**(anak kecil di larang mampir)**
Di tengah kepedihan yang membungkus hidupnya, Nadra mulai menjalani hari-hari barunya. Tak disangka, di balik luka, ia justru dipertemukan dengan tiga pria yang perlahan mengisi ruang kosong dalam hidupnya.
Arven, teman kerja yang selalu ada dan diam-diam mencintainya. Agra, pria dewasa berusia 40 tahun yang bersikap lembut, dewasa, dan penuh perhatian. Seorang duda yang rupanya menyimpan trauma masa lalu.
Dan Nayaka, adik Agra, pria dewasa dengan kepribadian yang unik dan sulit ditebak. Kadang terlihat seperti anak-anak, tapi menyimpan luka dan rasa yang dalam.
Seiring berjalannya waktu, kedekatan antara Nadra dan ketiga pria itu berubah menjadi lingkaran rumit perasaan. Mereka saling bersaing, saling cemburu, saling menjaga namun, hati Nadra hanya condong pada satu orang: Agra.
Keputusan Nadra mengejutkan semuanya. Terutama bagi Nayaka, yang merasa dikhianati oleh dua orang terdekatnya, kakaknya sendiri dan wanita yang ia cintai diam-diam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syahri musdalipah tarigan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
05. Di balik FOUNDATION
Jam dinding di ruang tengah berdetak pelan, menunjukkan pukul 13:00 siang. Di dalam kamar sempit yang hanya berukuran tak lebih dari tiga kali empat meter, Nadra berdiri di depan cermin kecil yang menggantung setengah hati di dinding kusam. Cermin itu bahkan tak menampilkan seluruh tubuhnya, hanya setinggi dadanya. Tapi itu cukup baginya untuk melihat jejak luka yang belum sempat sembuh.
Dengan tangan pelan, ia menyentuh lehernya yang kemerahan, bekas cengkeraman ayahnya masih membekas jelas, seperti bayangan tangan iblis yang tertinggal. Bibirnya mengecil, diam, menahan segala bentuk keluhan yang ingin keluar. Di dahinya, memar kebiruan muncul akibat benturan ke dinding tadi pagi. Sakit. Tapi bukan sakit yang baru.
Pelan-pelan, ia duduk di ujung kasur kecilnya, mengambil handsaplast dari kotak plastik berdebu. Ia menempelkan plester kecil itu di dahinya, mencoba menyembunyikan luka, seolah itu akan membuatnya terlihat baik-baik saja.
Untuk bagian leher, foundation murahan ia tuang ke telapak tangan. Ia oleskan dengan jari, meratakannya dengan cermat meski cermin kecil itu hanya menampilkan sebagian pantulan. Lapisan demi lapisan ia tutup, seperti biasa. Nadra bukan sedang merias diri, ia sedang menghapus jejak kekerasan, agar dunia tidak bertanya-tanya dan ia tidak perlu berbohong.
Setelah semua tertutup rapi, ia berdiri sejenak. Lalu menghela napas panjang, seperti ingin mengeluarkan semua sesak yang mengendap di dadanya.
"Harus kuat," gumamnya lirih, seolah berbicara pada bayangannya sendiri. "Kalau bukan aku yang jaga Ibu, siapa lagi?"
Ia meraih tas kecil berisi baju seragamnya, lalu menyampirkannya ke pundak. Satu langkah, dua langkah, Nadra membuka pintu kamarnya, dan keluar tanpa menoleh lagi.
Di luar, matahari menyengat, tapi Nadra menyambut panas itu dengan lebih tenang dari pagi tadi. Panas yang mengelupaskan kulit rasanya lebih bisa ditoleransi daripada bentakan yang mengelupaskan harga diri.
Langkah kakinya mantap. Setiap langkah terasa berat, tapi ia terus melangkah. Bukan karena ingin, tapi karena harus. Di sepanjang jalan, orang-orang lalu lalang. Mereka melihat Nadra sebagai gadis biasa. Rambut diikat rapi, wajah tak terlalu cerah tapi cukup pantas. Mereka tidak tahu apa yang tersembunyi di balik lapisan foundation. Mereka tidak tahu luka macam apa yang hari ini Nadra kenakan sebagai bagian dari rutinitas.
