Aryan, pemuda berusia 25 tahun, baru saja mendapatkan pekerjaan impiannya sebagai salah satu staf di sebuah hotel mewah, tempat yang seharusnya penuh dengan kemewahan dan pelayanan prima. Namun, di balik fasad megah hotel tanpa nama ini, tersembunyi sebuah rahasia kelam.
Sejak hari pertamanya, Aryan mulai merasakan keanehan. Tatapan dingin dari staf senior, bisikan aneh di koridor sepi, dan yang paling mencolok: Kamar Terlarang. Semua staf diperingatkan untuk tidak pernah mendekati, apalagi memasuki kamar misterius itu.
Rasa penasaran Aryan semakin membesar ketika ia mulai melihat sekilas sosok hantu lokal yang dikenal, Kuntilanak bergaun merah, sering muncul di sekitar sayap kamar terlarang. Sosok itu bukan hanya menampakkan diri, tetapi juga mencoba berkomunikasi, seolah meminta pertolongan atau memberikan peringatan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gilangboalang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PUKULAN SEMUA
Keputusan untuk meninggalkan Lantai Tujuh setelah lampu aneh itu menyala dan mati terasa benar. Aryan, Rima, dan Dina segera bergerak, senter Aryan menyinari lorong gelap. Namun, rasa urgensi mereka bercampur dengan kepanikan. Mereka tahu, Anggun telah memberi mereka isyarat, tetapi juga memberi tahu musuh mereka bahwa mereka ada di sana.
"Kita harus keluar sekarang," bisik Aryan, tangannya memegang erat buku harian Anggun.
Mereka menyisir ruangan Kamar 5 sekali lagi, menyalakan senter ke setiap sudut, mencari petunjuk yang mungkin terlewat. Mereka tidak mencari sidik jari, tetapi petunjuk yang hanya bisa dilihat oleh mata telanjang, yang tidak akan diperhatikan oleh polisi yang hanya mencari bukti fisik konvensional.
Saat Aryan sedang memeriksa retakan di dinding, Dina mencoba mengangkat karpet yang tebal. Rima, yang berada paling dekat dengan pintu keluar menuju lorong, memutuskan untuk membuka pintu itu sedikit untuk memastikan lorong itu benar-benar kosong.
PLAK!
Begitu Rima mendorong pintu besi itu, suara pukulan keras tiba-tiba terdengar. Rima bahkan tidak sempat menjerit. Dia tergeletak di lantai Kamar 5. Tubuhnya terlihat lumpuh, tidak bergerak, dan senter yang dipegangnya menggelinding.
Dina dan Aryan terkejut dan membalikkan badan.
"Rima!" teriak Aryan, panik, berlari ke arah Rima yang tergeletak.
Tepat saat Aryan melangkah, kakinya menyenggol sebuah benda yang keras dan berat di lantai. Benda itu mungkin ditinggalkan secara sengaja oleh pelaku. Aryan kehilangan keseimbangan, jatuh terjerembap ke depan, tepat di dekat tubuh Rima yang tak berdaya.
Saat Aryan mencoba bangkit dan berbalik, ia melihat bayangan gelap melintas cepat.
BUK!
Sebuah pukulan keras menghantam bagian belakang kepalanya. Pukulan itu begitu kuat dan terarah, seketika membuat pandangan Aryan berputar. Rasa sakit yang tajam menyebar, dan suara mendenging memenuhi telinganya.
Aryan mencoba melawan, menggapai benda apa pun, tetapi tubuhnya terasa lemas. Ia sempat melihat kilasan siluet dua sosok yang tinggi dan ramping. Kemudian, pandangannya menjadi hitam. Aryan pingsan, tak sadarkan diri, tergeletak di samping Rima yang sudah lebih dulu dilumpuhkan.
Di luar hotel, Bima yang ditinggalkan di dekat pintu servis, mulai merasa tidak tenang. Ia terus mengawasi pintu itu, menunggu Aryan dan yang lainnya keluar.
Ia memeriksa ponselnya. Sudah hampir satu jam sejak mereka masuk. Bima mulai khawatir, terlebih setelah interaksi canggung yang fatal dengan Nyonya Lia dan Bu Indah. Ia memikirkan ancaman truk di tol, dan cerita-cerita Aryan yang semakin gila.
Bima memutuskan untuk menunggu sebentar lagi. Ia melihat ke arah mobilnya. Sialnya, dalam kepanikannya saat meninggalkan mobil setelah interaksi memalukan tadi, ia lupa mengunci pintu mobil.
Di Lantai Tujuh, suasana kembali sunyi. Hanya ada tiga tubuh tak berdaya di Kamar 5.
Dina, yang berdiri di sudut ruangan, baru saja menyaksikan Aryan dan Rima dilumpuhkan. Ia memanggil nama Aryan dan Rima, suaranya bergetar.
"Aryan! Rima! Jawab aku!"
Hening. Hanya gema suaranya sendiri yang terdengar.
Dina tahu, mereka diserang. Ia segera berbalik, mencoba mencari tempat bersembunyi atau senjata.
PLAK! BUK!
