“Mahkota Samudra bukan sekadar lambang kejayaan, melainkan kutukan yang menyalakan api cinta, ambisi, dan pengkhianatan. Di tengah pesta kemakmuran Samudra Jaya, Aruna, panglima muda, terjebak dalam cinta mustahil pada Putri Dyah, sementara Raden Raksa—darah selir yang penuh dendam—mengincar takhta dengan segala cara. Dari kedalaman laut hingga balik dinding istana, rahasia kelam siap menenggelamkan segalanya.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penulis_hariku, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5 Bayangan yang mengintai
Malam turun dengan tenang di atas langit Samudra Jaya, namun ketenangan itu hanya menipu permukaan. Di dalam tembok istana, arus yang tak terlihat mulai bergerak, membawa bisikan-bisikan rahasia dan langkah-langkah tersembunyi.
Raden Arya Wijayakusuma berjalan menyusuri lorong panjang menuju paviliunnya. Obor-obor yang menyala di sepanjang dinding hanya menambah panjang bayangan tubuhnya, seakan menegaskan betapa rapuh ia berdiri di antara dinding kekuasaan yang kokoh. Pertemuan dengan Raksa siang tadi masih membekas jelas di benaknya. Setiap kata yang terucap dari bibir adiknya bagaikan bilah tipis yang menusuk pelan tapi pasti. Sesampainya di paviliun, ia mendapati Ki Lodra sudah menunggu dengan segelas wedang hangat. “Gusti tampak letih,” ujar abdi tua itu sambil menundukkan kepala. Arya menerima minuman itu, duduk perlahan, lalu menarik napas panjang. “Ki Lodra… apa benar aku terlalu khawatir? Raksa bicara dengan keyakinan penuh, seakan-akan seluruh istana ini sudah berada dalam genggamannya.”
Ki Lodra menatap tuannya dengan mata penuh kebijaksanaan. “Kekuasaan memang sering membuat orang merasa dirinya tak terkalahkan, Gusti. Namun keyakinan yang hanya berdiri di atas ambisi, cepat atau lambat akan goyah. Paduka jangan merasa sendirian. Masih banyak yang menaruh harap pada kebijaksanaan Paduka.” Arya terdiam. Ia tahu kata-kata itu benar, tetapi jauh di dalam hatinya, kegelisahan tetap menyelimuti. Ia menatap langit melalui jendela terbuka. Bulan separuh menggantung pucat, seolah menjadi saksi atas pertarungan tak kasatmata yang mulai berkobar di istana.
Sementara itu, di sisi lain istana, Raden Raksa duduk di pendapa kecil yang remang, ditemani beberapa bangsawan muda yang menjadi pengikut setianya. Anggur tuak dituangkan, percakapan diselimuti tawa ringan. Namun di balik riang itu, ada bisikan yang jauh lebih tajam.
“Gusti Raksa,” salah satu bangsawan berbisik, “banyak tumenggung yang mulai menaruh perhatian pada Paduka. Bila saatnya tiba, dukungan itu bisa menjadi kekuatan.”
Raksa tersenyum puas, sorot matanya berkilat. “Aku tidak butuh semua orang, cukup mereka yang berpengaruh. Sisanya akan ikut arus ketika melihat siapa yang memegang kendali.” Di antara mereka, Tumenggung Wiranata duduk dengan sikap penuh hormat. Ia tak banyak bicara, hanya sesekali mengangguk, tetapi matanya penuh perhitungan. Ia tahu, setiap kata Raksa adalah bagian dari permainan besar yang tak bisa gagal.
Sementara itu di dapur paviliun dayang-dayang sibuk menyiapkan makanan pendamping untuk pesta kecil yang sering diadakan raden Raksa.
“Laras, Puspa antarkan makanan ini ke paviliun raden Raksa,”
DEG!
Mendengar nama pangeran itu tubuh Puspa langsung gemetar, Laras pun memegang tangannya mencoba untuk menenangkan sahabatnya itu.
“Kita antar makanan ini bersama-sama,” Bisik laras, Puspa pun mengangguk ragu. Langkah kaki Laras dan Puspa terdengar pelan di lorong panjang menuju paviliun timur. Lampu minyak yang tergantung di dinding hanya memberi cahaya remang, membuat bayangan mereka memanjang di lantai batu. Puspa menggenggam nampan berisi camilan ringan, tangannya bergetar hingga beberapa kali hampir menjatuhkan piring kecil di atasnya.
