Surga Lain Pernikahanku
Matahari pagi menyelinap malu-malu ke arah dapur yang didominasi warna putih-cream tersebut, membuat suasana pagi terasa lebih tenang dan syahdu. Di dapur itulah Haura dengan senyum hangat serta mata penuh ketelitian sedang menghiasi bekal di lunch box. Sederhana sebenernya. Namun, sejak ia menikah tiga bulan yang lalu, membuat bekal lalu menghiasnya menjadi salah satu kegiatan favoritnya.
“Mau dihias bagaimanapun, rasa makanannya sama saja. Kalau tidak lauknya keasinan ya nasinya yang kelembekan.” Banyu-sang suami muncul sambil memasang jam tangannya.
Pria itu sudah berpenampilan rapi siap untuk pergi ke kantor.
Senyum Haura semakin sumringah menyadari kehadiran suaminya di ruang makan. Tidak adanya dinding pembatas antara dapur dan ruang makanan, membuat Haura leluasa memandangi suami tampannya itu.
“Hari ini aku buatin nasi daun jeruk dan ayam kalasan, Mas. Udah aku cicipin. Rasanya dijamin enak,” kata Haura dengan rasa bangga.
Banyu-sang suami hanya tersenyum sinis. Matanya menatap Haura dengan kesan meremehkan. “Lidah kamu sama lidah saya itu berbeda. Enak di kamu belum tentu enak di saya.” Banyu kemudian duduk di kursi makan, siap-siap untuk menikmati kopi hitam yang selalu terhidang di meja makan setiap pagi.
“Kali ini enggak, Mas. Aku jamin rasanya enak.” Haura masih memasang wajah yang begitu cerah.
“Ya terserah kamu. Asal jangan paksa saya untuk bawa masakan aneh kamu itu ke kantor.”
Bukan Haura namanya kalau langsung menyerah dengan beragam perkataan ketus dan penolakan Banyu. Wanita berambut hitam legam itu bahkan langsung membawa tas bekal yang sudah ia siapkan ke meja makan. Tepat di dekat Banyu.
Wanita itu hanya menampilkan cengiran khasnya saat tatapan tidak suka Banyu layangkan kepadanya. “Dibawa ya, Mas Airku. Kalau enggak dibawa aku laporin ke Mama Aliya,” ancam Haura membuat Banyu melotot kepadanya.
“Jangan macam-macam ya kamu,” desis Banyu menatap Haura tajam. “Kamu seharusnya bersikap dewasa. Bukannya selalu mengadu kepada Mama.”
Haura mengangkat bahu tidak peduli. Meskipun setiap kata yang keluar dari mulut Banyu itu pedas untuk di dengar, Haura akan berusaha mengabaikan itu. Lagipula ia sendiri tidak mengerti mengapa Banyuadjie Nugraha yang terkenal pendiam dan dingin itu ternyata sangat cerewet saat bersamanya. Sifatnya berbanding terbalik dengan Banyu yang ada di kantor.
“Baru masalah bekal saja Mas langsung takut aku ngadu ke Mama. Bagaimana kalau aku ngadu ke Mama terkait kita yang belum pernah-”
“Jangan pernah ungkit itu, Haura!” Mata Banyu semakin menyorot tajam sosok Haura yang masih berdiri di dekatnya. Lelaki itu kemudian berdiri dengan rahang mengetat. Mulutnya terkatup.
“Mati kau, Haura! Kau sudah membuat air yang tenang mengeluarkan riaknya.” Batin Haura.
“Kamu pergi sendiri. Saya ada kerjaan pagi ini.” Banyu segera meraih tas bekal berwarna hitam itu. “Jangan pernah mengungkit masalah itu lagi. Seharusnya kamu tahu itu adalah masalah kamar kita. Berhenti bersikap kekanak-kanakan.” Pria itu langsung pergi meninggalkan Haura yang masih terdiam menyaksikan punggung tegap pria itu.
Sesaat kemudian tubuhnya luruh begitu saja di kursi makan. Satu tangannya mengepal di atas meja sementara tangan yang lainnya memukul-mukul dada yang begitu mencekik dirinya. Rasa sesak dan sakit itu sangat menyiksa dirinya. Ia mencoba untuk menahan air mata yang memaksa untuk keluar.