Belum sempat Dina bergerak, ia merasakan hantaman benda tumpul yang sangat keras menghantam kepala bagian belakangnya. Hantaman itu datang dari samping, begitu cepat dan tak terduga. Rasa sakit yang menusuk menjalar ke seluruh sarafnya, membuat lututnya lemas.
Dina terjatuh, pandangannya mulai kabur. Sebelum kesadarannya hilang sepenuhnya, ia melihat dua sosok wanita berdiri di atas tubuhnya.
Wanita pertama, yang memiliki wajah dingin dan tajam, adalah Nyonya Lia. Di tangannya, ia memegang sepotong kayu atau besi yang digunakan untuk melumpuhkan mereka.
Di sampingnya, berdiri Bu Indah, pemilik hotel, yang tampak marah dan frustrasi.
Wajah Bu Indah begitu dekat, tatapannya penuh kebencian dan kemarahan yang membara.
"Anak-anak berengsek ini! Mereka pikir mereka bisa menghancurkan bisnis saya yang dibangun di atas darah ini?" Bu Indah mendesis, suaranya pelan namun penuh ancaman. "Setelah semua peringatan, mereka tetap kembali. Mereka tahu terlalu banyak!"
Dina mencoba merangkak, mencoba bicara, tetapi mulutnya terasa kaku dan tubuhnya tidak merespons.
Nyonya Lia, dengan nada yang tenang dan dingin, seolah sedang mendiskusikan jadwal housekeeping, menjawab Bu Indah.
"Iya, Bu. Mereka harus dimusnahkan. Mereka sudah berhubungan dengan Anggun. Mereka sudah punya buku harian itu. Kita tidak bisa mengambil risiko lagi."
Bu Indah menatap tubuh Dina yang berjuang. "Bagus. Jangan buang waktu. Ikat tangan mereka dan lakban mulutnya. Bawa mereka ke gudang tua di bawah. Setelah itu, kita ke kantor, kita harus memastikan tidak ada rekaman yang tersisa di sistem utama."
Nyonya Lia mengangguk tanpa emosi. Ia mengeluarkan tali tambang tebal dan lakban dari tas tangan besarnya yang mencurigakan.
Mereka berdua bekerja cepat. Tubuh Aryan, Rima, dan Dina, yang masih pingsan dan tidak berdaya, diikat tangannya di belakang punggung dengan ikatan yang sangat kuat, dan mulut mereka ditutup rapat dengan lakban hitam yang tebal, memastikan mereka tidak bisa bersuara atau berteriak.
Bu Indah dan Nyonya Lia kemudian menyeret ketiga tubuh tak berdaya itu keluar dari Kamar 5, melewati lorong yang kini terasa dua kali lipat lebih gelap dan menyeramkan.
Mereka membawa mereka melalui jalur yang sangat rahasia, menggunakan lift khusus staf yang tidak terlihat oleh tamu. Tubuh Aryan, Rima, dan Dina yang diikat itu diangkut ke sebuah gudang tua yang terletak di ruang bawah tanah hotel, sebuah area yang jarang diakses dan tersembunyi dari denah resmi hotel. Gudang itu gelap, lembab, dan berbau apek.
Setelah memastikan ketiga korban mereka terikat kuat di sudut gudang dan tak mungkin melarikan diri, Bu Indah memandangi mereka dengan tatapan kejam.
"Tunggu di sini, anak-anak pintar. Kalian sudah menandatangani surat kematian kalian sendiri. Setelah kita membersihkan jejak di atas, kita akan kembali dan menyelesaikan urusan ini."
Nyonya Lia mengangguk. "Mari, Bu. Kita tidak bisa berlama-lama. Polisi mungkin akan datang lagi besok pagi."
Bu Indah dan Nyonya Lia meninggalkan gudang itu. Suara langkah kaki mereka menghilang di koridor.
Aryan, Rima, dan Dina ditinggalkan dalam kegelapan mutlak, tangan terikat dan mulut tertutup lakban. Mereka mulai sadar satu per satu, dengan rasa sakit yang menusuk di kepala. Mereka mencoba bergerak, tetapi ikatan itu terlalu kuat. Mereka mencoba bersuara, tetapi lakban itu membungkam setiap upaya mereka.
Mereka menyadari: mereka telah gagal. Mereka telah diculik oleh Bu Indah dan Nyonya Lia, dan kini menjadi sandera yang menunggu eksekusi di dalam rahasia paling gelap The Grand Elegance Residency.
Perlahan-lahan, kesadaran kembali menghampiri Aryan, Rima, dan Dina. Rasa sakit yang menusuk di belakang kepala mereka adalah pengingat nyata bahwa mereka baru saja dilumpuhkan. Mata mereka mulai menyesuaikan diri dengan kegelapan mutlak gudang bawah tanah itu.
Mereka mencoba bergerak, tetapi sia-sia. Tangan mereka terikat kuat di belakang punggung, dan lakban hitam tebal membungkam mulut mereka, menghalangi setiap upaya untuk bersuara atau berteriak meminta tolong. Mereka kini adalah sandera, tidak berdaya, di ruang penyiksaan rahasia musuh mereka.