“Tenanglah, Puspa,” bisik Laras pelan sambil meraih siku sahabatnya. “Kita hanya mengantar makanan. Tidak lebih.” Namun, Puspa hanya menunduk. Suara tawanya para bangsawan muda dari dalam paviliun membuat jantungnya berdebar semakin kencang. Ia tahu di dalam sana ada sosok yang paling ingin ia hindari, tetapi takdir malam itu menuntunnya ke arah pintu yang sama.
Begitu mereka masuk, suasana segera terasa berbeda. Asap dupa bercampur dengan aroma tuak memenuhi ruangan. Raden Raksa duduk santai di kursi kayu berukir, dikelilingi oleh bangsawan muda yang setia menemaninya. Tawa mereka riuh, tetapi seketika menjadi lebih pelan ketika dua dayang itu melangkah masuk.
“Ah… jamuan kita semakin lengkap rupanya,” ujar Raksa, senyumnya tipis namun sorot matanya menusuk. Ia tidak menatap Laras, melainkan langsung terpaku pada Puspa yang menunduk dalam-dalam. Dengan gemetar, Puspa meletakkan satu per satu piring camilan di meja rendah di hadapan Raksa. Setiap gerakan terasa lambat, seolah waktu ikut menahan napas. Raksa bersandar ke belakang, kedua matanya tak beralih dari wajah Puspa. Senyumnya tidak berubah, tapi ada bara yang menyala di balik tatapan itu.
“Nama yang indah,” gumam Raksa pelan, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri, “seindah wajah yang membawanya.” Puspa tersentak, hampir saja menjatuhkan nampan yang masih ia pegang. Laras buru-buru maju, mencoba menutupi kegugupan sahabatnya. “Ampun, Gusti. Kami hanya menjalankan perintah dari dapur. Jika sudah selesai, izinkan kami kembali.” Raksa mengangkat tangannya perlahan, seolah memberi isyarat agar mereka tak buru-buru. “Jangan terburu. Kehadiran kalian… membuat jamuan ini lebih hidup.” Tatapannya masih terkunci pada Puspa, hingga membuat gadis itu semakin menunduk, wajahnya memerah menahan rasa takut dan malu. Di sudut ruangan, Sangkara dan Jaya Rudra saling bertukar pandang. Mereka tidak berbicara, namun keduanya paham benar apa yang sedang bergolak dalam pikiran tuannya. Tatapan Raksa bukan sekadar kagum, melainkan hasrat yang berbahaya.
Ketika akhirnya Laras berhasil menarik Puspa mundur, mereka berdua memberi hormat singkat lalu melangkah keluar. Tapi sepanjang langkah itu, Puspa bisa merasakan tatapan Raksa yang mengikuti dari belakang. Ia tahu, lelaki itu tidak melepaskan pandangannya barang sedetik pun, seakan menandai dirinya dengan mata penuh bara.
Begitu pintu paviliun tertutup, Raksa menyandarkan tubuhnya sambil tersenyum miring. “Apa kalian melihatnya?” tanyanya dengan nada datar, tapi matanya masih menyala.
Sangkara menunduk hormat. “Hamba melihatnya, Gusti.”
Jaya Rudra menambahkan dengan suara hati-hati, “Gadis itu… bukan sekadar dayang biasa.” Raksa mengangkat cawan tuaknya, meneguknya dalam sekali minum. Lalu ia tertawa kecil, dingin namun memabukkan. “Dayang atau bukan, jika takdir mempertemukan, maka ia akan menjadi milikku. Ingat baik-baik itu.”
Di luar paviliun, Puspa dan Laras berjalan cepat kembali ke dapur. Nafas Puspa masih terengah, kedua tangannya dingin bagai es. Laras meraih pundaknya, berusaha menenangkan. “Jangan takut. Kau tidak sendirian. Aku selalu di sisimu.” Namun, jauh di dalam hati Puspa, ketakutan itu semakin mengakar. Tatapan Raksa tadi bukan tatapan biasa. Itu tatapan yang akan menghantui tidurnya malam ini—dan mungkin, hari-hari berikutnya.
*****
Malam itu, udara istana semakin pekat dengan rahasia. Arya berjuang dengan keraguan dan tekadnya, sementara Raksa menyulam jaring kekuatan dalam bayangan. Dan di tengah keduanya, para pejabat, tumenggung, serta bangsawan menunggu, menimbang arah angin yang akan menentukan masa depan Samudra Jaya.