Lalu ia segera mengangkat wajahnya, mengipas-ngipaskan matanya agar air mata itu tidak jadi keluar. “Ayo dong, Ra, kendalikan air matamu ini. Jangan sampai jebol. Sebentar lagi kamu harus ke kantor.” Sembari mengipas-ngipaskan tangannya ia juga mencoba mengatur napasnya.
Beberapa menit kemudian, saat ia merasa sudah lebih lega, ia segera beranjak berdiri. Namun, matanya tiba-tiba melihat gelas kopi yang yang hanya Banyu minum sedikit tadi. Lelaki itu tidak pernah menyisakan kopi seperti ini sebelumnya. Haura tahu perkataaannya itu membuat hati Banyu menjadi buruk. Akan tetapi, fakta bahwa ia belum pernah disentuh Banyu dan cibiran pria itu yang mengatakan dirinya kekanak-kanakan membuat Haura sengaja membalas perkataan Banyu.
Tiba-tiba ponsel yang berada di saku apronnya bergetar. Haura segera meraih ponselnya itu. Sebuah pesan dari Ullya masuk.
Ra buruan datang. Tadi ada pesan dari Pak Daffa, katanya Pak Banyu minta laporan final Green House yang kemarin belum sempat kita selesaikan.
Belum sempat Haura membalas, Ullya kembali mengirimkan pesan padanya.
Katanya ditunggu jam 10 ini.
Mata Haura reflek melihat jam dinding yang terpajang manis di ruang makan. Tinggal lima belas menit lagi sebelum jam kantor dimulai. Haura menghela napasnya. Pertengkaran kecil tadi pagi membuat Haura rasanya malas untuk bekerja. Apalagi ia harus berhadapan lagi dengan Banyu nanti di kantor.
“Nasib… nasib. Dikira menikah dengan bos akan menyenangkan seperti di novel-novel atau drakor, ternyata aslinya tidak seindah itu.” Haura berjalan gontai menuju kamarnya. Membayangkan wajah kaku dan mata tajam Banyu membuat Haura seketika ingin menghilang dari bumi sejenak.
“Semangat! Semangat Haura. Buktikan ke Mas Air kalau kamu bisa diandalkan dan dibanggakan.” Tiba-tiba suntikan semangat itu memasuki dirinya. “Pak Banyu yang terhormat, I'm coming!”
...***...
Haura terus menunduk seolah lantai ruangan Banyu itu lebih menarik untuknya lihat. Ruangan yang rapi dengan aroma pinus itu seharusnya bisa menenangkan degup jantung Haura yang terus berirama tidak teratur sejak tadi. Air Conditioner yang membuat sejuk ruangan itu bahkan ikut serta membuat Haura panas dingin.
Di depannya Banyu memeriksa laporannya dari halaman per halaman dengan seksama. Sesekali Haura menatap Banyu yang raut wajahnya penuh keseriusan. Degup jantungnya semakin berdebar kencang. Jemarinya saling bertaut seakan sedang menyemangati satu sama lain.
“Kamu pikir rencana Green House ini hanya bercanda ya?” tanya Banyu dengan nada rendah. Namun, itulah yang membuat Haura semakin takut mengangkat wajahnya menatap Banyu langsung.
“Lihat saya, Haura.” Lagi, Banyu mengingatkan Haura dengan suara rendah tetapi begitu tegas. Pria itu kemudian menutup laporan Haura dengan kasar.
“Kamu tahu kata hi-jau dalam proyek baru ini bukan hanya sekedar pelengkap agar klien tertarik. Itu adalah komitmen kita, Haura. Seharusnya kamu tahu branding hijau yang yang kita tawarkan tidak sesederhana itu.”
Banyu melempar laporan itu ke hadapan Haura. “Mengapa zona resapan airnya kamu turunkan jadi 8%? Saya rasa kalau kamu tidak hanya sekedar ikut rapat tiga hari yang lalu, kamu seharusnya ingat bahwa RTH minimum di kawasan hijau yang menjadi syarat mutlak dari investor adalah 10% dari total lahan. Lalu kenapa sekarang jadi begini?”