Aryan mencoba menggerakkan bahunya, berusaha melonggarkan ikatan tambang, tetapi ikatan Nyonya Lia terlalu profesional dan kencang. Kepanikan mulai merayapi mereka.
Mereka bertiga mencoba berkomunikasi, namun hanya bisa mengeluarkan suara teredam dan dengungan frustrasi dari balik lakban. Mata mereka saling mencari dalam kegelapan, mencoba menyampaikan pesan tanpa kata.
Rima, yang selalu lebih tenang dalam situasi krisis, memfokuskan pandangannya. Ia melihat sekeliling, mencari celah, apa pun yang bisa dijadikan senjata atau alat bantu.
Mata Rima menyipit. Di lantai, sekitar satu meter dari kaki Aryan, terlihat kilauan samar memantul dari sedikit cahaya yang masuk dari celah di langit-langit. Kilauan itu berasal dari pecahan kaca atau beling yang tergeletak di antara tumpukan debu dan sampah gudang.
Rima segera mencoba berkomunikasi dengan Aryan. Ia mulai menggerakkan kepalanya dengan cepat ke arah pecahan beling itu, lalu mengangguk-angguk kecil, mencoba menarik perhatian Aryan. Ia mengulangi gerakan itu beberapa kali, sambil matanya menatap tajam ke arah Aryan, memohon agar temannya itu mengerti.
Aryan, meskipun masih pusing, akhirnya menangkap isyarat Rima. Ia mengalihkan pandangannya ke lantai di dekat kakinya. Ia melihat kilauan kecil itu—sebuah beling.
Potong... gunakan beling itu...
Aryan mengerti.
Dengan tangan terikat di belakang punggung, Aryan mulai berusaha bergerak. Ia menggeser tubuhnya sedikit demi sedikit, menggunakan otot perut dan kakinya untuk merangkak di lantai yang dingin dan kotor, menuju pecahan kaca itu. Setiap gerakan terasa menyakitkan dan memicu rasa pusing baru.
Akhirnya, Aryan berhasil mencapai pecahan beling itu. Ia menggunakan ujung sepatunya untuk mendorong pecahan kaca itu hingga berada di dekat tangannya yang terikat.
Kini datang bagian tersulit: memegang beling itu dengan tangan terikat.
Aryan memiringkan tubuhnya, berusaha menjepit ujung beling itu di antara jari-jari yang terikat. Setelah beberapa kali percobaan yang gagal dan membuat frustrasi, ia akhirnya berhasil menjepit ujung tajam beling itu.
Dengan hati-hati dan napas tertahan, Aryan mulai menggesekkan tali tambang yang mengikat kedua pergelangan tangannya.
Gesekan pertama. Tali itu tebal dan keras.
Gesekan kedua. Hanya sedikit serat yang terputus.
Aryan menggesek berulang kali, dengan cepat namun hati-hati agar tidak melukai pergelangan tangannya sendiri. Suara gesekan tambang dan kaca itu terdengar mengerikan dalam keheningan gudang. Ia menggeseknya terus-menerus, didorong oleh tatapan mata Rima dan Dina yang penuh harapan.
Setelah beberapa menit perjuangan yang terasa seperti keabadian, tali itu terasa mengendur!
Aryan menarik tangannya dengan kuat. Zzzztt! Ikatan itu putus.
Aryan bebas!
Dengan tangan yang mati rasa, Aryan segera merobek lakban dari mulutnya. Rasa sakit saat lakban itu terlepas dari kulitnya sangat menyiksa, tetapi kebebasan untuk bernapas dan bersuara jauh lebih penting.
"Rima! Dina!" bisik Aryan, suaranya parau.
Aryan segera merangkak menuju Rima, dan dengan tangannya yang kini bebas, ia melepaskan ikatan di tangan Rima. Rima juga segera mencabut lakban dari mulutnya.
"Sialan! Mereka mau membunuh kita!" bisik Rima.
Mereka berdua kemudian bergerak cepat melepaskan ikatan Dina. Dalam waktu kurang dari satu menit, ketiganya sudah terlepas dari jeratan ikatan.
Mereka bangkit. Tubuh mereka sakit, kepala mereka berdenyut. Tetapi mereka punya misi: melarikan diri.
Aryan melihat sekeliling. Gudang itu dipenuhi dengan kotak-kotak kayu tua, kain usang, dan peralatan bangunan bekas. Di sudut ruangan, ia melihat beberapa balok kayu panjang yang kuat.
"Kita ambil senjata seadanya," bisik Aryan.
Aryan mengambil balok kayu itu, dan Dina serta Rima juga mengambil balok kayu yang lebih kecil. Mereka kini bersenjatakan kayu, siap melawan jika Nyonya Lia atau Bu Indah kembali.
Mereka bergerak menuju pintu gudang, mengendap-endap.
"Kita harus keluar dari hotel ini dan mencari bantuan," kata Dina.
Aryan mengangguk. "Kita pergi ke tangga darurat. Ingat, mindik-mindik. Jangan sampai mereka tahu kita sudah bebas."
Mereka meninggalkan gudang bawah tanah itu, memulai pelarian kedua mereka di malam yang kelam di The Grand Elegance Residency.