Raina tak pernah membayangkan bahwa mahar pernikahannya adalah uang operasi untuk menyelamatkan ibunya.
Begitupun dengan Aditya pun tak pernah bermimpi akan menikahi anak pembantu demi memenuhi keinginan nenek kesayangannya yang sudah tua dan mulai sakit-sakitan.
Dua orang asing di di paksa terikat janji suci karena keadaan.
Tapi mungkinkah cinta tumbuh dari luka, bukan dari rasa????
Tak ada cinta.Tak ada restu. Hanya diam dan luka yang menyatukan. Hingga mereka sadar, kadang yang tak kita pilih adalah takdir terbaik yang di siapkan semesta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asmabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kemalangan Raina.
Sejak bentakan itu, Raina tak lagi berkata banyak. Ia tidak menanyakan apa pun, tidak menyinggung kejadian kemarin, dan tidak lagi mencari celah untuk bicara. Rumah terasa lebih dingin seperti dua tahun yang lalu, bukan karena cuaca, tapi karena kehadiran yang semu. Aditya pulang larut malam, masuk ke kamar tanpa suara saat Raina sudah tertidur. Ia tidak menyalakan lampu, tidak menyentuh apa-apa. Raina sempat terjaga sebentar, mendengar suara pintu kamar mandi dan derit ringan kasur, tapi ia pura-pura tidur. Ia terlalu lelah untuk memulai pembicaraan, terlalu hancur untuk membuka luka baru yang belum sempat mengering. Dan saat ia benar-benar bangun pagi harinya, tempat tidur di sebelahnya sudah kosong. Aditya telah pergi. Seperti biasa.
Di meja rias, Raina menatap selembar undangan kecil berwarna putih gading—undangan acara 40 hari mendiang ibunya. Ia sudah menyiapkannya sejak kemarin, berharap bisa mengajaknya bicara, meminta Aditya menemaninya pulang ke rumah masa kecil, berdiri di antara doa-doa yang ditujukan untuk seseorang yang telah pergi selamanya. Tapi situasi kemarin mematahkan harapan itu. Raina tak punya ruang untuk bicara, bahkan untuk sekadar berharap dimengerti. Jadi pagi itu ia hanya mengirim pesan singkat. Kalimat yang ditulis pelan-pelan, agar tidak terdengar menyalahkan, hanya menyampaikan. Ia menulis: “Hari ini acara 40 hari ibu. Kalau mas sempat, aku ingin mas ikut. Tapi kalau nggak bisa, nggak apa-apa. Aku pulang sendiri.”
Pesan itu dikirim pukul enam lewat empat puluh delapan. Saat taksi yang Ia pesan siap menjemput siang harinya, pesan itu belum juga dibaca. Tidak ada balasan, tidak ada panggilan, tidak ada tanda sedikit pun bahwa seseorang di sisi lain masih peduli.
Di dalam mobil, Raina duduk diam menatap ke luar jendela. Matanya tidak menangis, tapi hatinya seperti dihancurkan perlahan. Ada kesedihan yang tidak bisa disuarakan, karena bahkan keinginan paling sederhana—ditemani di hari kehilangan—telah menjadi terlalu besar untuk diminta. Ia menggenggam ujung undangan di dalam tasnya, lalu memejamkan mata. Hari itu seharusnya menjadi tentang ibunya. Tapi entah bagaimana, rasa ketidak hadiran serta kepedulian Aditya justru lebih menyakitkan dari kepergian siapa pun.
🍓🍓🍓🍓🍓🍓🍓
Mobil perlahan berhenti di halaman rumah sang paman di kampung. Udara pedesaan yang biasanya menenangkan kini tak cukup mampu menepis gundah yang menggumpal di dada Raina. Ia turun dengan senyum sopan, membawa beberapa bingkisan penuh oleh-oleh dari kota—serta sembako dan makanan ringan untuk anak-anak di sekitar, bahkan beberapa amplop tebal yang telah ia siapkan untuk dibagikan kepada anak-anak yatim usai pengajian nanti. Ia ingin memberi, mengingat ibunya yang selalu mengajarkan: “Kalau sedang berduka, jangan hanya menangisi. Berbagilah. Itu menenangkan hati.”
Namun sejak turun dari mobil, Raina sudah bisa merasakan pandangan-pandangan mengendap dari para tetangga yang berdiri berkelompok di ujung gang. Sorot mata mereka seperti jarum halus yang menusuk pelan, dibungkus senyum tipis yang tidak ramah. Dan benar saja, tak lama setelah ia masuk ke dalam rumah sang paman, suara-suara lirih itu mulai terdengar jelas dari balik tirai dan sela tembok.
Dan ketika Raina sedang sibuk membantu bibinya menata dus-dus sembako di teras ketika sekelompok ibu-ibu tetangga mulai datang, satu per satu. Wajah mereka membawa senyum, tapi mata mereka menyimpan rasa ingin tahu yang tak bisa disembunyikan. Salah satu dari mereka, Bu Murni, yang dikenal cerewet tapi "berpura-pura lembut", mulai membuka percakapan sambil menepuk ringan lengan Raina.
Bu Murni:
"Ya ampun, Raina… kamu cantik banget sekarang. Makin bersinar. Jakarta emang beda, ya…"
Raina:
(tersenyum kecil)
"Alhamdulillah, Bu. Seadanya aja."
Bu Tatik (menyusul):
"Ih, kamu tuh ya… pulang-pulang bawa sembako segunung. Luar biasa. Tapi sendirian terus, ya? Suami nggak bisa ikut?"
