NovelToon NovelToon
Aku Kekasih Halalmu

Aku Kekasih Halalmu

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Dosen / Nikahmuda / CEO / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: RahmaYusra

Hana Hafizah menjadi perempuan paling tidak beruntung ketika ayah dan ibu memintanya untuk menikah, tetapi bukan dengan lelaki pilihannya. Ia menolak dengan tegas perjodohan itu. Namun, karena rasa sayang yang dimilikinya pada sang ayah, membuatnya menerima perjodohan ini.

•••

Gadibran Areksa Pratama. Dosen muda berumur 27 tahun yang sudah matang menikah, tetapi tidak memiliki kekasih. Hingga kedua orang tuanya berkeinginan menjodohkannya dengan anak temannya. Dan dengan alasan tidak ingin mengecewakan orang yang ia sayangi, mau tidak mau ia menerima perjodohan ini.

•••

“Saya tahu, kamu masih tidak bisa menerima pernikahan ini. Tapi saya berharap kamu bisa dengan perlahan menerima status baru kamu mulai detik ini.”

“Kamu boleh dekat dengan siapapun, asalkan kamu tahu batasanmu.”

“Saya akan memberi kamu waktu untuk menyelesaikan hubungan kamu dengan kekasih kamu itu. Setelahnya, hanya saya kekasih kamu. Kekasih halalmu.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RahmaYusra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Aku Kekasih Halalmu – Kehangatan

Sambil terus memainkan ponselnya dan menghubungi seseorang, laki-laki yang mengenakan jam tangan mahal itu memutar kemudi mobilnya menuju bandara. Dengan suara beratnya, ia meminta maaf pada seseorang disana karena dari tadi tidak mengangkat telepon.

“Maaf, yaa. Tadi kafe lagi hectic banget. Makanya aku nggak tahu kamu nelepon.”

“Iyaa, ini aku bentar lagi sampai kok. Bentar, yaa.”

Galang, laki-laki itu berbohong. Bukannya menjemput sang kakak seperti yang telah ia katakan pada Hana, sekarang dirinya malah sedang menuju bandara untuk menjemput seseorang.

Sekitar 45 menit perjalanan dari rumah Hana, Galang akhirnya sampai dan segera mencari tempat parkir.

“Iya, aku udah sampai. Sabar. Kamu dimana?” katanya dan setengah berlari sambil teleponnya menempel ditelinga. Mencari seseorang yang sudah sejak 1 jam yang lalu menunggunya dibandadar.

“Aku udah nunggu kamu dari tadi. Udah diluar juga. Cepetan.”

“Iya, sayang, iyaa. Aku udah lari nih.” Galang masih terus lari dan memanjangkan lehernya agar bisa melihat seseorang yang dari tadi menunggunya itu.

“Sayang!”

Galang menoleh pada suara yang terdengar familiar oleh telinganya. Seketika senyum menawannya menyebar. Sekali lagi, laki-laki itu berlari dan menyambut tangan perempuan yang sudah terbuka itu untuk segera dipeluknya.

“Kangen...” kata Galang sambil terus memeluk perempuan memiliki kulit putih bersih dan rambut coklat panjang itu.

“Aku juga kangen banget sama kamu. Udah lama nggak ketemu,” balas perempuan itu. Mereka melepaskan pelukan. Galang mencium kening perempuan itu dengan sangat lama. Ghena –perempuan itu tentu saja menerimanya dengan senang hati. setelah itu, memreka kembali berpelukan. Seperti sudah lama tidak bertemu.

“Capek, nggak?” tanya Galang yang diangguki Ghena dalam pelukan.

Galang akhrinya melepas pelukan mereka lalu menuntun Ghena untuk segera beranjak dari sana menuju mobil. Galang juga menggeret koper Ghena yang tidak terlalu besar itu.

“Kita langsung ke Apartemen?”

Ghena mengangguk, dan mereka segera berlalu dari sana.

***

Bandara Internasional Soekarno-Hatta sangat ramai dipenuhi pengunjung. Entah itu untuk mengantar, menjemput, ataupun mereka yang akan pergi dan baru saja datang. Semuanya berbaur menjadi satu hingga sulit membedakan manakah penumpang yang sebenarnya.

Dari itu semua, seorang laki-laki dengan setelan celana jeans hitam dan kemeja navy yang digulungnya hingga siku, baru saja keluar dari area bandara. Ia menuju orangtuanya yang sudah menunggu sambil menggeret koper miliknya.