Namun satu hal pasti—dengan raja yang masih tenggelam dalam tapa brata, singgasana Samudra Jaya kini bagaikan permata di tengah kegelapan. Setiap tangan, baik yang tulus maupun yang haus kuasa, mulai terulur untuk merebutnya.
Di keheningan malam, saat kebanyakan penghuni istana sudah terlelap, lampu minyak di salah satu pendapa keputren masih menyala. Putri Dyah Anindya duduk di balai bambu, wajahnya tampak tegang meski senyum tipis sesekali berusaha menutupinya. Di hadapannya, Mahapatih Nirmala Wisesa duduk bersila, menunggu putri sulung itu membuka suara
“Paman Nirmala,” ucap Dyah lirih, “kabar tentang penyusup itu sudah sampai ke telingaku. Apakah benar mereka belum juga membuka mulut?”
Nirmala mengangguk pelan, sorot matanya serius. “Benar, Gusti Putri. Mereka berkelit, bahkan ketika prajurit mencoba berbagai cara. Seakan mereka dilatih untuk tidak pernah menyebut siapa yang mengirim.” Dyah menghela napas panjang, tangannya meremas kain selendang di pangkuannya. “Itu yang kutakutkan, Paman. Hanya orang dengan tujuan besar yang akan berani mengutus penyusup ke dalam jantung istana. Aku takut… ini bukan sekadar percobaan kecil, melainkan awal dari badai yang lebih besar.”
Patih Nirmala menunduk hormat. “Gusti Putri memang arif dalam membaca keadaan. Hamba pun merasakan hal yang sama. Sejak Paduka Prabu meninggalkan istana untuk tapa brata, arus dalam istana ini berubah. Ada kubu-kubu kecil yang perlahan terbentuk, dan itu membuat keadaan semakin rapuh.” Tatapan Dyah bergetar. Ia tahu benar bagaimana rakyat mencintainya, tetapi ia juga sadar betapa bangsawan dan para pejabat tinggi sering memandang rendah dirinya hanya karena ia seorang wanita. “Apalah artinya dukungan rakyat kecil bila para pejabat dan bangsawan di dalam istana justru saling berebut kekuasaan,” gumamnya lirih.
Patih Nirmala menatap Dyah dengan penuh iba. “Namun, Gusti, jangan merendahkan kekuatan suara rakyat. Mereka adalah nafas kerajaan. Bila rakyat tetap menaruh harap pada Gusti, itu sudah menjadi modal besar. Yang perlu kita waspadai hanyalah mereka yang ingin membelokkan harapan itu demi ambisi pribadi.” Dyah menatap ke arah taman, tempat bunga kenanga mekar dan harum semerbak menenangkan malam. Namun bagi Dyah, aroma itu justru membuat dadanya sesak. “Aku merasa seolah-olah ada bayangan yang mengintai di setiap sudut istana ini, Paman. Kadang aku bahkan takut berjalan seorang diri di taman, seakan mata-mata selalu mengikutiku.” Nirmala mengangguk pelan, kemudian bersuara rendah, seakan tak ingin didengar tembok sekalipun. “Kecurigaan itu mungkin benar adanya, Gusti. Beberapa prajurit melaporkan ada wajah-wajah asing yang mondar-mandir di dekat balairung dan gudang persenjataan. Semuanya masih samar, tapi pola itu membuat hamba semakin yakin ada kekuatan besar yang sedang mempersiapkan diri.”
“Gelombang pemberontakan…” Dyah melanjutkan kalimat itu dengan suara nyaris tak terdengar. Kedua tangannya meremas selendang semakin kuat. “Apakah Samudra Jaya akan benar-benar menghadapi itu, Paman? Sementara Ayahanda masih bertapa, dan kita… kita hanya bisa menunggu?”
Patih Nirmala menatap tajam, sorot matanya tegas bagai baja. “Kita tidak hanya menunggu, Gusti. Hamba sudah menyiapkan prajurit-prajurit pilihan untuk memperketat pengawasan. Tumenggung Wiranegara sedang mengatur penjagaan di sekitar benteng dalam. Bila badai benar-benar datang, kita akan siap menghadapi.”
Dyah menoleh, seulas cahaya harapan terbit di matanya. “Apakah benar ada yang masih setia menjaga Samudra Jaya?”
