Di tengah hiruk pikuk kota Jakarta, jauh di balik gemerlap gedung pencakar langit dan pusat perbelanjaan, tersimpan sebuah dunia rahasia. Dunia yang dihuni oleh sindikat tersembunyi dan organisasi rahasia yang beroperasi di bawah permukaan masyarakat.
Di antara semua itu, hiduplah Revan Anggara. Seorang pemuda lulusan Universitas Harvard yang menguasai berbagai bahasa asing, mahir dalam seni bela diri, dan memiliki beragam keterampilan praktis lainnya. Namun ia memilih jalan hidup yang tidak biasa, yaitu menjadi penjual sate ayam di jalanan.
Di sisi lain kota, ada Nayla Prameswari. Seorang CEO cantik yang memimpin perusahaan Techno Nusantara, sebuah perusahaan raksasa di bidang teknologi dengan omset miliaran rupiah. Kecantikan dan pembawaannya yang dingin, dikenal luas dan tak tertandingi di kota Jakarta.
Takdir mempertemukan mereka dalam sebuah malam yang penuh dengan alkohol, dan entah bagaimana mereka terikat dalam pernikahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon J Star, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hal yang Paling Aku Benci
"Revan, sudah siap uang yang kemarin kubilang?" Bimo yang juga merupakan anak dari seorang bos preman, mengayunkan rantai perak di tangannya berputar-putar seraya mendekat dengan senyum yang tidak ramah.
Pak Rahmat panik, lalu berdiri di depan Revan dan berseru. "Bimo, kalian jangan keterlaluan! Meskipun ayahmu Pak Gino yang menguasai daerah ini, hak apa yang kalian punya untuk menarik uang keamanan?! Pak Gino sendiri sudah lama bilang, kalau yang tidak punya toko tidak perlu bayar uang keamanan. Apa kalian pikir kami tidak tahu itu?!"
Ayah Bimo merupakan salah satu bos preman di wilayah Jakarta Barat. Kalau tidak, Bimo tentu tidak akan seenaknya berkeliling menagih uang keamanan. Saat mendengar Pak Rahmat menggunakan nama ayahnya untuk menekannya, tatapan mata Bimo tiba-tiba menjadi dingin, "Dasar orang tua, siapa dirimu sebenarnya. Kamu pikir aku akan takut, hanya karena kamu menyebut ayahku? Itu ayahku, bukan kakekmu! Aku menagih uang keamanan itu karena aku menghargai kalian! Jangan menolak tawaran baik jika tidak mau terima akibatnya!"
"Kamu..." Pak Rahmat baru sadar setelah bicara, hampir saja menyinggung Pak Gino. Bagaimanapun mereka berdua adalah ayah dan anak, sementara dia bukan siapa-siapa. Tapi pak Rahmat tidak bisa menahan diri lagi untuk melindungi Revan. Tepat ketika hendak membantu berbicara atas nama Revan, ia malah ditarik mundur oleh Revan yang berdiri di belakangnya.
Revan mengernyitkan dahi, dan mengusap dahinya menghadapi masalah ini. Setelah menarik Pak Rahmat mundur, ia dengan datar berkata kepada Bimo, "Namamu Bimo, kan? Aku panggil bos Bimo saja. Jangan cari gara-gara lagi, aku ini orangnya tidak suka masalah. Hari ini aku tidak punya uang tunai, beberapa hari lagi akan kuberi dan kalian bisa pulang dulu."
"Wuahahahaha!" Salah satu anah buah Bimo tertawa keras, "Bos Bimo, orang ini pikir dia bosnya!? Dia pikir kami akan pulang begitu saja karena dia suruh?"
Preman-preman lainnya juga tertawa terbahak-bahak, bahkan bersorak "Hahaha... hajar saja orang ini."
Seolah-olah Bimo juga mendengar lelucon paling lucu di dunia, tetapi dalam hatinya benar-benar marah oleh perkataan Revan. Ia tersenyum jahat dan berkata, "Revan, kalau kamu berani, ulangi lagi. Apa kamu percaya kalau lidahmu akan kupotong." Di akhir perkataan itu, ada niat membunuh yang jelas.
Ekspresi cuek Revan tiba-tiba berubah sedikit dingin, dan saat menatap Bimo dengan tatapan rumit, ia berkata, "Kamu tahu apa yang paling aku benci?"
"Ap..."
