Dilarang spam promo di sini!
Warning! Banyak tindak kekerasan, penuh masalah moral. Harap ditanggapi dengan bijak!
Tahap Revisi!
Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Psychology, Adventure.
Sakura, gadis yatim piatu berotak cerdas, yang selama hidupnya dibesarkan di sebuah Panti Asuhan.
Karena sebuah tragedi, ia dilahirkan kembali menjadi seorang Putri di Negeri Asing. Negeri di mana, seorang perempuan berusia empat tahun akan dipaksa bertunangan dengan seorang asing, lalu saat perempuan tersebut menginjak tujuh belas tahun ... Dia akan dieksekusi jika laki-laki yang menjadi tunangannya itu, menolak mentah-mentah dirinya.
Tak ada kebebasan untuk perempuan, yang ada hanyalah ... Hukum mutlak jika hanya laki-laki yang berkuasa, perempuan tak lebih berharga dari seekor hewan.
Ini kisah Sakura, yang berjuang untuk mendapatkan keadilan. Ini kisahnya, kisah yang akan membawamu ke sisi paling kelam kehidupan.
Semangat, cinta kasih, haru biru, memenuhi perjuangannya di dalam kisah ini. Perjuangan, yang akan membawa nasib perempuan untuk kedepannya.
2 chapter, up daily.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon FufuHima, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter VI
"Apa yang sedang kalian lakukan di sini?" Suara Pangeran Haruki yang tiba-tiba terdengar, mengagetkan kami.
"Eh, kakak? Kami ... Kami baru saja membuat minyak kemiri, benarkan, Tupai?" ucap Izumi seraya melihat ke arahku.
"Benar, Yang Mulia," jawabku yang kaku tertunduk.
"Minyak kemiri?" Pangeran Haruki mengerutkan keningnya saat aku membalas tatapannya.
"Jika Yang Mulia, rutin membalurkan minyak kemiri ke rambut Yang Mulia, maka rambut Yang Mulia akan lembab, tebal dan mengkilap."
Dia masih terdiam mendengar perkataanku, "seperti yang sedang kalian lakukan sekarang?"
"Benar, si Tupai ternyata punya bakat juga dalam memijat kepala," jawab Izumi diiringi suara tawa khas miliknya.
"Rasanya aku ingin segera menemukan batu besar lalu menghantamkannya di kepala anak ini," gerutuku dengan sangat pelan sambil terus memijat kepalanya.
"Apa kau mengatakan sesuatu?"
"Tidak, aku tidak mengatakan apa pun Kakak," balasku tersenyum menatapnya.
"Heh, begitu, kah?" sambung Pangeran Haruki menatap kami dengan wajah datar.
Ada apa dengan laki-laki ini? Entah kenapa, aku jadi merasa seperti seorang Ibu yang diperebutkan anaknya. Belajar dari kejadian smoothies, Pangeran Haruki ialah tipe yang tidak akan jujur pada dirinya walaupun dia menginginkan sesuatu atau lebih tepatnya dia versi pintarnya Izumi. Tapi bukankah semua laki-laki di sini semuanya seperti itu?
Ah sialan, mereka benar-benar merepotkan.
"Sebenarnya Yang Mulia, kami sudah meminta pelayan untuk memberikan minyak kemiri yang kami buat padamu. Benar, kan, kakak?"
Izumi mendongakkan kepalanya, sebelum akhirnya dia mengangguk menatap Haruki, "benar, kami sudah memberikannya ke pelayan pribadimu, kakak," balasnya, aku sedikit menghela napas mendengarnya.
"Kenapa kau memanggil Izumi dengan kakak, tetapi memanggilku dengan Yang Mulia?"
"Eh? I-itu?" jawabku terbata membalas tatapannya.
Jangan bilang kalau dia cemburu karena aku memanggil Izumi dengan sebutan kakak?