Sudah berapa lama ia tidak pulang? Sebab Jakarta jadi terasa lebih pada dari sebelumnya. Matanya berpendar. Ada beberapa pasangan yang tengah berpelukan, keluarga yang menanti dengan harap-harap cemas, mobil-mobil yang berbaris dengan rapi, petugas bandara yang sibuk bekerja, dan lainnya. Laki-laki itu memperhatikan sekitarnya dengan seksama.

Kemudian, laki-laki tampan itu memalingkan wajah dan melihat kedua orang tuanya yang juga sedang menanti dirinya di depan sana. Ia tersenyum menambah rupawan dirinya sebab memiliki postur tubuh yang tegap kulit putih, rambut dan alisnya yang hitam tebal, hidung mancung, serta bibir yang penuh.

“Ya ampun, Bunda kangen banget sama kamu,” kata Sovia sembari terus memeluk putra kesayangannya itu. “Sudah berapa lama kamu ninggalin, Bunda? Bisa-bisanya kamu nggak ngasih tahu Bunda keterangan apapun selain bicara izin belajar keluar tapi besoknya langsung berangkat.”

Dibran meringis menyadari kesalahannya tapi kemudian tertawa pelan mendengar kekesalan dari wanita yang sangat di cintainya itu, begitu juga Ayah.

“Aku nggak ninggalin Bunda.” Dibran melepas pelukan mereka lalu menatap bundanya. “Dan kalau aku ngasih tahu Bunda jauh-jauh hari, aku yakin bakalan relain uangnya sia-sia, karena nggak jadi berangkat.”

Sovia cemberut dan memukul bisep sang putra. “Dasar kamu ini!”

Dibran dan ayahnya kembali tertawa, kemudian diciumnya kening Bunda dengan lembut. Setelah itu ia bergantian memeluk Damian. Pelukan hangat khas seorang ayah pada anaknya. Ditambah senyuman bangga karena anaknya berhasil menyelesaikan pendidikannya hingga S3 di luar negri –Universitas Washington, di Seattle.

“Terimakasih sudah sampai di tahap ini. Ayah bangga sama kamu. Selamat datang kembali.” Damian mengucapkan terimakasih pada Dibran karena sudah mau berjuang untuk pendidikannya. Bahkan menuruti keinginannya.

Dibran tersenyum lalu menggeleng. “Bukan Ayah yang harusnya bilang ‘makasih’. Tapi Dibran, karena Ayah selalu dukung semua keinginan Dibran. Kalau bukan karena dorongan dari Ayah, Dibran nggak akan bisa melangkah hingga sejauh ini.” Damian tertawa ringan mendengarnya, berbeda dengan wanita paruh baya yang malah sedang menahan tangis melihat dua laki-laki kesayangannya itu.

Damian yang pertama kali melihatnya pun terkejut, begitupun dengan Dibran.

“Loh kok, Bunda malah nangis?” tanya Damian.

“Bunda kenapa?” tanya Dibran juga, ia pun kembali memeluk Bundanya

Sovia akhirnya menangis dipelukan sang anak. “Bunda jadi berasa jahat pas marahin kamu baru pulang hari ini padahal kamu udah berusaha sampai dititik ini,” jelas Sovia yang membuat Dibran dan ayah tertawa tertahan.

“Iya, Bundaa, nggak papa. Kan Bunda juga selalu dukung semua keputusan Dibran,” katanya sambil terus menengangkan Bundanya.

“Iya, sudah jangan nangis. Nggak malu, diliatin sama orang lain. Ditempat umum, loh, ini,” ucapa Damian yang langsung menghentikan tangis sang istri.

“Ya sudah, sekarang kita pulang. Bunda yakin kamu pasti lelah,” kata Sovia setelah tangisnya reda. Dibran pun mengangguk dan ketiganya kemudian berjalan menuju mobil.

Mereka menuju mobil, sedangkan barang-barang milik Dibran sudah berada dibagasi. Dibran dan kedua orang tuanya pun masuk mobil. Dibran duduk disebelah bunda, awalnya ia menolak karena ingin duduk didepan saja. Biar ayahnya yang duduk disamping bundanya. Namun bunda tidak setuju. Ia ingin putranya duduk disebelahnya. Wanita yang sudah setengah abad itu masih merindukan putranya.