Sorot tajam mata Banyu membuat Haura rasanya ingin kabur. Bukan karena ia enggan bertanggungjawab dengan laporan yang memang ia buat tanpa diperiksa itu, tetapi karena ia tidak sanggup berdiri di depan Banyu dalam keadaan yang kurang baik seperti ini. Sisa pertengkaran kecil mereka tadi saja masih menyisakan rasa sakit di hatinya, kini cara pria itu menatapnya seakan siap menerkam Haura hidup-hidup.
“Jawab saya, Haura! Jelaskan mengapa seperti ini? Laporan apa yang kamu buat? Atau kamu sebenarnya tidak bisa menangani proyek ini?”
“Maaf, Pak. Salah saya yang tidak mengingat itu saat rapat.”
Mata Banyu menatap Haura dengan penuh intimidasi. “Kalau kamu memang tidak bisa menangani proyek ini kamu bisa bilang sekarang, saya bisa menunjuk yang lain untuk menangani ini. Saya tidak mau kurang fokusnya kamu membuat proyek ini gagal total.”
Air mata Haura rasanya ingin segera keluar. Namun, itu tidak mungkin ia lakukan saat sedang bersama Banyu.
Tiba-tiba terdengar suara pintu dibuka. Haura reflek menoleh ke belakang dan mendapati Hania sudah masuk ke ruangan Banyu. Masuknya Hania membuat suasana mencekam itu menjadi lebih lenggang. Seperti biasa, gaya anggun dan kalemnya Hania membuat suasana hati yang tadi emosi menjadi tenang.
“Ini laporan yang tadi Bapak minta. Sekalian saya lengkapkan dengan daftar biaya yang sudah saya koordinasikan dengan bagian keuangan.” Hania meletakkan laporan itu di meja Banyu lalu ia berdiri di samping Haura.
Banyu meraih dokumen tersebut. Pandangannya lalu tertuju kepada Haura yang masih menunduk. “Kamu bisa keluar, Haura. Saya tunggu revisinya sebelum jam makan siang.”
Haura mengangkat wajahnya. Keputusan Banyu membuat wanita itu bisa bernapas lega. “Iya. Akan segera saya revisi, Pak.” Haura dengan sigap lalu mengambil alih laporannya dari meja Banyu. Saat matanya bertubrukan dengan mata Hania, dua sudut bibirnya tersenyum ramah. “Duluan ya, Han.”
Hania tersenyum sembari mengangguk. Senyuman itu teramat menenangkan. Haura rasa kehadiran Hania yang disebut-sebut mampu menenangkan suasana itu benar adanya. Karena gadis berwajah teduh itu, kali ini ia bisa selamat dari amarah Banyu.
Baru saja ia keluar dari ruangan Banyu, Daffa-asisten Banyu tersenyum cerah padanya. Haura pun mengernyitkan dahi karena bingung.
“Terima kasih ya, Ra.”
“Terima kasih untuk apa?” tanya Haura heran.
Daffa kemudian mengeluarkan sesuatu yang sangat Haura kenali. Itu tas bekal miliknya yang kemarin dibawa Banyu. Namun, mengapa ada pada Daffa?
“Ini lunch box yang kemarin.” Daffa menyerahkan tas bekal tersebut kepada Haura.
Haura terdiam. Ia mencoba mencerna kemungkinan yang menghantamnya kuat. “Maksud kamu, setiap hari Pak Banyu selalu memberikan bekal yang saya siapkan itu untuk kamu, ya?” tanya Haura berharap Daffa akan menggeleng cepat.
Ia sangat berharap kemungkinan buruk itu segera ditepis Daffa. Meski kecil, setidaknya itu bisa membuatnya lega. Namun, pria di hadapannya justru menatapnya bingung. Rasanya Haura benar-benar ingin menghilang seketika.
"Apakah selama ini bekal yang aku siapkan memang selalu Daffa yang makan?" lirihnya dalam hati. Seketika hatinya berasa ditusuk dengan banyak jarum.
*
*
*
Karya baru untuk semangat baru. Terima kasih yang sudah mampir. Jangan lupa tinggalkan jejak kalian ya :)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments
Teti Hayati
Yaudah.. mulai sekarang jangan kasih mas Air mu mkan siang lagi, kasih ja langsung ke Daffa..
2025-08-07
1