Cerita ini sepenuhnya adalah fiksi ilmiah berdasarkan serial anime dan game Azur Lane dengan sedikit taburan sejarah sesuai yang kita semua ketahui.
Semua yang terkandung didalam cerita ini sepenuhnya hasil karya imajinasi saya pribadi. Jadi, selamat menikmati dunia imajinasi saya😉
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tirpitz von Eugene, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Malam itu angin berhembus dari arah laut, membawa serta hujan yang telah lama di nantikan oleh para petani di kota itu. Tirpitz sedang asyik membaca sebuah buku yang ia dapatkan dari salah satu rekannya yang merupakan awak kapal HMS Prince of Wales di balkon kamar tidur nya.
Takumi terlihat sedang bermain permainan tradisional khas kampung halamannya bersama Farel. Sebuah permainan papan yang tampak seperti sebuah catur, namun dengan gaya khas Jepang era Shogun.
Oh iya, saya lupa menceritakan tentang latar belakang Farel. Dia adalah keponakan Tirpitz dari ibunya, ibu mereka adalah kakak beradik dari tujuh bersaudara. Pemuda ini sangat menggemari dan antusias pada hal-hal berbau pelaut. Pada masa perjuangan, Farel adalah salah satu pejuang Indonesia yang sangat aktif dalam hal berdiplomasi dengan para petinggi militer Dai Nippon.
Awal perjalanannya menjadi seorang pelaut tidaklah semudah yang orang lain kira. Ia tak pernah mendapatkan restu dari kedua orangtuanya, bahkan jika tentara Dai Nippon menjemput nya secara paksa dari tempat kediamannya di sebuah perkampungan pelosok jauh di sebelah tenggara kota Semarang.
Namun semua itu berubah saat Tirpitz datang bersama laksamana muda Maeda. Setelah mengalami perdebatan panjang hingga Tirpitz berjanji kepada kedua orangtuanya secara pribadi, bahwa Tirpitz akan menembak dirinya sendiri apabila ia gagal dalam menjaga keselamatan keponakannya itu.
Pada akhirnya, kedua orangtuanya mengikhlaskannya untuk ikut bergabung dalam angkatan Laut kekaisaran Jepang. Di dalam angkatan Laut kekaisaran, Farel memegang jabatan yang sangat penting. Ia adalah perwira eksekutif bagian baterai persenjataan utama. Dalam debut pertamanya melawan armada asing di teluk Leyte, ia berhasil memimpin semua kru persenjataan dan menenggelamkan total sepuluh kapal asing tanpa mengalami tembakan balasan!
Kegemilangan nya dalam memimpin mendapatkan apresiasi tertinggi dari pemerintah pendudukan Jepang di Hindia Belanda, bahkan sang kaisar sendiri pernah mengundangnya untuk berlibur di istana di kota Kyoto, Jepang. Di atas geladak, ia mendapatkan julukan sebagai 'sang eksekutor berdarah dingin' karna perintahnya menenggelamkan kapal armada asing yang telah menyerah dan melarikan diri dari pertempuran.
Hal ini menimbulkan rasa hormat dan segan diantara para pelaut dan petinggi angkatan Laut kekaisaran, bahkan laksamana Chūichi Nagumo sendiri pernah bersujud meminta pengampunan dihadapan nya akibat ketidakmampuan nya dalam memimpin kapal induk Akagi di pertempuran Midway kedua. Meskipun tinggi badannya hanya 165 cm, sifatnya yang tak pandang bulu membuatnya sangat mudah menghunuskan katana dan menebas siapapun yang melawan perintahnya. Petinggi angkatan Laut kekaisaran bahkan sampai mengeluhkan sikap Farel yang mengharuskan mereka untuk merekrut kru persenjataan baru setiap kapal tempur Yamato singgah di pelabuhan.
Dalam sebuah perdebatan sebelum operasi terakhir melawan armada asing, Farel hampir saja memenggal kepala laksamana Yamamoto karna pendapatnya mengenai posisi kapal tidak digubris oleh sang laksamana. Beruntung kengerian itu tidak terjadi setelah Tirpitz melerai mereka dengan mencabut pin sebuah granat yang ia tempelkan di dadanya.
***
Di tengah ketenangan malam itu, tiba-tiba telepon berdering kencang. Takumi segera pergi untuk mengangkat telepon. Ternyata yang menelepon adalah panglima angkatan bersenjata republik. Tirpitz segera pergi setelah Takumi memanggilnya dan mulai mendengarkan perkataan yang disampaikan panglima.