"Sudahlah, tidak masalah. Kami akan pergi mengecek wilayah barat kerajaan, dari kabar yang aku dengar pohon yang tidak diketahui jenisnya tumbuh di sana. Aku memintamu untuk ikut kami mengeceknya, Tsubaru," ucapnya seraya mengalihkan pandangan kepada Tsubaru.
"Baik, Pangeran. Saya akan ikut mengeceknya," jawab Tsubaru dengan menundukkan tubuhnya.
Pohon tak dikenal? Pohon apa itu? Sial, aku penasaran sekali, mungkin aku akan tahu jenis pohon apa itu jika aku bisa melihatnya secara langsung.
"Itu, bolehkah aku ikut dengan kalian ke sana, Haruki Onii-chan?" Ucapku yang langsung berdiri mendekatinya.
Aku diam membeku, saat kurasakan sesuatu mencengkeram kuat kepalaku, "oi Tupai, kau memanggilnya dengan sebutan Onii-chan tapi memanggilku dengan sebutan kakak biasa. Apa kau bercanda?" Aku meneguk ludah, saat dia melotot ketika mata kami saling bertemu.
Aku mengalihkan pandangan, saat suara dehaman dari Pangeran Haruki menyentuh telinga, "baiklah, kau boleh ikut," ucap Pangeran Haruki seraya berusaha mempertahankan wajah datar nan tampannya itu.
"Tunggu dulu, kita belum selesai Tupai. Kau harus memanggilku juga dengan sebutan Onii-chan, ini perintah. Apa kau ingin mengabaikan perintahku?!" ucapan Izumi kembali terdengar, kali ini ia memegang kuat pundakku sambil melotot tajam.
"Haruskah kita pergi bersama, Izu Onii-chan?" ucapku seraya mengelap keringat dingin yang keluar di dahi menggunakan lengan gaun yang kukenakan.
"Kau seharusnya melakukannya lebih cepat," ucapnya melepaskan tangannya di pundakku lalu berjalan menyusul Haruki.
Aku menghela napas dengan menatap punggung mereka yang semakin menjauh. "Tsubaru!" ucapku seraya menoleh mengalihkan pandangan padanya.
"Putri, kau sudah besar, bukan? Kau seharusnya sudah bisa mengurus dirimu sendiri. Aku benar, bukan?" tukasnya sembari menatapku dingin dari biasanya.
Jangan bilang kalau Tsubaru juga, jangan bilang kalau dia cemburu melihatku memanggil dua bocah itu Onii-chan setelah aku memanggilnya Onii-chan semalam. Itu tidak mungkin, Tsubaru kesayanganku tidak akan bertindak kekanakan seperti itu.
Dia benar-benar kesal? aahhhh i'm done. Aku benar-benar merindukan masa-masa jomblo tenangku di kehidupan sebelumnya.
Aku kembali menghela napas setelah lama menatap mereka bertiga. Kutarik napas sedalam mungkin, sebelum kugerakkan kakiku berlari mengejar mereka bertiga yang telah semakin jauh berjalan meninggalkanku.
___________
Aku duduk di dalam kereta kuda, para pangeran dan pengawal menunggangi kuda mereka di luar. Pandanganku hanyut melihat pemandangan sekitar, hatiku sesak melihat kondisi para wanita yang jauh dari kata layak.
Andai aku, tidak lahir dari keluarga kerajaan. Aahh, aku terlalu takut untuk mengkhayalkannya.
Kereta berhenti, aku menoleh hingga menjatuhkan pandangan ke arah Tsubaru yang berdiri membukakan pintu kereta untukku. Aku beranjak melangkah mendekatinya, lalu digendongnya aku menuruni kereta.
Aku melemparkan pandangan ke sekitar dengan menggenggam kuat jari kelingkingnya, yang tertutupi sarung tangan kain berwarna putih layaknya para pelayan yang senantiasa aku temui dalam manga atau anime.
