NovelToon NovelToon
Hamil Anak CEO

Hamil Anak CEO

Status: sedang berlangsung
Genre:Obsesi / CEO / Hamil di luar nikah / Duda / Romansa
Popularitas:4.5k
Nilai: 5
Nama Author: Hanela cantik

Dara yang baru saja berumur 25 tahun mendapati dirinya tengah hamil. Hidup sebatang kara di kota orang bukanlah hal yang mudah. Saat itu Dara yang berniat untuk membantu teman kerjanya mengantarkan pesanan malah terjebak bersama pria mabuk yang tidak dia ketahui asal usulnya.

"ya Tuhan, apa yang telah kau lakukan Dara."

setelah malam itu Dara memutuskan untuk pergi sebelum pria yang bersamanya itu terbangun, dia bergegas pergi dari sana sebelum masalahnya semakin memburuk.
Tapi hari-hari tidak pernah berjalan seperti biasanya setelah malam itu, apalagi saat mengetahui jika dia tengah mengandung. apakah dia harus meminta pertanggungjawaban pada lelaki itu atau membesarkan anak itu sendirinya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hanela cantik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

5

"Ra, are you oke, wajah kamu pucat banget loh. Kalo kamu udah ngga bisa biar aku aja yang gantiin kerjaan kamu" ucap vivi yang melihat rekannya itu semakin pucat.

Dara menggeleng pelan " udah ngga usah khawatir gitu, aku ngga papa kok"

"Ngga kamu pulang aja sekarang, biar aku yang handle semua kerjaan kamu" jelas Rina yang juga berada disana.

Mau tak mau Dara hanya bisa mengiyakannya. Jujur saja beberapa terakhir ini dia sering kelelahan dan sedikit pusing. Mungkin itu efek dari penyakit maagnya pikirnya.

" yaudah kalo gitu aku pulang dulu ya"

" iya, hati-hati ya. Jangan lupa minum obat. Besok kalo kamu belum bisa masuk ngga papa biar aku izinin sekalian"

Dera mengangguk pelan. Setelah membereskan barang-barangnya. Dara langsung menaiki ojek yang sudah di pesannya.

Kepalanya terasa berat. Pandangannya sedikit buram. Setiap kali motor berhenti di lampu merah, Dara menutup mata sejenak, mencoba menenangkan diri dari pusing yang menyerang.

“Kontrakan di gang mana, Mbak?” tanya sang pengemudi ojek, membuyarkan lamunannya.

“Oh, masuk gang dua dari minimarket itu, Pak,” jawab Dara pelan.

Tak lama kemudian, mereka tiba di depan gang kecil yang hanya bisa dilalui motor. Dara turun perlahan, menyerahkan ongkos sambil tersenyum lemah.

“Makasih ya, Pak.”

“Iya, Mbak. Istirahat ya, kelihatannya capek banget,” ujar si pengemudi sebelum pergi.

Begitu ojek itu melaju menjauh, Dara menarik napas panjang dan menatap jalan kecil menuju kontrakannya yang gelap dan sepi. Ia berjalan pelan sambil menahan rasa mual yang tiba-tiba muncul.

Sesampainya di kamar, Dara langsung meletakkan tasnya di meja kecil dan menjatuhkan tubuhnya ke kasur. Kamar mungil itu terasa pengap.

Ia memejamkan mata, berharap pusing di kepalanya segera reda. Tapi semakin lama, rasa mual itu semakin kuat. Ia bergegas menuju kamar mandi, membungkuk di depan wastafel, dan hampir memuntahkan isi perutnya.

Tangannya memegang perutnya yang terasa sedikit kram. Napasnya terengah, keringat dingin membasahi pelipisnya.

“Kenapa, ya…? Aku kenapa akhir-akhir ini lemes banget…” gumamnya pelan.

Di kepalanya, satu pikiran mulai muncul sesuatu yang selama ini ia abaikan.

Telat datang bulan. Sudah hampir tiga minggu.

Hatinya berdebar tak karuan.

“Nggak mungkin…” bisiknya, nyaris tak bersuara.

Ia mencoba menepis pikiran itu, tapi rasa cemas semakin menguasai.

Tangannya spontan menekan perutnya pelan, lalu menatap ke langit-langit.

“Tuhan… jangan bilang aku—”

Dara duduk di tepi tempat tidurnya. Tubuhnya masih terasa lemah, kepala berdenyut, dan matanya panas akibat menangis terlalu lama.

Ia baru saja mengganti pakaian kerjanya dan hendak berbaring ketika tiba-tiba terdengar ketukan di pintu.

Tok… tok… tok…

Dara terlonjak. Wajahnya menegang. Siapa malam-malam begini datang ke kontrakannya?

Dara menelan ludah, lalu memberanikan diri bertanya dengan suara lirih,

“Siapa?”

Beberapa detik hening. Lalu terdengar jawaban yang membuat darahnya seolah berhenti mengalir.

“Saya… Arkan.”

Suara itu. Dara terpaku. Tangannya gemetar memegang gagang pintu. Jantungnya berdetak kencang, campuran antara kaget, takut, dan tak percaya.

“Tidak mungkin…” bisiknya pelan, mundur satu langkah. Ia menatap pintu dengan mata berkaca-kaca.

Tok… tok… tok…

“Dara, tolong buka pintunya. Aku cuma mau bicara.”

Nada suara itu tenang tapi terdengar serius. Namun bagi Dara, itu tetap saja menakutkan. Semua ingatan tentang malam itu kembali berputar di kepalanya — wajah Arkan, situasi yang membuatnya trauma, semuanya berbaur jadi satu.

Ia menggigit bibir, berusaha berpikir jernih, tapi kepalanya justru semakin pusing.