Sejurus kemudian sirine peringatan serangan udara melengking di kejauhan. Beberapa penjaga villa segera berhamburan keluar dari asrama mereka di salah satu sudut area villa untuk mulai mengoperasikan baterai pertahanan udara. Ternyata telepon tadi adalah peringatan akan adanya serangan udara.
Di kejauhan nampak ledakan-ledakan besar disusul suara desingan mesin jet yang meluncur, menciptakan pemandangan penuh kengerian.
"Hubungi doktor Jansen," ujarnya pada Takumi setelah menutup telepon dari panglima, "saya akan mencoba menghalau mereka dengan kekuatan kubus kristal."
Tirpitz segera berlari kencang menuju balkon dan tanpa basa-basi langsung melompat terjun ke bawah. Ia berhasil mendarat dengan aman lalu berguling diatas tanah sebelum akhirnya lanjut berlari menghampiri salah satu baterai Flak 88mm yang disumbangkan oleh angkatan bersenjata Jerman.
Ia segera mengeluarkan kubus kristal dari kantong jaketnya. Kubus itu mulai aktif setelah telapak tangan Tirpitz menyentuhnya. Suara berbisik kembali terdengar di telinga Tirpitz.
"Apa ada yang bisa kami bantu, shikikan-sama?"
"Pinjamkan aku kekuatan kalian, bimbinglah baterai pertahanan udara ini." gumam Tirpitz membalas.
"Dengan senang hati, shikikan-sama!"
Tirpitz segera menyentuh kursi operator yang bertugas mengarahkan laras meriam ke targetnya. Sejurus kemudian seluruh bagian baterai itu memancarkan cahaya kebiruan lengkap dengan kilatan petir, hanya para operator yang tidak ikut memancarkan sinar itu.
"Setelah menarik pelatuk, segera lanjutkan penarikan pelatuk kedua," perintah Tirpitz kepada juru tembak meriam, "kita tak punya waktu mengisi ulang, biarkan kekuatan kubus ini yang mengisi ulang baterai dan membimbing tembakan mu."
Cahaya itu semakin terang, memancing perhatian pesawat-pesawat alien yang sedang menghujani kota dengan roket-roket mereka. Gerombolan pesawat jet itu segera melaju dengan kecepatan hampir dua mach. Bisikan itu memperingati bahwa total ancaman yang datang berjumlah lima belas pesawat.
Mekanisme pemutaran meriam segera bekerja, bahkan sebelum operatornya sanggup memutar tuas engkolnya. Ujung larasnya segera menghadap salah satu pesawat yang terbang paling depan dari formasi, jarak mereka hanya tersisa satu kilometer!
"Feuer!" seru Tirpitz kepada juru tembak dalam bahasa Jerman yang fasih.
Meriam segera meraung dan sebuah peluru berdaya ledak tinggi terlontar keluar darinya. Peluru itu segera melesat dengan kecepatan di luar nalar manusia, langsung menembus badan pesawat yang ditargetkan dan mengirimnya menghadap permukaan tanah tepat beberapa meter di depan gerbang villa.
Tirpitz segera menyerukan perintah kedua setelah baterai menargetkan pesawat selanjutnya. Nasib pesawat kedua pun sama, bahkan tembakan kali ini berhasil merontokkan sayap dua pesawat sekaligus!
Pesawat keempat dalam formasi segera berbelok untuk menghindari tembakan selanjutnya. Sayang baginya bahwa peluru yang dikirimkan untuk nya tepat memotong bagian yang seharusnya menjadi kokpit pesawat. Pesawat itu berputar-putar di udara sebelum akhirnya menabrak pesawat kelima yang sedang bermanuver menghindari nya di belakang.
Melihat formasi pertama pesawat sudah berhasil di tembak jatuh. Pesawat yang tersisa memilih untuk mundur dan kembali ke dalam awan. Sorak-sorai para kru baterai pertahanan udara segera menyambut kemenangan itu. Beberapa personil penjaga villa segera menghampiri bangkai pesawat pertama yang masih tertancap di jalan paving blok di depan gerbang villa.
Pesawat itu bentuknya aneh, dengan sayap canard yang menghasilkan bentuk pesawat seperti segitiga sama sisi. Tempat yang seharusnya menjadi kokpit pesawat ternyata tidak ada, hanya ada sebuah plat akrilik yang menutupi semacam mesin kecil yang merupakan mekanisme pengganti pilot.
Tirpitz segera jatuh terduduk di sebelah operator pengarah meriam. Matanya berkunang-kunang dan nafasnya tersengal-sengal. Farel segera mengangkatnya dengan di bantu operator pemuat peluru dan membawanya masuk ke dalam villa. Kubus ditangannya sudah kembali seperti sediakala, sinarnya sudah redup kembali.