Di Kekaisaran Siu, Pangeran Siu Wang Ji berpura-pura bodoh demi membongkar kejahatan selir ayahnya.
Di Kekaisaran Bai, Putri Bai Xue Yi yang lemah berubah jadi sosok barbar setelah arwah agen modern masuk ke tubuhnya.
Takdir mempertemukan keduanya—pangeran licik yang pura-pura polos dan putri “baru” yang cerdas serta berani.
Dari pertemuan kocak lahirlah persahabatan, cinta, dan keberanian untuk melawan intrik istana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
Keluarga kerajaan masih terkejut dengan perubahan sikap putri. Semula rapuh, kini justru seperti punya semangat baru yang bahkan bisa menggetarkan ruangan.
Kaisar Bai Zeng berdiri sambil menepuk-nepuk janggutnya. “Bagus! Bagus sekali. Putriku tidak hanya hidup kembali, tetapi juga lebih kuat. Mungkin langit benar-benar memberi berkah.”
Permaisuri Yi Zhu tersenyum tipis, meski di balik itu ada rasa bingung. Kenapa sikap anakku seperti… bukan dirinya sendiri? Namun karena melihat wajah segar Xue Yi, hatinya kembali tenang.
Bai Xiang, sang putra mahkota, justru terlihat geli. Ia mencondongkan tubuhnya, berbisik setengah mengejek, “Adikku, kau ini seperti berganti roh. Dulu lemah lembut, sekarang pandai menyindir.”
Xue Yi menoleh cepat, mengedipkan sebelah mata. “Kakanda, jangan iri. Aku hanya belajar cara membuat orang lain tidak meremehkanku.”
Semua terdiam sejenak, lalu Bai Xiang tertawa lebar. “Bagus! Kalau begitu, mulai sekarang aku tak perlu cemas setiap kali meninggalkanmu sendirian.”
Namun tidak semua orang senang. Di sisi lain, Li Wen dan Mei Hua berusaha menjaga wajah mereka tetap tenang. Li Wen menggenggam tangan Xue Yi pura-pura penuh cinta. “Yang penting sekarang kau pulih. Aku janji akan selalu menjagamu.”
Xue Yi menatap genggaman itu lama, lalu menarik tangannya pelan, seolah tak ingin terlalu dekat. “Jagalah dirimu sendiri dulu, Tuan Li Wen. Aku tidak ingin tunanganku jatuh sakit karena terlalu banyak memikirkan orang lain.”
Li Wen kaku. Mei Hua menunduk cepat, menutupi wajah yang pucat.
---
Usai keramaian, keluarga kerajaan kembali ke kediaman masing-masing. Hanya beberapa dayang yang berjaga di kamar putri.
Lan Er, dayang kecil yang setia, sibuk merapikan selimut. “Putri, malam ini tidurlah nyenyak. Hamba akan berjaga di luar.”
Xue Yi mengangguk sambil tersenyum tulus. “Lan Er, mulai sekarang jangan pernah jauh dariku. Aku butuh orang yang bisa kupercaya. Kau mau, kan?”
Lan Er terkejut, matanya berbinar. “T-tentu, Putri! Hamba rela mati demi Anda.”
Xue Yi menepuk kepalanya lembut. “Tidak perlu mati. Aku butuh kau tetap hidup. Kau harus kuat, Lan Er. Jangan mudah menangis lagi.”
Lan Er menahan air mata, lalu menunduk dalam-dalam. “Baik, Putri.”
Saat ruangan sepi, Xue Yi duduk di tepi ranjang, menatap bulan dari celah tirai. Jemarinya mengetuk ringan meja di samping tempat tidur.
Mei Hua… Li Wen… kalian kira aku masih gadis lemah yang bisa dibodohi? Hati-hati. Aku akan membuat kalian membuka kedok dengan sendirinya.
Senyum dingin terukir di bibirnya.
-----
Keesokan harinya, istana kembali heboh. Putri yang selama ini sakit-sakitan, hari ini memaksa keluar ke taman.
“Putri! Udara pagi masih dingin, nanti Anda kambuh lagi,” protes tabib.
Xue Yi terkekeh. “Kalau hanya karena udara aku bisa mati, maka aku sebaiknya tidak usah hidup.” Ia melangkah ringan ke taman bunga, menyentuh kelopak mawar yang basah embun.
Permaisuri Yi Zhu menatap dari jauh, matanya berkaca-kaca. “Lihatlah, Zeng. Anak kita benar-benar berbeda.”
Kaisar Bai Zeng mengangguk, bangga. “Biarkan saja. Kalau semangatnya bangkit, tubuhnya akan menyusul sehat.”
Di kejauhan, Bai Xiang memperhatikan adiknya yang kini tersenyum cerah. “Sepertinya aku benar-benar mendapatkan adik baru.”
Kepura-puraan Tunangan dan Dayang
Tak lama, Li Wen datang dengan wajah manis. “Yi’er, kau sudah cukup kuat berjalan keluar? Seharusnya kau istirahat saja, biarkan aku menemanimu di dalam kamar.”
Xue Yi berbalik, menatapnya dengan mata berbinar penuh arti. “Oh? Apa kau tidak senang melihatku hidup segar di bawah matahari? Atau kau lebih suka aku tetap di kamar, terbaring pucat?”
Li Wen tercekat, keringat dingin muncul di pelipisnya.
Mei Hua, yang mengikuti dari belakang, cepat-cepat menengahi. “Putri, Tuan Li Wen hanya mengkhawatirkan kesehatan Anda.”
