Sahara tak pernah menyangka akan pernyataan cinta Cakra yang tiba-tiba. Berjalan bersama komitmen tanpa pacaran, sanggupkah mereka bertahan di atas gempuran hubungan rumit kedua orang tua Cakra dan Sagara yang ternyata adalah ayah kandung Sahara.
Apakah Cakra dan Sahara akan bersatu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mimah e Gibran, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 - Obrolan dua pria
Sagara meloloskan napas menatap Cakra.
"Sebenarnya, Om sedang mencari sesuatu," gumam Sagara pelan.
"Oh, mencari sesuatu di rumah sakit? Apa Om sedang mencari hal yang sangat penting?" tanya Cakra. Dengan perasaan was-was melirik Mamanya, berharap Kinanti pulas tanpa mendengar obrolan gabutnya bersama Om Sagara.
"Mencari teman hidup," seru Sagara terkekeh pelan sebagai candaan.
"Kenapa kalian hanya berdua? Apa Papamu tahu kamu masuk ke rumah sakit?" cerca Sagara penasaran.
Lagi Cakra hanya menggeleng sebagai jawaban.
Namun, untuk mengatakan pada atasan papanya, Cakra rasa itu tidak perlu.
"Ahaaa, Om jadi inget waktu kamu bayi, sekarang sudah segede ini. Kalau anak Om masih ada, mungkin seusia kamu kali, ya?"
"Maksud Om Sagara?" tanya Cakra penasaran.
"Eh, bukan-bukan. Mungkin beda satu tahun! Tapi, kok Om jadi curhat sama kamu sih."
"Anak Om cewek apa cowok?"
Sagara terdiam, bagaimana ia bisa menjawab. Bahkan menemani kehamilan Kinara saja tidak, Sagara sibuk dengan urusan kerja. Kalaupun ia tak sibuk, Sagara akan berusaha menyibukkan diri. Jelas-jelas waktu itu Kinara sangat butuh pendampingan dirinya, tapi Sagara malah membuat seolah-olah ia selingkuh dan Kinara menyesal menerima perjodohan dengan dirinya.
Hati dan perasaannya masih diliputi sosok Kinanti, hingga Saga lupa kalau ada Kinara di sisinya.
"Tidak tahu, Om sedang mencarinya!" gumam Sagara.
Kinanti mengerjap dan terbangun, ia sempat menggerakkan badan yang terasa pegal karena posisi tidur sambil duduk menyamping.
"Kamu a disini, Mas?" cerca Kinanti menatap tajam Sagara.
"Menjenguk Cakra, kamu keberatan? Bukankah kalian adalah,---"
"Sudahlah, jangan cari penyakit dengan sok perduli denganku dan Cakra!"
Sagara mengangguk, ia bangkit dari kursi yang ada di sisi brangkar Cakra.
"Sorry, Om pamit!" gegas Sagara keluar, ia memilih pergi dari rumah sakit.
Setiap hari, Sagara mendatangi rumah sakit itu berharap menemukan titik terang keberadaan bayi yang Kinara sembunyikan. Namun, sampai jauh ini semua terasa nihil. Sagara tak menemukan petunjuk apapun selain kematian Kinara.
"Arrghhhhh..."
Kembali ke kantor, bertemu Lendra pun Sagara hanya diam. Lendra yang merasa tak asing dengan ekspresi atasannya hanya bisa menggeleng jengah.
"Nad? Gimana meeting tadi?" tanya Sagara pada sekertarisnya.
"Sebenarnya tadi beliau sempat keberatan dengan anda yang tidak datang Pak! Tapi saya sudah menjelaskan kalau Bapak harus mengurus hal penting di rumah sakit." Nadia sampai hapal kemana sang atasan.
"Bagus! atur jadwalku hari ini, sore jam tiga aku mau pulang!"
"Tapi Pak, rapat jam dua gak mungkin selesai hanya dengan satu jam saja," protes Nadia.
"Atasannya disini aku atau kamu," sinis Sagara. Kalau sudah mengeluarkan sikap bossy nya, Nadia hanya bisa pasrah menerima nasib.
Setelah sehari semalam dirawat, Cakra akhirnya kembali hidup normal dan melakukan aktivitasnya di rumah.
Kinanti sedang mengurus berkas perceraiannya, sebab sejak pertengkarannya dengan Lendra ia belum mendapatkan panggilan apapun dari pengadilan yang artinya Lendra belum mengurus perceraiannya.
Sementara di rumah Lama, Areta dengan tak tahu malu menjadi nyonya di rumah itu sejak Lendra membawanya tinggal.
"Saya ini boss kamu lho, sekarang bisa mecat kamu dan bibi kapanpun saya mau. Tanpa menunggu persetujuan dari Mas Lendra," serunya seenak jidat tiap kali Jordan malas meladeninya.
"Ya, Ibu!" jika sudah begitu Jordan hanya bisa mendekus dalam hati. Mengingat begitu baiknya Kinanti kini terganti oleh orang baru yang menurut Jordan minus. Ia hanya bisa berharap Pak Lendra segera mendapatkan karmanya.
***
"Sahara?" panggil Arimbi.
"Iya, Bu?" Sahara mendekat, ia bahkan masih memakai seragam sekolahnya.
"Ganti baju dulu, ibu mau minta tolong beliin obat ke apotek."
Sahara mengangguk, seperti biasa ia akan naik motor sendiri ke jalan raya dimana apotek berada.
Namun, sepanjang jalan malah melamun teringat Cakra.