Tak sampai satu jam berjalan kaki, dengan langkah pelan namun konsisten, Nadra akhirnya sampai di depan kafe tempatnya bekerja. Bangunan dua lantai bergaya minimalis itu tak berubah, masih ramai di siang hari oleh pelanggan yang datang dan pergi. Angin siang bertiup ringan, menyapu peluh di pelipisnya. Tangannya terulur untuk membuka pintu kaca. Namun sebelum ia menyentuh gagang pintu, suara familiar terdengar dari belakang.
"Nadra!"
Ia menoleh. Arven, dengan jaket terbuka dan helm yang baru saja dilepas, tengah memarkirkan motor vixion hitam miliknya. Di tangan kirinya ada bungkusan plastik bening berisi minuman segar, warnanya mencolok, merah muda dengan potongan jelly di dalamnya.
Arven cepat-cepat mendekat. "Pas banget, aku baru beli tadi. Kayaknya kamu suka yang dingin-dingin begini, kan?"
Nadra tersenyum kecil. "Kok tahu?"
Arven menyeringai. "Naluri pria peka."
Mereka masuk bersama ke dalam. Suasana kafe masih tenang, belum terlalu ramai. Di ruang loker, Nadra membuka pintunya, mengeluarkan seragam yang akan ia kenakan.
Tanpa banyak basa-basi, Arven menyodorkan minuman tadi. "Coba dulu, segar kok. Aku suka yang ini, jadi kupikir kamu juga bakal suka."
Nadra menerimanya, mencicipi. "Enak," gumamnya jujur.
Tapi Arven belum selesai. Ia merogoh saku jaketnya, mengeluarkan sebuah botol kecil parfum, bentuknya mungil dan elegan.
"Ini juga buat kamu," katanya sambil meletakkan di rak loker Nadra.
Nadra spontan menggeleng. "Loh, nggak usah, Arven."
"Udah, aku kemarin kebanyakan beli," sahut Arven, setengah tertawa. "Teman SMA jualan, aku nggak enak nolak. Jadi sekarang cari korban buat ngabisin stok."
Nadra terkekeh kecil, walau dalam hati ia tahu, perhatian kecil seperti ini berarti besar untuknya. Namun sebelum ia sempat menjawab lebih jauh, suara langkah cepat masuk ke ruang loker.
"Eh," suara nyaring terdengar.
Wajahnya cantik, seperti biasa. Riasan tipis tapi terlihat mahal. Cynthia tersenyum tips, namun tidak ramah. Tanpa izin, tangannya langsung meraih botol parfum di rak Nadra, membuka tutupnya, dan menyemprotkan ke bajunya sendiri. Wangi segar memenuhi udara loker.
"Thanks ya, Arven," katanya dengan senyum miring, lalu berbalik cepat keluar dari ruangan tanpa menoleh lagi.
Hening sejenak, hanya terdengar suara minuman jelly bergoyang di gelas plastik Nadra. Arven tampak kesal. Ia langsung hendak mengejar Cynthia, tapi tangan Nadra menahan lengannya.
"Udah, nggak usah, Ven," katanya pelan, namun tegas.
"Tapi itu buat kamu. Dia seenaknya aja..."
Nadra menggeleng kecil. "Bukan soal parfumnya. Aku nggak kehilangan apa-apa. Toh, wangi atau nggak, aku tetap bisa kerja."
Arven memandang Nadra sesaat. Ada ketenangan dalam cara bicara gadis itu. Tapi ia juga tahu, di balik tenang itu ada banyak luka yang disembunyikan.
Arven akhirnya berkata pelan, "Kalau gitu, nanti aku bawain yang baru. Tapi yang ini, yang lebih mahal. Biar nggak bisa seenaknya diambil orang."
Nadra mengangguk sambil tersenyum. "Aku tunggu, asal jangan beli lima botol, ya."
Keduanya tertawa kecil. Tawa yang tipis, tapi cukup untuk mengisi ruang sempit yang baru saja dipenuhi ego seseorang.
