Hidup Audy runtuh ketika pengkhianatan dalam rumah tangganya terbongkar. Di tengah luka yang menganga, kariernya justru menuntutnya berdiri tegak memimpin proyek terbesar perusahaan. Saat semua terasa mustahil, hadir Dion—direktur dingin yang perlahan menaruh hati padanya, menjadi sandaran di balik badai. Dari reruntuhan hati dan tekanan ambisi, Audy menemukan dirinya kembali—bukan sekadar perempuan yang dikhianati, melainkan sosok yang tahu bagaimana melawan, dan berhak dicintai lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Audy berdiri mematung di ruang tamu, dadanya naik-turun menahan amarah yang masih mendidih. Tangannya yang tadi menggenggam cangkir yang kini kosong, tangannya masih gemetar tipis. Sementara di sudut ruangan, Chandra berdiri kaku, menunduk, tak berani menatap istrinya.
“Dy…” akhirnya ia membuka suara, lirih, nyaris tak terdengar.
Audy menoleh perlahan, sorot matanya dingin, menusuk. “Apa?”
Chandra menghela napas, mencoba mencari kata yang tepat. “Kamu nggak seharusnya bersikap kayak tadi. Mereka mungkin memang salah dan keterlaluan, tapi gimanapun juga kan… mereka orang tuamu.”
Audy terkekeh sinis, tawanya pahit. “Orang tua? Berani kamu ngomong gitu didepan muka aku?"
"Chandra, kamu tahu nggak apa yang mereka lakukan sama aku dan almarhum mama aku?"
Chandra menunduk semakin dalam, merasa kalimat Audy menusuk dadanya. Namun ada gengsi yang membuatnya tak bisa diam begitu saja. “Aku cuma nggak mau kamu jadi anak yang durhaka. Kalau Orang luar dengar—”
“Orang luar?!” potong Audy tajam, suaranya meninggi. “Ngapain aku peduli sama omongan orang!! Mereka nggak tahu apa-apa, dan kamu, seharusnya kamu ada buat belain aku bukan mereka. Mereka yang lebih dulu sakitin aku, dan aku tidak cukup pemaaf untuk bisa memaafkan perbuatan mereka!”
Chandra menggertakkan giginya, wajahnya memerah karena harga dirinya seperti diinjak. “Aku cuma mau—”
“Stop Chandra, kalau kamu masih mau belain mereka dan cari muka di depan mereka, aku bener-bener akan usir kamu dari rumah ini!” bentak Audy, langkahnya maju hingga jarak mereka hanya sehelai napas.
"Jangan pancing aku lebih dari ini, atau kamu bakalan nyesel"
Chandra terdiam. Kata-kata itu menghantam keras, membuatnya kehilangan alasan.
Audy menatapnya lekat, suaranya menurun tapi semakin tegas. “Kalau kamu memang udah nggak tahan hidup sama aku, kalau kamu lebih nyaman di sisi mereka atau bahkan… MUNGKIN di sisi Jenny, bilang aja. Kamu bisa angkat kaki kapanpun kamu mau dari rumah ini, aku nggak akan nahan kamu. Silahkan"
Chandra menegang. Nama itu—Jenny—membuat napasnya tercekat. "Ngapain dia bawa-bawa Jenny" pikirnya dalam hati.
Hanya suara jam dinding yang berdetak, memotong udara dingin di antara mereka. Chandra menggenggam tangannya sendiri, menahan gemetar. Di matanya ada amarah, ada gengsi, ada rasa kalah—tapi juga takut.
Audy berbalik, melangkah meninggalkan Chandra menuju kamarnya, tanpa menoleh lagi. Gerakan itu seolah menegaskan satu hal: keberadaan Chandra di rumah itu tak lagi berarti.
Chandra berdiri di ruang tamu dengan wajah linglung, Dadanya sesak. Bukan hanya karena diusir secara halus, tapi karena dia sadar—perlahan, Audy benar-benar sudah tak peduli lagi padanya.