“Masih banyak, Gusti,” jawab Nirmala dengan suara mantap. “Kesetiaan itu belum padam. Namun, kita harus tetap waspada. Sering kali pengkhianatan datang dari orang yang tampak dekat. Itu sebabnya hamba meminta Paduka untuk berhati-hati, jangan terlalu mudah percaya pada siapa pun.” Hening sejenak menyelimuti keduanya. Angin malam berhembus lembut, menggoyang dedaunan di luar pendapa. Dyah menatapnya lama, lalu berkata lirih, “Kalau begitu, kita hanya perlu menunggu Ayahanda kembali dari tapa bratanya. Aku hanya berharap… semoga beliau membawa petunjuk yang jelas. Agar Samudra Jaya tidak terjerumus ke dalam perpecahan.” Patih Nirmala menunduk dalam, suaranya tenang namun tegas. “Selama beliau belum kembali, hamba berjanji akan menjaga kerajaan ini sekuat tenaga. Dan hamba pun percaya, Gusti Putri bukan sekadar bayangan seperti yang dipandang sebagian orang. Paduka adalah cahaya yang bisa menerangi jalan kerajaan.” Dyah menunduk, menahan rasa haru. Namun jauh di dalam hatinya, ketakutan itu masih bersemayam. Malam itu, ia tahu benar, Samudra Jaya sedang berdiri di tepi jurang. Dan hanya waktu yang bisa membuktikan siapa yang benar-benar akan menjadi penopang, dan siapa yang diam-diam menjadi penggali jurang itu.
****
Malam itu, bulan sabit menggantung redup di atas langit Samudra Jaya. Keheningan menyelimuti keputren, hanya suara jangkrik yang terdengar dari balik pepohonan. Dari paviliun keduanya, Ken Suryawati melangkah dengan hati-hati, hanya ditemani selembar selendang hitam yang menutup sebagian wajahnya. Langkah kakinya ringan, namun mata tajamnya penuh tekad. Malam ini ia tidak sedang menuju taman istana atau kamar dayang, melainkan keluar dari gerbang rahasia yang jarang dipergunakan.
Dengan diiringi satu dayang tua yang setia, Ken Suryawati akhirnya tiba di sebuah gubuk di pinggiran hutan. Gubuk itu sederhana, namun penuh aroma dupa dan taburan bunga kering. Di dalamnya duduk seorang perempuan tua berwajah keriput, sorot matanya tajam, tangannya sibuk mengaduk kendi berisi air hitam. Dialah dukun yang namanya jarang disebut, tapi diam-diam sering dimintai bantuan oleh para bangsawan yang ingin melancarkan hasrat tersembunyi.
“Selamat datang, Ken Suryawati…” suara perempuan tua itu parau, seperti telah menunggu kedatangannya sejak lama. “Aku sudah merasakan bayangan hatimu dari jauh.” Ken Suryawati melepaskan selendangnya, memperlihatkan wajahnya yang masih cantik meski termakan usia. “Kau tahu apa yang kuinginkan?” tanyanya dengan suara rendah, namun penuh dendam.
Dukun itu tersenyum samar, giginya menghitam oleh usia. “Permaisuri… bukan begitu? Wanita itu selalu berdiri di sisimu, menghalangi setiap jalanmu. Kau ingin singgasana wanita itu roboh.”
Ken Suryawati mengangguk perlahan, matanya menyala. “Dyah Kusumawati selalu tampak sempurna di mata raja. Tak ada yang mampu menandingi kelembutannya, kebijaksanaannya. Bahkan aku yang telah memberi putra lelaki bagi Samudra Jaya, tetap saja dianggap bayangan. Malam ini, aku ingin dia hilang. Dengan teluhmu, permaisuri itu harus menderita.” Dukun itu tertawa lirih. Ia menyalakan dupa, membacakan mantra dengan bahasa kuno. Asap mengepul, memenuhi ruangan dengan wangi yang menusuk. Ken Suryawati menatap dengan penuh harap, namun tiba-tiba wajah sang dukun berubah. Ia terbatuk keras, tangan yang tadi teguh menggenggam kendi bergetar.
“Tidak… tidak bisa,” gumamnya. Mantra yang dibacakan tersendat, matanya melotot seolah ada sesuatu yang menahan. “Aku merasakan tembok cahaya… ada penjaga gaib yang melindunginya. Leluhur permaisuri berdiri di sekelilingnya, tak seorang pun bisa menembusnya.”