Raina:
(tersenyum, sedikit kikuk)
"Nggak bisa, Bu. Lagi banyak kerjaan di Jakarta, katanya ada proyek urgent."
Bu Murni:
"Oh, gitu ya... padahal ini kan acara 40 harian almarhumah ibu kamu, ya? Biasanya suami itu yang paling depan dampingi istrinya di saat-saat begini..."
(ia menatap penuh makna)
Bu Yayah (menimpali):
"Tapi ya udah lah, namanya juga laki-laki zaman sekarang… sibuk kerja terus. Eh, tapi kalian baik-baik aja, kan, Na?"
Raina terdiam sejenak. Matanya bergerak mencari alasan untuk menghindari jawaban. Tapi senyum itu tetap ia pertahankan.
Raina:
"Baik, Bu.Alhamdulillah sangat baik malah.
Bu Tatik (mendekat, suaranya lembut tapi menusuk):
"Kamu kuat banget sih, Na. Tapi kamu beneran punya suami kan, maksudnya bukan hanya di jadikan simpanan?
Pertanyaan itu jatuh seperti duri kecil di dada Raina. Lembut, tapi tajam. Ia tahu, maksudnya bukan untuk menyakitinya langsung. Tapi seperti ingin membenarkan gosip yang sudah lama beredar.
Raina (menahan napas, tetap tersenyum):
"Astaghfirulloh bu, sesama perempuan loh kita.
Saya sudah pernah menegaskan saya ini bukan perempuan seperti itu, !!! "
"Raina ayo masuk, jangan dengarkan mereka." bibi Raina yang sejak tadi menata barang di dalam, melihat Raina di kerubungi ibu-ibu julid segera mengajaknya masuk.
(bu Tatik) "Hehe kita nggak bermaksud apa-apa ya_jangan tersinggung.Lagipula, Raina _
dia gadis yang baik mana mungkin seperti itu.
Para ibu lain mengangguk-angguk. Tapi di antara anggukan itu, Raina tahu mereka sedang menimbang-nimbang. Membandingkan. Menyimpulkan.
Dan saat mereka kembali ke kelompok masing-masing, suara-suara bisik mulai terdengar lagi.
"Simpanan mana ada yang ngaku! "
Setelah pengajian selesai dan tamu-tamu mulai pulang, Raina duduk di teras rumah Pak Kusno. Langit mulai jingga, dan suara jangkrik mulai muncul di kejauhan. Ia memeluk lututnya, diam menatap jalan setapak yang dulu setiap pagi dilalui ibunya menuju pasar. Senyap. Lalu suara langkah berat menghampiri.
“Rai,” ujar Pak Kusno sambil membawa dua gelas teh panas. “Ngopi teh dulu, yok.”
Raina menoleh dan tersenyum tipis. “Terima kasih, Paman.”
Pak Kusno duduk di sebelahnya, menyeruput teh, lalu menatap ke depan. “Tadi kamu ke rumah lama, ya?”
“Iya,” jawab Raina pelan. “Udah ditempatin orang. Rumahnya udah dicat, halamannya rapi... udah bukan rumah kami lagi.”
Pak Kusno mengangguk. “Paman baru tahu rumah itu dijual setelah prosesnya hampir selesai. Yang tanda tangan... ya ayahmu.”
Raina tertawa kecil, getir. “Ayah? Paman tahu dia di mana sekarang?”
“Nggak, Paman juga nggak tahu. Dia datang diam-diam, urus cepat lewat notaris. Katanya dia ahli waris sah, karena belum ada surat warisan dari ibu kamu.”
Raina menarik napas dalam. “Padahal ibu udah kerja keras buat pertahankan rumah itu... sampai akhir hayatnya.”
“Kamu nggak marah?” tanya Pak Kusno pelan.
Raina menggeleng, tapi matanya mulai berkaca. “Nggak tahu, Paman. Rasanya lebih ke... kosong. Orang yang ninggalin kami dari aku kecil, sekarang malah ngambil satu-satunya hal yang ibu perjuangkan.”
Pak Kusno menatap Raina penuh iba. “Paman ngerti. Kamu kuat, Rai. Tapi kamu juga boleh marah. Boleh kecewa.Paman dengar suamimu bukan orang sembarangan, bagaimana kalau kamu meminta bantuannya? "
Raina mengangguk pelan. "Sepertinya tidak mungkin paman.Raina menerawang dengan mata yang ber_embun.
Pak Kusno diam sejenak, lalu bertanya hati-hati. “Hubungan kalian... baik-baik aja, Rai?”
Butiran air mata mengalir diam di pipi Raina. Ia tidak menoleh. “Selama dua tahun terakhir kami tinggal satu rumah, tapi seperti dua orang asing. Dingin. Nggak bertengkar, tapi juga nggak bicara. Tapi kemarin... dia bentak aku. Untuk pertama kalinya.”
Pak Kusno memijit bahunya pelan. “Rai, kalau kamu capek, kalau kamu ingin berhenti—itu bukan berarti kamu menyerah. Kadang orang harus memilih bertahan atau menyelamatkan diri.”
Raina mengusap pipinya.
Pak Kusno menatapnya dalam. “Kamu perempuan yang baik. Ibumu pasti bangga. Tapi kamu juga berhak hidup dengan tenang. Kalau suatu hari kamu butuh tempat pulang, rumah ini selalu terbuka.”
Raina menggenggam tangan pamannya, hangat tapi gemetar. “Terima kasih, Paman. Aku cuma... butuh waktu.”
Dan senja pun turun perlahan, seperti menyelimuti luka yang tak terlihat tapi terasa sangat dalam. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Raina merasa... tak sepenuhnya sendirian.