Livia hidup dengan satu aturan: jangan pernah jatuh cinta.
Cinta itu rumit, menyakitkan, dan selalu berakhir dengan pengkhianatan — dia sudah belajar itu dengan cara paling pahit.
Malam-malamnya diisi dengan tawa, kebebasan, dan sedikit kekacauan.
Tidak ada aturan, tidak ada ikatan, tidak ada penyesalan.
Sampai seseorang datang dan mengacaukan segalanya — pria yang terlalu tenang, terlalu dewasa, dan terlalu berbahaya untuk didekati.
Dia, Narendra Himawan
Dan yang lebih parah… dia sudah beristri.
Tapi semakin Livia mencoba menjauh, semakin dalam dia terseret.
Dalam permainan rahasia, godaan, dan rasa bersalah yang membuatnya bertanya:
apakah kebebasan seindah itu jika akhirnya membuatnya terjebak dalam dosa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzi rema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5. Tatapan itu
Sore itu suasana kantor terasa sedikit berbeda. Semua orang tampak lebih sibuk, beberapa staf bahkan mondar-mandir membawa dokumen ke ruang rapat utama. Livia menatap layar monitornya, mencoba fokus menyelesaikan laporan yang harus diserahkan sebelum jam lima. Namun pikirannya terus melayang pada momen siang tadi, tatapan Narendra di rooftop. Tatapan yang… entah kenapa, terasa terlalu dalam untuk sekadar basa-basi.
Burhan muncul di samping mejanya. “Livia, nanti tolong bawa semua laporan pengeluaran triwulan terakhir ke ruang rapat, ya. Pak Narendra minta dicek bareng langsung.”
“Baik, Pak.”
Suara Livia terdengar datar, meski hatinya berdetak sedikit lebih cepat.
Beberapa menit kemudian, ia mengetuk pintu ruang rapat dan masuk. Narendra duduk di ujung meja panjang, menatap tumpukan berkas di depannya. Saat Livia masuk, pria itu menoleh, dan untuk sepersekian detik, tatapan mereka bertemu lagi.
“Silakan duduk, Livia,” ucap Narendra sopan. Suaranya tenang, tapi ada nada yang lebih lembut dari biasanya.
Livia duduk di seberang, meletakkan berkas dengan rapi. Ia menjelaskan laporan itu dengan suara mantap, profesional seperti biasa. Tapi di sela-sela angka dan istilah keuangan, ada jeda kecil, jeda di mana Narendra menatapnya tanpa kata, seolah sedang membaca sesuatu di balik ekspresi datarnya.
“Pekerjaanmu rapi,” ujar Narendra akhirnya, sambil menutup berkas. “Detail, tapi tetap ringkas. Saya suka cara kamu menyusun data.”
Livia tersenyum singkat. “Terima kasih, Pak.”
Burhan yang sejak tadi ikut duduk di sisi meja, hanya mengamati keduanya. Ia tahu Narendra bukan tipe pria yang mudah menunjukkan ketertarikan pada bawahan, tapi entah kenapa, interaksi mereka terasa berbeda, ada ketenangan aneh di antara dua orang itu.
Setelah rapat selesai, Narendra berdiri, lalu berkata pelan, “Kalau tidak keberatan, besok saya ingin kamu bantu saya langsung menyiapkan laporan revisi. Saya butuh orang yang benar-benar tahu struktur keuangannya.”
“Baik, Pak.”
Livia menunduk, lalu keluar lebih dulu. Tapi ketika pintu menutup, Narendra sempat menatap arah kepergiannya sedikit lebih lama.
Burhan menoleh, menatap atasannya sambil tersenyum samar. “Hati-hati, Pak. Tatapan seperti itu bisa bikin gosip beredar.”
Narendra tertawa kecil, mencoba menepis. “Anda terlalu banyak spekulasi Pak Burhan.”
Tapi dalam hati, ia tahu sesuatu sedang mengusiknya, pelan, tapi pasti.
... ○○○...
Kantor mulai sepi. Suara printer yang tadi riuh kini berhenti sama sekali, hanya tersisa dengungan lembut AC dan suara ketikan terakhir dari meja Livia.
Jarum jam hampir menunjuk pukul delapan malam saat ia akhirnya menyimpan file terakhir dan menutup laptopnya.
“Done…” gumamnya pelan, ia meregangkan kedua tangan ke atas. Sendi bahunya berbunyi kecil, tanda lelah.
