Liona merasa nyaman. Ia mengantar Liona melewati antrean, langsung ke meja yang sudah ia pesan—meja sudut yang tenang dan eksklusif.
“Kamu mau anggur?” tanyanya setelah mereka duduk.
Liona menggeleng.
“Bir? Koktail?”
Kepala Liona kembali bergerak ke kiri. Dia mengangkat menu dan menyembunyikan wajahnya di baliknya. Harry menarik napas dalam-dalam. Ini... bukan seperti yang ia harapkan. Ia memesankan sebotol anggur untuk berjaga-jaga, dan sebotol bir untuk dirinya sendiri.
“Lihat sesuatu yang kamu suka?” tanyanya, mencoba mencairkan suasana.
"Aku tidak yakin," jawab Liona pelan.
Gumaman itu menghantam Harry seperti tamparan. Apakah segitu buruknya berada di dekatnya? Apakah dia telah melangkah terlalu jauh?
Mereka memesan tanpa banyak bicara, dan keheningan kembali menyelimuti meja.
“Ini tempat yang bagus,” ucap Liona akhirnya, pelan.
Harry tersenyum. “Meskipun agak berisik, ya. Aku biasanya suka tempat yang lebih tenang. Santai.”
“Sering datang ke sini?”
“Tidak juga,” jawabnya sambil memperhatikan Liona menarik jaketnya lebih rapat.
“Kamu tidak perlu membawaku ke sini...”
Harry menggeleng. “Kamu pantas mendapatkannya, Liona. Apa yang kamu lakukan di perkebunan dalam waktu singkat itu... luar biasa.”
“Itu... hanya karena kamu membayarku.”
Kalimat itu menghantam keras. Harry tidak tahu harus merespons apa. Tapi sebelum ia sempat menjawab, makanan mereka datang.
Pelayan menyajikan dengan senyum ramah. Liona hanya berterima kasih dengan suara nyaris tak terdengar. Harry mulai makan, mencoba menikmati, tapi pikirannya terus melayang pada wanita di seberangnya. Ia memperhatikannya mendorong pasta di piring, nyaris tak menyentuhnya.
“Tidak suka makanannya? Mau ganti?” tanyanya.
Liona buru-buru menggeleng. “Suka kok. Enak,” katanya cepat, lalu mengambil satu suapan kecil.
Harry menarik napas dalam-dalam, meneguk birnya. Malam ini seharusnya menyelesaikan kegelisahannya... tapi justru membuat semuanya makin rumit. Ia makin tertarik. Makin tersihir.
Ia memaksakan dirinya membuka pembicaraan. “Bagaimana adaptasinya di perkebunan?”
Liona mengangkat bahu. “Lebih baik. Aku harap aku cukup membantu.”
“Kamu lebih dari cukup. Kamu luar biasa, Liona.”
Perlahan, ketegangan mulai mencair. Liona mulai bercerita sedikit. Tentang cuaca, tentang tanaman, hal-hal kecil yang tidak penting tapi terasa menyenangkan untuk didengar. Harry bahkan tertawa beberapa kali—tawa tulus yang sudah lama tak ia rasakan.
Liona berbeda. Bersamanya tidak terasa palsu. Tidak seperti bersama wanita-wanita lain yang hanya peduli pada status atau uang.
Pelayan kembali mendekat. “Nona, mau dibungkus makanannya?”
Liona menggeleng. “Tidak usah, terima kasih.” Gelas airnya ia habiskan hingga tetes terakhir.
Piringnya nyaris utuh. Harry merasakan kegelisahan menyusup di dadanya, tapi ia menahan diri. Ia tak ingin merusak momen yang mulai membaik.