"Huft, kita kan gak ada ikatan. Lagian kenapa Cakra harus bilang suka coba, aku jadi kepikiran terus," gumamnya pelan. Hingga motornya berhenti tepat di depan apotek, Sahara masih duduk di atas motor enggan turun.
'Mungkin sejak hari itu, kamu akan jadi orang yang terus mengacaukan pikiranku' batin Sahara lagi.
Dengan gontai turun dan membeli obat yang di butuhkan.
Cakra, ia sedang membujuk mamanya untuk meminta tolong pada Sagara. Apalagi saat Kinanti tak lagi bisa menyisihkan sebagian pendapatan untuk rumah yang sudah menjadi ladang pahalanya beberapa tahun ini.
"Ma, ayolah demi Sahara dan adik-adiknya," seru Cakra. Tak kehabisan akal, ia akan datang ke kantor Sagara sendiri dan membujuknya jika Kinanti masih menggeleng tak setuju.
"Cakra, percayalah. Meski tidak dari tangan kita. Akan selalu ada orang baik yang membantu mereka," jelas Kinanti.
Kinanti sedang berfikir keras, mendadak mengernyit dan baru sadar. Sekilas, wajah Sahara dan Sagara kenapa mirip?
"Tunggu, tadi Om Sagara ada bilang apa?" tanya Kinanti.
"Cieeee, ehm. Katanya gak mau tahu," sindir Cakra.
"Om Sagara lagi nyari anaknya yang hilang," seru Cakra.
"Hah?"
"Mama ish, yaudah kalau gitu Cakra aja yang ke kantor Om Sagara dan minta bantuan. Setidaknya usaha dulu."
"Ya kamu kasih aja alamat panti Kasih Ibu ke Om Sagara, biar dia yang kesana sendiri kalau berniat bantu. Mama nggak mau ah, kamu naik motor kesana sendiri tanpa mama," ucap Kinanti memutuskan.
Hari itu, setelah pulang sekolah. Cakra menuju kantor Om Sagara ditemani Rival.
Makhlum saja, motornya masih di rumah lama sedang untuk mengambilnya Cakra sangat enggan.
"Permisi, bisa bertemu Om Sagara?" tanya Cakra begitu sampai di lobi perusahaan properti milik Sagara.
"Apa sudah membuat janji?" tanya Resepsionis lobi.
"Ah, belum. Tapi bisakah? Ini penting," mohon Cakra.
Tanpa sengaja, Lendra melihat putranya ada di perusahaan pun mendekat ke arah Cakra dan Rival.
"Ngapain kamu kesini?" tanya Lendra.
"Silahkan naik ke lantai delapan lewat lift karyawan. Nanti akan ada assisten Nadia menjemput."
"Baik!"
Cakra melengos begitu saja tanpa menjawab ucapan Lendra.
"Cakra dimana sopan santunmu saat Papa bicara?" ketusnya.
Cakra menoleh, sementara Rival berusaha menahan tangan Cakra agar tak emosi meski ia yakin saat ini cakra sangat kesal.
"Sejak Papa memilih ja lang itu dan meminta kami pergi, kita sudah tidak ada urusan apapun!" serunya dengan suara teredam agar tak memancing pusat perhatian.
"Oh jadi begitu? Kamu sudah merasa hebat karena tak membutuhkan Papa lagi. Okey! Tapi ingat, memohonlah jika kamu menginginkan sesuatu." Lendra menyeringai.
"Oh ya? Ck. Ada Om Sagara kenapa aku harus memohon pada Papa? Om Sagara jelas mencintai Mama lebih dari apapun," serunya sebelum pergi.
Lendra mengepalkan tangan, sementara Cakra memilih masuk ke dalam lift bersama Rival.
Alasan kenapa Cakra memanfaatkan Om Sagara adalah, saat mendengar pengakuan mama kalau mereka pernah menjalin hubungan sebelum menikah dengan Papa. Sayangnya, Om Sagara harus menikah lebih dulu hingga mereka tak berjodoh.
Nadia membawa Cakra dan Rival bertemu Sagara. Mereka saat ini tengah mengobrol di caffe seberang kantor agar lebih nyaman.
"Ada apa Cakra? Kamu ada masalah?" tanya Sagara.
"Aku mau minta tolong sama Om," ujar Cakra.
Rival hanya diam menyimak keduanya.
"Apa itu?"
"Begini, aku dan Mama ada salah satu panti di daerah Ambarawa yang selalu kami kunjungi dan berikan donasi. Hanya saja, ekonomi Mama lagi gak baik-baik saja,---" Cakra menjeda ucapannya.
Sagara mengernyit, "bukannya gaji Papamu lumayan besar?" tanyanya.
"Papa sama Mama tuh gak akur, dan mungkin bentar lagi akan cerai."
"Astaga!" Sagara mengatupkan bibir tak percaya. Sebab Lendra terlihat seperti laki-laki baik, menurut pandangannya.
Tiba-tibq Saga ingat perkataan Kinanti di rumah sakit kemarin, yang ia pikir hanya sebatas bercanda tapi ternyata wanita yang pernah mengisi hidupnya itu sedang tidak baik-baik saja.
"Kalau Om berkenan jadi donatur pengganti, ini alamatnya!" Cakra menyodorkan kertas putih dimana ia tulis alamat panti asuhan Kasih Ibu.
"Oke, insyaallah Om bantu! Nanti kalau ada waktu, Om juga akan kesana." Sagara mengukir senyum ramahnya.