Udara dalam ruangan terasa pengap, membuatnya membuka dua kancing atas kemejanya dan melepas blazer yang sejak siang menempel di tubuhnya. Ia meletakkannya di sandaran kursi, lalu menatap jendela besar di sisi ruangan. Lampu kota berpendar lembut di bawah sana, pemandangan yang biasa ia nikmati sendirian.
Saat Livia menggerakkan tangannya, lengan bajunya sedikit tersingkap. Memar kebiruan di pergelangan tangan kirinya terlihat jelas di bawah cahaya lampu meja. Ia menatapnya sekilas, lalu menarik napas panjang. Tidak lagi marah, tidak juga sedih, hanya hampa. Luka itu seperti kenangan yang ia sudah terlalu sering lihat hingga tak lagi menyakitkan.
“Tenang, Liv. Cuma lebam kecil. Udah pernah lebih parah dari ini…” bisiknya pelan, mencoba meyakinkan diri sendiri.
Ia menyampirkan tasnya ke bahu dan melangkah menuju lift. Tak disangka, suara langkah lain terdengar dari arah lorong. Livia menoleh.
Narendra baru keluar dari ruang kerjanya, masih mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung. Ia terlihat terkejut melihat Livia yang masih di sana.
“Kamu belum pulang?” tanyanya lembut.
Livia cepat menegakkan tubuh. “Saya baru selesai, Pak. Tadi sekalian rapihin data yang belum sempat diinput.”
Narendra mengangguk, lalu mendekat. Pandangannya sekilas jatuh ke arah tangan Livia yang memegang tas. Seketika ia memperhatikan memar samar di sana.
“Itu… tangan kamu, kenapa ?” tanyanya ragu.
Livia spontan menarik lengannya ke belakang, senyum cepat terbit di wajahnya. “Oh, ini? Nggak apa-apa, Pak. Cuma kejedot lemari kamarin.”
Ia menunduk sedikit, lalu buru-buru menekan tombol lift.
Narendra tidak menahan, tapi tatapannya berubah, ada rasa khawatir yang tidak bisa ia sembunyikan.
Ketika pintu lift terbuka, ia hanya sempat berkata pelan, “Kalau kamu butuh bantuan, jangan sungkan untuk bilang.”
Livia mengangguk singkat, ia masuk ke dalam lift tanpa menatap balik. Begitu pintu tertutup, senyum tipis di wajahnya memudar.
“Terimakasih perhatiannya Pak, tapi saya baik-baik saja..”
Lift turun perlahan, membawa Livia kembali ke bawah, ke dunia yang selalu ia pilih untuk hadapi sendiri.
...🥂...
Langit Jakarta sudah pekat ketika Livia keluar dari taksi. Lampu-lampu neon di sepanjang jalan memantul di genangan air sisa hujan sore tadi. Klub malam itu berdiri megah di sudut kota, tempat yang selalu ramai, selalu bising, dan selalu berhasil membuatnya lupa sejenak akan apa pun yang terasa sakit.
Tapi malam ini berbeda.
Tidak ada Dafa yang menggoda atau Reno yang menertawakan gaya menarinya.
Tidak ada tangan sahabat yang menariknya keluar ketika ia mulai mabuk terlalu dalam.
Malam ini, Livia datang sendirian.
Begitu melangkah masuk, dentuman musik langsung menyergapnya. Lampu-lampu warna-warni berputar di udara, membias di kulitnya yang pucat diterpa cahaya lampu diskotik. Livia memesan minuman di bar, satu gelas martini dibuatkan oleh bartender tanpa banyak bicara.
Ia menatap ke arah kerumunan di lantai dansa. Orang-orang tertawa, bercumbu, berteriak. Dunia tampak bebas… tapi anehnya, Livia justru merasa terkurung di dalam pikirannya sendiri.
Ia meneguk lagi minumannya, menatap ke dasar gelas kosong.
“Kenapa rasanya tetap hampa, ya?” gumamnya pelan.
Di tengah musik dan keramaian, pikirannya kembali pada Narendra, tatapan khawatirnya di kantor tadi.
Sesuatu yang seharusnya tak berarti apa-apa, tapi entah mengapa terasa menenangkan.
Dan itu justru membuatnya takut.