Melihat itu, membuat Damian terkekeh dan mengangguk. Alhasil mereka bertiga duduk dibagian tengah. Dengan Sovia berada ditengah. Wanita itu duduk memeluk lengan sang putra dan menyender pada Dibran.

***

Sekitar tiga puluh menit, Dibran, Sovia, dan Damian, sampai dikediaman Pratama. Rumah bertingkat dua yang besar nan megah berwarna putih dan coklat.

Ketiganya pun turun, dan melangkah memasuki rumah. Sang supir mengikuti dari belakang untuk membawa barang bawaan Dibran. Sesaat mendapat perintah untuk meletakkan kopernya dikamar sang tuan muda, supir itu pun langsung bergerak melaksanakan tugasnya.

Sovia langsung mengajak putra dan suaminya untuk makan. Tanpa banyak bicara, ayah dan anak itu mengiyakan ajakan sang Nyonya rumah. Namun sebelum itu, Dibran izin ke toilet dulu untuk sekedar cuci muka dan tangan.

Makanan khas rumahan sudah terpampang jelas di meja makan saat Dibran masuk keruang makan setelah kembali dari toilet. Senyumnya merekah karena sudah lama sekali ia tidak makan makanan seperti ini. Selama ia berada Seattle untuk menuntut ilmu, laki-laki itu memang memasak tapi masakan itu khas dari Negara itu sendiri. Sehingga lidahnya jarang menyicipi masakan seperti sekarang.

“Bunda udah nyiapin makanan-makanan yang pastinya jarang kamu rasakan selama di negri orang,” kata Sovia sambil mengambilkan makanan untuk suami dan anaknya.

Mendengar itu membuat tidak hanya Dibran tetapi juga Damian tergelak, karena sang kepala keluarga juga merasakan hal yang sama dengan Dibran. Terlalu lama di negri orang sehingga jarang menyicipi masakan Indonesia.

“Iya, Bun,” kata Dibran kemudian melahap makanannya.

Kemudian ketiganya mulai makan dengan tenang tanpa ada yang bicara sampai semuanya selesai makan.

“Apa selanjutnya rencana kamu? Untuk menjadi Dosen itu, kamu bersedia?” tanya Damian pada Dibran setelah ketiganya selesai makan.

Damian memang diminta oleh salah seorang temannya yang menjadi Dekan disalah satu kampus swasta dikota ini untuk menjadikan Dibran sebagai salah dosen sementara untuk beberapa bulan disana.

Hanya untuk menggantikan dosen yang saat ini tengah mengambil cuti dalam waktu yang cukup lama. Dan sebab itu juga, Dibran langsung pulang ke Indonesia setelah selama kurang lebih satu minggu menyelesaikan studi-nya.

Dibran meminum air putihnya terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan dari sang ayah, ia kemudian mengangguk. “Dibran mau, Yah. ngisi waktu juga sebelum Dibran ambil alih perusahaan. Tujuan Dibran buat pulang lebih cepat juga buat itu. Om Adrian juga udah aku hubungin. Dan satu minggu lagi Dibran bakalan mulai ngajar.”

“Perusahaan?” tanya Damian. Selain meminta Dibran untuk pulang karena permintaan temannya untuk anaknya bisa menggantikan seorang dosen, Damian juga memiliki maksud lain agar Dibran bisa mengambil alih perusahaan segera.

Dibran memberikan senyuman. “Setelah masa ngajar Dibran selesai, perusahaan bakalan Dibran ambil alih.”

Damian dan Sovia yang mendengar penuturan sang anak pun tersenyum dengan bangga. Putra kesayangan mereka yang tidak akan pernah mengecewakan kedua orang tua-nya.

“Bunda bangga banget sama kamu,” ucap Sovia dengan bahagia, pun dengan Damian yang mengangguk menyetujui.

Mendengar penuturan dan respon orang tua-nya dengan tatapan yang seperti itu pun, membuat Dibran semakin percaya diri. Hal-hal yang sangat diinginkan oleh setiap anak dari kedua orang tua.

“Semuanya karena dukungan dari Bunda dan Ayah juga,” katanya penutup obrolan mereka saat ini.

Dibran pun pamit untuk segera ke kamar. Ia ingin segera membersihkan dirinya dan mengistirahatkan tubuh, setelah kurang lebih delapan belas jam lamanya berada didalam pesawat.

***

1
minato
Nggak sabar buat lanjut ceritanya!
Linechoco
Ngangenin banget ceritanya.
Aerilyn Bambulu
Alur ceritanya keren banget!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!