Xue Yi tersenyum tipis. “Benar. Dia memang selalu khawatir… tapi entah khawatir untukku, atau untuk dirinya sendiri.”
Mei Hua terdiam, wajahnya pucat pasi.
----
Malam kembali turun. Kali ini, Xue Yi menuliskan sesuatu di atas kertas kecil dengan kuas. Tulisan itu rapi, penuh kode, sulit dimengerti oleh siapapun yang bukan dirinya.
“Jika aku dulu agen rahasia, maka sekarang pun aku tetap agen. Hanya panggungku yang berbeda: istana ini.”
Ia menggulung kertas itu, menyimpannya di laci tersembunyi.
“Langkah pertama: lindungi Lan Er. Langkah kedua: buat Li Wen dan Mei Hua kehilangan pijakan. Langkah ketiga: kuatkan tubuhku agar aku bisa berdiri sendiri.”
Ia menatap cermin. Bayangan wajah putri muda itu menatap balik dengan senyum samar.
“Selamat tinggal Putri Bai Xue Yi yang lemah. Mulai hari ini, aku adalah Bai Xue Yi yang baru.”
---
Istana Siu pagi itu diselimuti kabut tipis. Burung-burung bangau beterbangan di atas kolam teratai, sementara suara musik kecapi dari aula selatan terdengar lembut. Semua tampak damai… kecuali di satu sudut istana, tepatnya di halaman kecil kediaman Pangeran Siu Wang Ji.
Pangeran muda itu tengah duduk bersila di lantai kayu, wajahnya polos seperti anak kecil. Ia memegang sekuntum bunga kertas, meniup-niupnya sambil tertawa kecil. “Lihat, bunga ini bisa terbang! Hahaha!”
Beberapa selir yang lewat hanya menggelengkan kepala dengan sinis.
“Kasihan, pangeran besar tetapi otaknya seperti bocah lima tahun,” bisik seorang selir.
“Benar. Mana mungkin anak ini bisa jadi putra mahkota? Kekaisaran tidak butuh pangeran bodoh.”
Bisikan-bisikan itu sebenarnya terdengar jelas di telinga Siu Wang Ji. Namun ia hanya tersenyum, berpura-pura tak mengerti. Dalam hati, ia menyimpan bara.
"Bicaralah sepuasnya. Semakin kalian yakin aku bodoh, semakin mudah aku membuka kedok kalian."
Dua pengawal pribadinya, Pengawal Luo dan Pengawal Jian, berdiri tidak jauh. Mereka tahu betul sandiwara yang dimainkan tuannya. Luo menunduk sedikit, berbisik pada rekannya,
“Tuanku benar-benar meyakinkan. Kalau aku tidak tahu kebenarannya, mungkin aku pun percaya ia anak kecil sungguhan.”
Jian mengangguk. “Tapi hati-hati. Semakin lama ia berpura-pura, semakin besar peluang musuh untuk lengah sekaligus berbahaya jika mereka mencium sesuatu.”
Tak lama kemudian, Selir Ma Linkin datang bersama putranya, Pangeran Siu Rong. Keduanya berjalan penuh wibawa, diiringi beberapa pelayan.
“Wang Ji…” suara Selir Ma melengking manis, namun penuh sindiran. “Kau sedang bermain bunga lagi? Kau ini sudah dewasa, kenapa masih seperti anak-anak?”
Wang Ji menoleh dengan senyum lugu. “Bunga ini cantik. Kalau kutiup, terbangnya tinggi sekali. Kakak Rong, mau coba?”
Siu Rong mendengus meremehkan. Ia sengaja meraih bunga itu lalu meremasnya sampai hancur. “Anak kecil memang hanya bisa main bunga. Aku? Aku belajar strategi perang bersama Jenderal Xun. Ayahanda kaisar bilang aku cepat sekali menguasai taktik.”
Pelayan-pelayan tertawa kecil mendukung, membuat Wang Ji terlihat semakin bodoh.
Namun dalam hati, Wang Ji mencatat. Jadi benar, mereka sedang berlatih strategi perang di belakang layar. Aku harus mencari tahu seberapa jauh ambisi mereka.
“Bunga… bungaku…” Wang Ji berpura-pura cemberut, matanya berkaca-kaca. Ia bahkan menjambak lengan Shen Yu seperti anak kecil yang manja.
Melihat itu, semua orang tertawa terbahak-bahak.
“Lihatlah, pangeran besar bahkan menangis hanya karena bunga!” seru salah satu pelayan.
Selir Ma tersenyum puas, lalu menepuk bahu putranya. “Rong, kau memang lebih pantas menjadi penerus tahta. Bandingkan dengan dia…”
Siu Rong membusungkan dada, menatap penuh kemenangan.
Namun tepat setelah mereka pergi, tawa Wang Ji menghilang. Sorot matanya berubah tajam bagai elang. Ia meraih serpihan bunga di tanah, menggenggamnya erat.
" Luo, Jian,” ucapnya lirih, “selidiki siapa saja guru yang dipanggil untuk mengajari Siu Rong. Aku ingin tahu siapa yang berani melatihnya tanpa izin kaisar.”
“Kami mengerti, Tuanku.” Keduanya membungkuk.
Wang Ji berdiri, menatap jauh ke arah istana utama. “Biarkan mereka mengira aku tak lebih dari bocah tolol. Tapi saat waktunya tiba… semua kebusukan mereka akan kulenyapkan.”
Bersambung