Seorang pria asing mencoba mengajaknya bicara, tapi Livia hanya tersenyum dingin lalu beranjak pergi. Ia berjalan ke balkon belakang klub, mencari udara segar.
Angin malam menyapu rambutnya, membawa aroma alkohol dan hujan yang belum sepenuhnya hilang.
Ia bersandar di pagar balkon, menatap ke bawah. Lampu mobil melintas cepat di jalanan, kehidupan orang lain yang terasa jauh darinya.
Livia menarik napas panjang, menutup mata.
“Cinta itu cuma masalah waktu sebelum berubah jadi luka,” bisiknya lirih.
Dan di balik musik yang terus berdentum, Livia meneguk sisa minumannya, mencoba mematikan rasa yang mulai tumbuh, sebelum rasa itu berubah menjadi sesuatu yang tak bisa ia kendalikan.
Lagu di dalam klub berganti, dentumannya lebih keras, membuat orang-orang di sekitar menari tanpa peduli dunia.
Livia menunduk, berusaha menjaga langkahnya tetap stabil. Kepalanya berputar sedikit, ia terlalu banyak alkohol malam ini. Ia hanya ingin keluar, pulang, tidur, dan melupakan segalanya.
Namun baru saja ia melewati lorong menuju pintu keluar, langkahnya terhenti.
Seseorang berdiri di sana, tubuhnya jangkung, tatapannya tajam yang begitu familiar.
“Livia.”
Suara itu membuat darahnya seolah berhenti mengalir. dia adalah Dimas.
Livia menatapnya dengan mata yang mulai memerah. “Minggir, Dim. Gue nggak mau ribut.”
Dimas mendekat, aroma alkohol dan parfum maskulin bercampur di udara. “Gue cuma mau ngomong. Sebentar aja.”
“Gue nggak punya waktu buat bicara apapun sama lo.”
Ketika Livia mencoba berjalan melewati, Dimas tiba-tiba menarik tangannya keras. Genggaman itu terasa sakit, tepat di tempat yang masih memar.
“Dimas ! Lepasin!” seru Livia, berusaha melepaskan diri. Tapi cengkeraman itu semakin erat, matanya memancarkan amarah yang tak sehat.
“Jangan sok nggak butuh gue, Liv! Lo pikir cowok mana yang bakal nerima cewek kayak lo, hah?” bentaknya.
Livia menahan air matanya. “Lo udah cukup nyakitin gue. Sekarang, lepasin!”
Ia mencoba menepis, namun Dimas malah menariknya makin dekat.
Livia panik, mulai berteriak. “LEPASIN, DIMAS!!”
Beberapa orang di dekat lorong menoleh, sebagian mengira itu cuma pertengkaran biasa antara pasangan. Tapi sebelum situasi makin buruk, seseorang datang dari arah luar pintu klub, suara tegas yang membuat Randy langsung terdiam.
“Lepaskan dia.”
Dimas menoleh, wajahnya kaku.
Di bawah cahaya remang pintu klub, berdiri Narendra, wajahnya tampak tegas dan dingin.
Pandangan matanya menusuk, bukan hanya karena marah, tapi karena khawatir.
“Pak… Narendra ?” Livia tertegun, suaranya bergetar di antara bising musik.
Narendra melangkah maju, memegang lengan Dimas dan menariknya menjauh. “Anda tidak dengar? Saya bilang lepaskan.”
Genggaman itu akhirnya lepas, membuat Livia tersentak mundur, memegangi tangannya yang kembali memerah.
Dimas melangkah mundur, menatap Narendra dengan sinis. “Siapa lo, hah? Ngerasa jagoan?”
Narendra menatapnya datar. “Saya orang yang nggak suka lihat perempuan diperlakukan seperti sampah.”
Keheningan aneh menggantung sejenak di antara mereka, hingga petugas keamanan klub datang dan memisahkan keduanya. Dimas berteriak marah, tapi akhirnya ia diseret keluar.
Livia berdiri diam di tempat, bahunya bergetar pelan.
Narendra menatapnya, lalu dengan nada lebih lembut berkata, “Kamu baik-baik saja?”
Livia mengangguk cepat, meski suaranya nyaris tak terdengar. “Saya… saya cuma mau pulang.”
Narendra menghela napas, lalu menatap ke arah pintu. “Baiklah. Saya antar.”
...🥂...
...🥂...
...🥂...
...Bersambung.......
lanjut dong🙏🙏🙏