Belum sempat Bimo menyelesaikan perkataannya, tiba-tiba tubuhnya terbang tinggi di udara! Seketika itu pula, ia merasakan sakit teramat sangat di perutnya.
Brak!
Tubuhnya kemudian menghantam tempat sampah pinggir jalan yang berisi sisa-sisa sayuran, daun dan ikan menutupi seluruh tubuhnya, bahkan pakaiannya basah oleh air busuk!
"Aku paling benci diancam!"
Seolah hanya mendorong ringan, Revan kini masih berdiri di tempat Bimo sebelumnya sambil menarik kembali tangannya yang tadi diulurkan.
Bimo benar-benar linglung oleh dorongan dan benturan keras itu. Pada saat yang sama, ia merasakan darah ke luar dari mulut dan hidungnya. Bau busuk sampah menusuk hidung, yang menyebabkannya muntah seketika!
"Pria kurang ajar, berani sekali memukul bos Bimo. Cari mati rupanya!!"
"Hajar saja dia sampai mati!"
Beberapa preman tampaknya belum sepenuhnya memahami situasi dengan jelas. Namun saat melihat bosnya dipukuli, mereka langsung bereaksi tanpa pikir panjang. Mengandalkan jumlah yang banyak, mereka tidak sempat mempertimbangkan bagaimana Revan bisa melakukan itu semua. Seperti kawanan lebah yang marah, mereka menyerbu sambil melayangkan tinju dan tendangan secara membabi buta ke arahnya.
Revan hanya menatap mereka dengan malas, tidak peduli bagaimana mereka menyerang. Semua gerakan mereka dengan mudah ia tangkap dengan tangan, lalu satu per satu dilemparkannya ke pinggir jalan.
Para preman itu hanya sempat merasakan tangan atau kaki mereka dicengkeram oleh kekuatan luar biasa, sebelum tubuh mereka terangkat dan terlempar tanpa bisa melawan. Dalam sekejap mereka membentur keras ke tanah dan langsung mengerang kesakitan, bahkan beberapa mulai menangis karena kesakitan.
Semua orang bisa melihat dengan jelas, bahwa Revan sama sekali tidak terluka. Saat itulah mulai sadar, mereka sama sekali tidak sebanding dengannya. Bahkan Bimo yang baru saja merangkak keluar dari tumpukan sampah, mulai berkeringat dingin. Ia pernah melihat kemampuan beberapa mantan pasukan khusus yang dulu bekerja untuk ayahnya. Orang-orang itu adalah andalan ayahnya dalam perkelahian, mereka bisa menghadapi sepuluh orang sekaligus tanpa kesulitan. Tapi Revan, kekuatan dan kecepatannya jauh melampaui mereka. Hanya dalam sekejap, ia bisa melemparkan enam orang sekaligus seolah-olah mereka hanyalah kucing dan kambing. Meski para preman itu mungkin tidak pernah belajar seni bela diri secara resmi, mereka tumbuh dalam dunia perkelahian dan bukan lawan sembarangan. Tapi di hadapan Revan, mereka benar-benar tampak tidak berdaya.
"Ayo pergi!" Meskipun Bimo sangat marah hingga menggertakkan gigi, ia harus menyelamatkan mukanya. Saat melihat ekspresi tenang di wajah Revan, Bimo merasa seperti melihat sesuatu yang menakutkan seperti hantu dan buru-buru memerintahkan pengikutnya untuk lari.
Pak Rahmat dan beberapa orang yang menyaksikan kejadian itu terpukau melihat kemampuan Revan dan suasana langsung riuh oleh sorakan. Para preman tanggung itu memang sudah terbiasa menindas dan membuat resah, sementara para pedagang lain hanya bisa diam karena takut. Maka ketika Revan berani melawan, keberaniannya seperti mewakili suara hati mereka hingga membuat semua orang merasa puas.
Meski begitu, mereka tetap menjaga jarak dari Revan. Bukan karena takut pada Bimo, tetapi karena takut pada ayahnya yang dikenal berbahaya. Mereka khawatir jika Pak Gino muncul untuk membalas, siapa pun yang terlalu dekat dengan Revan bisa ikut terseret masalah.
Dengan wajah berbinar, Pak Rahmat mendekat sambil berkata. “Wah wah wah... Nak Revan, bapak benar-benar tidak menyangka kamu begitu jago berkelahi. Apa kamu pernah belajar bela diri sebelumnya?”