“Pergi…” lirihnya, hampir tanpa suara.

Namun tubuhnya tiba-tiba terasa ringan, pandangannya kabur. Suhu tubuhnya meningkat, peluh dingin mulai menetes dari pelipis.

“Dara?”

Suara itu terdengar lagi dari luar, disertai bunyi gagang pintu yang digerakkan.

Sebelum Dara sempat melangkah mundur lebih jauh, tubuhnya oleng. Dunia di sekitarnya berputar cepat. Dalam sekejap, ia ambruk ke lantai dengan suara lembut, matanya terpejam sepenuhnya.

“Dara!”

Arkan terkejut begitu pintu akhirnya terbuka yang tidak terkunci sepenuhnya.

Ia langsung masuk dan berlari menghampiri tubuh Dara yang tergeletak tak sadarkan diri di lantai. Wajah perempuan itu begitu pucat,

“Hey, hey… kamu dengar aku?”

Arkan menepuk pelan pipinya, panik. Tidak ada respons.

Tanpa berpikir panjang, ia segera mengangkat tubuh Dara dalam pelukannya. Wajahnya berubah cemas, hampir ketakutan.

Dengan langkah cepat, ia membawa Dara keluar dari kontrakan. Malam itu sunyi, hanya suara langkah tergesa dan deru napas Arkan yang terdengar.

Begitu sampai di mobilnya yang terparkir di depan gang, ia segera membuka pintu belakang dan membaringkan Dara di sana.

“Bertahanlah, Dara,” katanya pelan namun tegas.

“Kamu akan baik-baik saja.”

Mobil hitam itu langsung melaju cepat menembus jalanan kota yang lengang menuju rumah sakit terdekat.

Tadi setelah mengantarkan putranya pulang, Arkan kembali datang untuk menemui dara.

Flashback

“Permisi,” ucapnya sopan.

Kedua pegawai itu menoleh hampir bersamaan. Salah satunya adalah Vivi, rekan kerja Dara. Ia sempat tertegun melihat pria yang berdiri di ambang pintu dengan setelan rapi dan aura yang terlalu elegan untuk seorang pelanggan biasa.

“Maaf, bisa saya bantu, Pak?” tanyanya ramah, meski sedikit heran.

Arkan menatap sekeliling, “Saya mencari salah satu pegawai di sini. Namanya Dara. Apa dia masih ada?”

Vivi langsung menatap Rina, rekan di sebelahnya, seolah bertanya dalam diam. Rina lalu menjawab pelan,

“Oh… Dara baru aja pulang, Pak. Sekitar lima belas menit yang lalu."

Arkan terdiam sejenak. Ada rasa khawatir yang muncul spontan di dadanya.

Arkan menarik napas dalam-dalam. Sekilas ia menunduk, lalu mengusap pelipisnya pelan.

“Baik. Terima kasih infonya.”

“Kalau boleh tahu, Bapak ini siapa ya?” tanya Vivi hati-hati.

Arkan sempat berpikir untuk menjawab, tapi akhirnya hanya berkata singkat,

“Teman.”

Sesampainya di Rumah Sakit Mitra Sehat, Arkan langsung berlari masuk sambil menggendong Dara.

“Pasien pingsan! Tolong siapkan ruang IGD!” seru salah satu suster begitu melihatnya.

Arkan mengikuti mereka hingga ke ruang darurat. Tubuh Dara segera dibaringkan di ranjang periksa, dan beberapa tenaga medis langsung bergerak cepat memeriksa tekanan darah dan detak jantungnya.

“Mohon tunggu di luar, Pak,” ujar suster sopan namun tegas.

Arkan mengangguk pelan, meski hatinya gelisah. Ia berdiri di luar ruangan, menatap pintu yang tertutup rapat dengan napas tersengal.

Baru kali ini dia begitu cemas terhadap orang asing. Entah mengapa hari nuraninya ikut sedih saat melihat tubuh tak berdaya Dara .

Beberapa menit kemudian, pintu ruang IGD terbuka. Seorang dokter wanita berjas putih keluar dengan wajah tenang namun serius.

“Bapak suami pasien?” tanyanya.

Tanpa berpikir panjang, Arkan langsung menjawab, “Iya, saya suaminya.” ucapnya meski jantungnya berdegup kencang.

Dokter itu mengangguk kecil. “Baik, Pak. Saat ini kondisi istri Bapak sudah stabil. Dia pingsan karena kelelahan dan tekanan emosional yang cukup tinggi.”

Arkan menghela napas lega, meski masih ada rasa khawatir yang mengganjal. Namun dokter itu belum selesai berbicara

" tapi saya juga ingin menyampaikan kabar bahagia untuk bapak"

Arkan menatap balik. “Apa itu, Dok?”

“Pasien Bapak sedang hamil,” ujar dokter itu pelan namun jelas. “Usia kandungannya sekitar tiga minggu.”

Deg

bagai disambar petir. Pandangannya kosong, pikirannya berputar cepat, mengingat malam itu.

Dokter melanjutkan, “Untuk sekarang, mohon pastikan istrinya banyak istirahat. Jangan biarkan stres atau kelelahan, karena kondisi awal kehamilan masih sangat rentan.”

Arkan hanya mampu mengangguk. Tenggorokannya terasa kering, suaranya nyaris tak keluar.

“Baik, Dok. Saya akan jaga dengan baik.”

"apakah pasien sudah bisa saya temui dok"

"silahkan, tapi sebelumnya pasien dipindahkan ke ruang rawat inap "

1
Holma Pakpahan
lanjut,Dara tetaplah menjadi ibu yg baik.
knovitriana
update
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!