...***...
Pagi itu, meski riasan tipisnya tersapu rapi, sorot mata Audy memperlihatkan semburat lelah yang berusaha dia sembunyikan di balik senyum profesionalnya. Dia berdiri di depan lift, menatap kosong angka-angka digital yang berganti perlahan, pikirannya masih tertinggal di rumah, bersama percakapan yang menusuk jiwanya tadi pagi.
Dentum ting mengabarkan pintu lift terbuka, namun Audy tak bergeming. Dia masih melamun, sampai sebuah suara bariton yang lembut tapi jelas, membuyarkan lamunannya.
“Bu Audy? Nggak naik?” suara Dion terdengar dari dalam.
Audy terperanjat, buru-buru menoleh. Dion berdiri sendirian di dalam lift, kemeja putihnya rapi, dasinya terikat presisi, seperti biasa dia terlihat tampan.
“Oh… eh…” Audy melirik kanan-kiri, berusaha menutupi rasa canggung. “Maaf, Pak. Bapak duluan saja, saya bisa naik yang berikutnya.”
Dion tersenyum samar, senyum yang sulit ditebak antara profesional dan tulus. “Udah naik aja. Saya nggak masalah kok. Kosong juga disini”
Sejenak Audy menimbang, lalu mengangguk kecil. “Kalau begitu, permisi Pak.” Dia melangkah masuk, menekan angka sepuluh di panel lift agar tidak perlu bertemu tatapan Dion terlalu lama.
Lift pun menutup.
Hanya suara mesin yang menderu pelan, ruang sempit itu kini terasa canggung. Audy menarik napas dalam, berusaha mengendalikan denyut jantung yang entah kenapa terasa sedikit berdebar dari biasanya.
Namun tiba-tiba—
GRADAAAKKKK!
Sebuah hentakan keras mengguncang lift, membuat cahaya lampu di dalamnya bergetar. Audy menjerit pelan, refleks tangannya mencari pegangan—dan yang tergenggam justru lengan Dion. Tubuhnya hampir menubruk ke dadanya, jarak mereka hanya menyisakan beberapa sentimeter saja.
Sejenak dunia berhenti. Audy bisa mendengar detak jantungnya sendiri, bercampur dengan aroma halus parfum maskulin Dion yang menusuk indra penciumannya. Dion, di sisi lain, menahan napas, wajahnya tegang, namun kedua matanya membulat, jelas-jelas berusaha menutupi gugup yang menyeruak.
Entah kenapa dimatanya saat itu, Audy terlihat lebih cantik dari biasanya.
Sadar akan posisinya, Audy buru-buru menyingkir, wajahnya memanas. “Ma-maaf, Pak. Saya nggak sengaja… saya kaget tadi.”
Dion berdehem pelan, berusaha menetralkan ekspresi wajahnya yang sempat bersemu merah. “I-iya, nggak apa-apa. Santai aja, saya paham kok. Saya juga kaget” katanya seraya memalingkan wajahnya ke arah lain.
Suasana jadi semakin canggung. Hanya terdengar bunyi desisan kecil mesin lift yang kini terhenti. Dion segera menekan tombol bantuan, menjelaskan situasi yang mereka alami.
“Bantuan akan datang sebentar lagi,” ucap Dion setelah selesai berbicara lewat interkom. Dia menoleh pada Audy, suaranya tenang tapi tetap hangat. “Sepertinya kita harus menunggu di sini sebentar.”
Audy mengangguk pelan, mencoba menyembunyikan kegugupan dengan menarik ujung blazer-nya. “Baik, Pak. Nggak masalah.”
Namun dalam ruang lift yang terhenti itu, Waktu seakan berjalan lambat, dan tanpa bisa mereka cegah, setiap detik seakan membuat jarak di antara mereka semakin dekat… Seperti ada sesuatu yang tak bisa diucapkan yang menarik mereka satu sama lain seperti sebuah magnet tak terlihat.