“Iya, cuma belajar sedikit,” jawab Revan singkat tidak ingin membahas lebih jauh. Kenyataannya, kalau saja Bimo tidak begitu keterlaluan dan tidak memaksa sisi gelap dalam dirinya muncul. Revan mungkin akan memilih diam, bahkan jika harus dipukuli sampai babak belur. Tapi seperti yang dikatakan tadi pada Bimo, ia punya prinsip yaitu paling benci diancam! Mungkin keanehan semacam ini adalah sesuatu yang tidak bisa benar-benar hilang, seberapa pun ia mencoba hidup sederhana dan rendah hati. Karena pada dasarnya, ia adalah seseorang yang punya harga diri sebagai pria kuat.
Pak Rahmat melihat raut wajah Revan yang enggan melanjutkan pembicaraan, maka ia pun tidak memaksanya. Namun nada suaranya berubah cemas saat bertanya, “Nak Revan, kamu memang sudah berhasil mengalahkan Bimo. Tapi bagaimana kalau dia memanggil ayahnya, apa yang akan kamu lakukan? Kamu harus tahu, Pak Gino itu bukan orang biasa. Dia bagian dari salah satu dari dua geng besar di wilayah barat, yaitu Perkumpulan Bara Barat dan dia juga tokoh penting di dalamnya. Di daerah sini, hampir tidak ada yang berani menantangnya!”
’Perkumpulan Bara Barat ya.’ Revan hanya tertawa kecil, sama sekali tidak menunjukkan rasa takut. Lalu tanpa ragu ia menoleh ke Pak Rahmat dan berkata santai, “Ada rokok, Pak?”
Melihat ekspresi Revan yang begitu tenang dan acuh, Pak Rahmat hanya bisa menghela napas dengan cemas. Saat Revan meminta rokok, ia tersenyum getir dan menegur, “Nak, bukankah kamu bilang mau berhenti merokok?”
“Lupakan itu Pak, aku tidak jadi berhenti,” ujar Revan sambil tertawa pendek. “Aku tidak terbiasa tidak merokok setelah memukuli orang.”
Dalam hati, Revan diam-diam menghela napas. Ia sama sekali tidak menyangka, kalau Pak Gino ternyata bagian dari Perkumpulan Bara Barat. Awalnya memang berniat menjaga jarak dari dunia gelap semacam itu, itulah mengapa ia tidak mau terlalu dekat dengan Risa. Tapi sekarang tanpa sadar, ia sudah berdiri tepat di garis depan masalah.
Pak Rahmat pun merogoh saku bajunya, mengeluarkan sebungkus rokok murah bermerek Rokok Rakyat seharga enam ribu rupiah per bungkus. Ia menyodorkan sebatang kepada Revan sambil bergumam, “Orang susah, ya pilih yang murah. Tapi ini kuat, lumayanlah buat diisap kan?”
Revan menerima rokok itu, menyalakannya dan mengisap dalam-dalam dengan ekspresi puas. “Ssshhh…” hembusannya panjang. Senyum lebar mengembang di wajahnya. “Benar, yang kuat memang lebih enak.”
Pak Rahmat ikut tersenyum, lalu menasihati dengan lembut, “Tapi anak muda harus kurangi merokok, tidak baik untuk kesehatan.”
Revan hanya membalas dengan senyum kecil, dalam hatinya berkata, ’Jika merokok bisa melukai tubuhku, maka selama bertahun-tahun ini aku telah menyia-nyiakan waktu berlatih seni bela diri.’
Setelah cukup beristirahat, mereka pun kembali bekerja. Revan mulai memanaskan sate ayamnya yang sudah matang, lalu memanggang yang masih mentah. Sebatang rokok masih terselip di ujung bibirnya, menjadi semacam sarapan baginya pagi itu. Meski pekerjaan ini kotor dan penuh asap, ia merasa senang dan puas. Sesekali, ia bahkan sempat melempar senyum pada pedagang lain di sekitarnya.
***
Tidak lama kemudian, sebuah mobil polisi melaju perlahan ke arah pasar, lalu berhenti tak jauh dari tempat Revan berjualan. Tiga orang turun dari dalamnya, dua polisi berseragam lengkap dan satu orang petugas dengan seragam putih.
Mereka berjalan tegap menuju Revan, wajah mereka serius dan tanpa senyum. Petugas yang memimpin langsung bertanya dengan nada dingin, “Apakah Anda Revan?”