^^^^^
Malam mulai menua, waktu hampir menunjukkan pukul sembilan malam. Beberapa pelanggan sedang menghabiskan minuman mereka, dan suasana menjadi jauh lebih tenang. Nadra sibuk membersihkan meja, mengelap bekas minuman, mengatur ulang sendok, gelas, dan piring kecil.
Suara sepeda motor sport yang mendekat memecah kesunyian malam itu. Suaranya berat, khas, dan terdengar jelas meski dari dalam kafe. Nadra otomatis menoleh ke arah dinding kaca yang membentang di depan. Lampu dari luar menciptakan siluet seorang pria yang tengah memarkirkan motornya.
Langkah Nadra terhenti. Tatapannya tak berkedip.
Tinggi, tegap, mengenakan jaket kulit hitam yang terbuka sebagian. Ia melepaskan helmnya perlahan, memperlihatkan wajah tampan dengan garis tegas. Dingin, tegas. Seperti seseorang yang membawa cerita panjang di balik diamnya.
Tatapan mereka bertemu. Sekilas, tapi cukup untuk membuat Nadra menggigil. Mata pria itu menusuk. Bukan karena marah, bukan karena sombong. Tapi karena ada kekosongan di sana, seperti malam yang kehilangan bintang. Nadra tak tahu kenapa, tapi jantungnya berdetak lebih cepat. Ia buru-buru memalingkan wajah, membawa gelas-gelas kotor ke arah dapur. Begitu ia mendorong pintu dapur, Arven langsung menyadari sesuatu dari cara jalannya yang lebih cepat dari biasa.
"Eh, kenapa? Panik amat?" tanya Arven, masih sibuk menyeka loyang bekas makanan.
Nadra meletakkan gelas di wastafel, lalu berbalik pelan. Wajahnya agak pucat, tapi matanya memancarkan keheranan yang ia sendiri tak bisa jelaskan.
"Aku, tadi nggak sengaja tatapan sama cowok yang baru datang," ujarnya pelan. "Entah kenapa, serem banget."
Arven mengangkat alis. "Serem? Emang kenapa?"
"Tatapannya dingin banget, kayak, kayak bukan orang biasa."
Arven tertawa pelan, terdengar geli. Lalu, dengan rasa penasaran, ia berjalan menuju tirai kecil dapur, mengintip ke ruang depan kafe. Ia melihat pria itu duduk sendiri di pojok ruangan, membuka ponsel, dan tampak hanya memesan kopi.
Arven berbalik. Nadra masih berdiri di tempat, seolah menunggu penilaian darinya.
"Halah, Dra," Arven berjalan mendekat, lalu mengacak rambut Nadra dengan lembut, menyebabkan beberapa helaian terlepas dari ikatan rambutnya. "Cuma orang capek itu. Mungkin tadi habis kerja, makanya mukanya kayak batu."
Nadra menunduk, membenarkan ikatannya lagi. "Tapi tetap aja, aku ngerasa aneh aja liatnya."
Arven diam sejenak, menatap Nadra dengan ekspresi lebih serius kali ini. "Kadang orang yang kelihatan dingin, bukan karena jahat. Tapi karena udah terlalu sering dipaksa kuat. Jadi, matanya lupa caranya tersenyum."
Nadra menoleh, sedikit heran dengan kalimat itu. Ada kedalaman dalam ucapan Arven yang tak biasa.
"Arven, kamu ngomong kayak gitu, kayak pernah ngerasain."
Arven tersenyum tipis. "Bisa jadi. Tapi sekarang bukan soal aku. Kalau kamu takut, aku temenin sampai dia pergi."
Nadra menoleh ke Arven, senyum tipis tersungging di bibirnya, tapi tidak menyembunyikan nada tegas dalam ucapannya. "Ven, aku bukan anak kecil. Nggak perlu ditemani segala."
Arven tertawa pelan, mengangkat tangan tanda menyerah. "Oke, nona dewasa. Tapi kalau tiba-tiba kamu lari ketakutan, jangan salahkan aku karena nggak ikut bantuin."
Nadra mendengus kecil, tak membalas, hanya kembali sibuk dengan gelas-gelas yang harus segera diantar.
...Bersambung........