"Pohon ini tidak berguna, kita akan menyingkirkannya lalu membangun sesuatu di wilayah ini," ucap pengawal yang melayani Izumi.
"Ehh, itu-"
"Jangan! Kalian tidak boleh menebangnya!" teriakku, hingga membuat mereka semua mengalihkan pandangan ke arahku.
"Beraninya, seorang wanita berteriak pada Pangeran!" Salah satu Kesatria di sana balas membentakku.
"Tsubaru, jangan biarkan mereka menebangnya," rengekku seraya memasang ekspresi memelas padanya, lama Tsubaru menatapku sebelum helaan napas keluar darinya.
"Maafkan Saya, Pangeran. Saya yakin, Putri Sachi memiliki alasannya tersendiri," ucap Tsubaru sembari berlutut ke arah mereka.
"Tutup mulutmu, Tsubaru! Apa yang bisa dilakukan wanita? Beraninya dia menentang perintah Pangeran," salah satu Kesatria ikut meneriaki Tsubaru.
"Kau tidak tahu betapa jeniusnya, Putri Sachi. Jika dia berkata jangan ditebang, itu berarti dia tahu betapa berharganya pohon itu!" balas Tsubaru membentaknya.
"Aku merawatnya dengan hati-hati selama tiga tahun, aku menghabiskan waktu dengannya lebih dari siapa pun. Jadi aku, mempercayai keputusannya, Pangeran."
Aku ingin sekali memeluknya dengan berkata, menikahlah denganku Tsubaru.
"Pohon itu dinamakan kopi, kau bisa membuat minuman yang mempunyai cita rasa unik darinya. Tidak seperti teh, kopi mempunyai aroma yang lebih kuat, dan aku yakin kalian para pria akan sangat menyukainya," ucapku seraya melangkahkan kaki ke arah mereka.
"Tidak hanya minuman, kita bisa membuatnya menjadi produk kecantikan. Dan jika kita menjualnya ke Kerajaan tetangga, tentu saja perekonomian kita juga akan membaik. Bukan begitu, Haruki Onii-chan?"
"Pangeran, kau tidak bisa langsung mempercayainya," ucap salah satu dari mereka.
"Shut up!" bentakku memotong perkataannya.
"Ini pembicaraan antara keluarga kerajaan, terlebih lagi ini pembicaraan antara kakak dan adik perempuannya," sambungku kembali sambil memperlihatkan pandangan sinis ke mereka, kembali aku menghela napas lalu mengalihkan pandanganku kembali kepada Haruki.
"nii-chan, kumohon percayalah. Aku akan mengolah pohon-pohon itu, hanya berikan saja dukunganmu pada adikmu ini, ya, ya?" Aku menggenggam tangannya sambil melihatnya dengan wajah memelas.
"Kau yakin bisa mengolahnya?"
"Hanya berikan aku waktu sekitar satu minggu," sahutku seraya menggosokkan jariku di pipi.
"Akan tetapi, aku tidak bisa mengolahnya sendirian. Tanganku terlalu kecil untuk menyelesaikannya sendirian," ucapku lagi sembari menatap kedua telapak tanganku.
"Baiklah aku akan membantumu," ucap Haruki menghela napasnya, dia tersenyum sambil mengelus pelan kepalaku.
"Apa? Apa yang kau lihat?!" bentak Izumi yang sadar kalau aku menatapnya.
"Arghh sialan, baiklah aku juga akan membantumu," timpalnya, Izumi mengangkat tangannya menggaruk kepalanya sendiri.
Aku terkekeh menatapnya, "terima kasih, aku menyayangi kalian," ucapku tersenyum ke arah mereka.
Aku berbalik lalu berjalan menuju ke arah Tsubaru yang masih berlutut, tersenyum ia melihatku saat aku semakin berjalan mendekatinya. "Jangan khawatir Tsubaru, aku akan membuat kita bertahan hidup apa pun yang terjadi," bisikku pelan sambil berjalan dengan membalas senyumannya.