Ken Suryawati terperanjat, suaranya meninggi. “Apa maksudmu? Kau dukun terhebat di seluruh tanah ini, bagaimana bisa seorang perempuan itu kebal darimu?” Dukun itu mengusap peluh dingin di wajahnya. “Bukan aku yang lemah. Leluhurnya… mereka sakti, darahnya dijaga oleh roh yang setia. Selama perlindungan itu ada, teluh tidak akan pernah mampu menyentuh tubuhnya.” Ken Suryawati menggertakkan gigi. Matanya menyala marah, tangannya mengepal hingga buku-bukunya memutih. “Aku tidak datang jauh-jauh hanya untuk mendengar alasan. Aku ingin Dyah Kusumawati lenyap dari hadapanku! Kalau teluh tidak bisa, maka cari cara lain!”
Dukun itu terdiam sejenak, lalu perlahan menatap lurus ke mata Ken Suryawati. “Ada satu jalan lain… tapi lebih kejam dari sekadar teluh. Jika kau berani, gunakan racun yang samar, yang tidak membunuh seketika. Racun yang meresap ke dalam darah, menggerogoti tubuhnya sedikit demi sedikit. Orang akan mengira itu sakit biasa, bukan perbuatan tangan manusia.” Mata Ken Suryawati berkilat, amarahnya mulai berubah menjadi rencana. “Racun seperti itu… kau bisa menyiapkannya?”
“Bisa,” jawab sang dukun tenang. “Tapi ini bukan racun sembarangan. Harus diberikan secara berkala, melalui makanan atau minuman yang ia percayai. Makin lama diminum, makin rusak tubuhnya. Permaisuri akan melemah, tubuhnya layu, sampai akhirnya tiada. Semua orang akan mengira itu takdir, bukan ulahmu.” Senyum licik merekah di wajah Ken Suryawati. Ia membayangkan Dyah Kusumawati yang selalu tampak anggun perlahan jatuh sakit, kehilangan cahaya yang membuatnya disanjung raja. “Itu lebih baik,” katanya pelan, hampir seperti berbisik pada dirinya sendiri. “Biarlah dia menderita perlahan. Biarlah semua orang melihat bahwa Dyah Kusumawati bukanlah wanita kuat seperti yang mereka puja.” Dukun itu menyerahkan sebuah kantung kecil berisi serbuk hitam. “Ingat, jangan terlalu banyak. Racun ini bekerja pelan, tapi pasti. Dan jangan sampai ada orang lain yang tahu, karena sekali rahasia ini terbongkar, bukan hanya permaisuri yang binasa… tapi juga dirimu.” Ken Suryawati menerima kantung itu dengan tangan bergetar, namun senyum puas tak bisa disembunyikan dari wajahnya. “Tak seorang pun akan tahu. Hanya aku, kau, dan takdir.” Ia lalu berdiri, menyelimuti kembali wajahnya dengan kain hitam. Di luar, angin malam berhembus kencang, seolah menjadi saksi awal dari sebuah pengkhianatan yang kelak mengguncang Samudra Jaya.
Malam itu angin berhembus pelan membawa bau dupa yang masih tersisa di ruangan sempit sang dukun. Ken Suryawati melangkah keluar dengan wajah menegang, api amarah masih menyala di matanya. Keinginannya tak terwujud malam ini, namun bisikan racun yang ditawarkan sang dukun bagaikan bara kecil yang perlahan membesar dalam hatinya. Ia menggenggam erat kain tipis di tangannya, seolah di sanalah tersimpan seluruh dendam dan ambisinya. Di kejauhan, suara gong dari keraton masih terdengar samar—pertanda upacara suci telah selesai. Semua tampak tenang di permukaan, namun jauh di balik tirai malam, benih kebencian telah ditanam, siap tumbuh menjadi bencana.
Ken Suryawati menoleh sekali ke belakang, menatap rumah reyot itu dengan sorot mata yang sulit dibaca—antara ragu dan tekad bulat. Lalu ia menghilang dalam kegelapan, menyisakan tanda tanya besar tentang apa yang akan terjadi pada sang permaisuri. Dan ketika bulan purnama menatap diam dari langit, seolah ikut menjadi saksi, Samudra Jaya tanpa sadar tengah menyambut badai yang perlahan mendekat.