...***...
Audy meremas jemarinya sendiri, berusaha mengusir rasa canggung yang menempel padanya seperti bayangan.
“Bu Audy…” suara Dion pelan, nyaris seperti bisikan, memecah sunyi. “Kamu nggak apa-apa kan? Tadi keliatan kaget banget soalnya.”
Audy tersenyum tipis, meski masih terasa kaku. “Iya, saya baik-baik aja, Pak. Cuma… ya, nggak nyangka aja liftnya bisa berhenti gini.”
“Memang jarang, sih,” jawab Dion, matanya menatap lurus ke depan, tidak ingin membuat Audy semakin salah tingkah. “Tapi nggak usah khawatir. Paling sebentar lagi teknisi datang.”
Audy mengangguk, lalu terdiam. Namun hening itu terlalu berat untuk ditanggung. Akhirnya, tanpa sadar, dia berucap lagi.
“Kadang saya iri sama orang yang bisa tetap tenang dalam keadaan apa pun.”
Dion menoleh singkat, alisnya terangkat sedikit. “Maksudnya?”
Audy tersenyum getir, menatap lantai lift. “Ya… seperti Bapak. Saya lihat Bapak tenang-tenang aja, padahal kita lagi kejebak di lift. Kalau saya… mungkin dalam hati udah panik setengah mati.”
Dion terkekeh kecil, suaranya dalam tapi hangat. “Kalau soal itu, jangan salah. Saya juga deg-degan, kok.”
Audy menoleh cepat, matanya membesar. “Serius?”
“Serius,” jawab Dion sambil tersenyum samar. “Tapi ya… kalau saya ikutan panik, nanti orang lain juga tambah panik. Jadi… saya coba tenang aja. Tugasnya laki-laki kan begitu.”
Ucapan itu sederhana, tapi entah kenapa menghantam sesuatu di dada Audy. Ia menunduk, lalu tanpa sadar bergumam, “Andai semua laki-laki mikir begitu…”
Kalimat itu lolos begitu saja, dan dia buru-buru menutup mulut, menyesal karena bicara terlalu jujur.
Dion memiringkan kepala, tidak mendesak, tapi suaranya lembut. “Lagi ada sesuatu yang mengganggu, Bu?”
Audy menggigit bibirnya. Dia ingin menggeleng, ingin tetap menjaga jarak. Tapi di ruang sempit itu, dengan tatapan Dion yang jujur dan tanpa penilaian, tembok pertahanan yang dia bangun perlahan retak.
“Kadang… saya merasa hidup ini nggak adil,” bisik Audy akhirnya. “Orang yang kita percaya… justru jadi orang yang paling melukai kita. Dan setelah itu… kita dituntut untuk tetap tegar. Seolah nggak pernah terjadi apa-apa.”
Dion tidak langsung menjawab. Dia hanya menatapnya, sorot matanya serius, bukan karena iba atau kasihan, tapi penuh perhatian seolah berkata: Aku siap mendengarkan keluh kesahmu.
“Maaf, Pak…” Audy buru-buru menggeleng, berusaha tersenyum lagi. “Saya kebablasan cerita. Lupakan aja, ya. Anggap saya tadi cuma ngelantur.”
Namun Dion hanya menghela napas pelan, lalu dengan suara rendah ia berkata, “Kalau mau cerita, saya siap dengerin. Nggak usah sungkan. Satu lagi, kalau sedang tidak dalam urusan pekerjaan, panggil aja Dion, nggak usah pakai embel-embel Pak. Kesannya formal sekali. Saya juga akan panggil kamu Audy, nggak masalah kan?”
Audy mengangguk, "Saya nggak keberatan pak-- Eh, Dion"
Setelah itu mereka lanjut mengobrol, sesekali menceritakan kejadian lucu yang membuat mereka tertawa bersama-sama, memupus rasa canggung diantara mereka berdua, dan memberi kenyamanan satu sama lain.
...****************...