Angelo, yang selalu menyangkal kehamilannya, melarikan diri setelah mengetahui bahwa ia mengandung anak Maximilliam, hasil hubungan semalam mereka. Ia mencari tempat persembunyian terpencil, berharap dapat menghilang dan menghindari konsekuensi dari tindakannya. Kehamilan yang tak diinginkan ini menjadi titik balik dalam hidupnya, memaksanya untuk menghadapi kenyataan pahit dan melarikan diri dari masa lalunya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fitri Novianti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Couvade syndrome.
Di dalam mobil, Janet dengan hati cemas menopang tubuh Maximilliam yang lemas. Air mata menggenang di pelupuk matanya saat melihat wajah pucat kakaknya, semakin memucat diiringi bulir-bulir keringat dingin yang terus muncul di dahinya. Napas Maximilliam terdengar sesak.
"Morgan, lebih cepat lagi!" pinta Janet, suaranya bergetar. Ia meremas erat tangan Maximilliam, berharap sentuhannya bisa memberikan sedikit kekuatan. Jantungnya berdebar kencang, setiap detik terasa begitu panjang.
Dengan tangan gemetar, Janet merogoh tasnya, jari-jarinya sulit menemukan ponselnya di antara barang-barang yang berantakan. Akhirnya, ia berhasil menghubungi Theodore. "Pa," suaranya terputus-putus, diselingi isakan, "Maximilliam... pingsan... di kantor... Dia... dia sangat pucat, Pa..." Tangisnya pecah.
Suara Theodore terdengar cemas dari seberang. "Di mana kalian sekarang, Janet? Rumah sakit mana yang kalian tuju?" Kekhawatiran jelas tersirat dalam suaranya.
"Kami menuju Rumah Sakit terdekat, Pa," jawab Janet, mencoba menenangkan diri. Ia kembali melirik Maximilliam.
"Baiklah, Janet. Papa akan menyusul," kata Theodore, suaranya terdengar lebih tenang setelah mengetahui keberadaan mereka.
Mobil berhenti mendesis di depan rumah sakit, rem berdecit nyaring memecah kesunyian malam. Setelah menelepon ayahnya, Morgan dan Janet bergegas keluar. Hawa dingin menusuk kulit mereka. Morgan, dengan langkah cepat, berlari menuju pintu masuk rumah sakit, mencari tenaga medis untuk membantu membopong Maximilliam yang terbaring lemah di kursi belakang mobil.
Dengan bantuan dua perawat, Maximilliam akhirnya terbaring di ranjang dorong, diangkut menuju ruang unit gawat darurat. Suara monitor jantung berdetak-detak memenuhi ruangan, menciptakan suasana tegang. Janet dan Morgan duduk di kursi tunggu yang dingin dan keras, mata Janet berkaca-kaca. Kecemasan tergambar jelas di wajahnya. Ia menggenggam erat tangan Morgan, jari-jarinya dingin dan gemetar.
"Apakah dia akan baik-baik saja, Morgan?" bisik Janet, suaranya bergetar menahan isak. Cahaya redup ruang tunggu menambah kesuraman suasana.
Morgan berusaha tegar, meskipun jantungnya berdebar kencang. "Tentu saja. Dia hanya kelelahan," jawabnya, suaranya sedikit gemetar, mencoba meyakinkan Janet dan dirinya sendiri. Namun, raut wajahnya tak mampu menyembunyikan kekhawatiran yang mendalam. Ia mengusap lembut tangan Janet, memberikan dukungan diam-diam. Waktu terasa berlalu begitu lambat, setiap detik terasa seperti berabad-abad.
Pemeriksaan Maximilliam berlangsung relatif cepat. Tak lama kemudian, ia dipindahkan ke sebuah ruangan perawatan yang nyaman, meski aroma khas rumah sakit masih terasa kuat. Hanya jarum infus yang masih tertancap di tangannya, memberikan gambaran singkat tentang kondisi kritis yang baru saja dialaminya. Wajahnya, meskipun masih pucat, kini tampak sedikit lebih segar, seulas warna kembali merekah di pipinya.
Sebuah ketukan pelan terdengar di pintu, disusul bunyi pintu yang berderit pelan saat terbuka. Theodore muncul, wajahnya dipenuhi kekhawatiran yang tak tersembunyi. Mata lelahnya langsung mencari Janet, seolah mencari jawaban atas pertanyaan yang telah berputar-putar di kepalanya.
"Janet," suaranya terdengar parau, "Apa yang dikatakan dokter? Apa kakakmu baik-baik saja?" Ia melangkah mendekat, langkahnya tergesa-gesa, menunjukkan betapa cemasnya ia akan kondisi putranya.
Janet menggeleng pelan, matanya berkaca-kaca. "Dokter hanya mengatakan Kakak kelelahan, Papa," jawabnya lirih, suara seraknya menggambarkan kelelahan dan keprihatinan yang ia rasakan. Ia menunduk, jari-jarinya masih mengepal erat, menahan air mata yang mengancam jatuh.
Theodore menghela napas lega, beban berat di dadanya sedikit berkurang. Meskipun lega, ketakutan masih menghantui pikirannya. Bayangan penyakit berbahaya yang mungkin diderita Maximilliam masih menghantuinya. Ia menghampiri ranjang Maximilliam, menatap putranya dengan penuh kasih dan kekhawatiran.
Beberapa saat kemudian, bulu mata Maximilliam berkedip pelan. Ia membuka matanya, pandangannya masih kabur, menatap langit-langit ruang rawat yang putih bersih. Bau menyengat disinfektan memenuhi rongga hidungnya, mengingatkannya akan tempatnya berada. Kebingungan tergambar jelas di wajahnya.
"Aku... aku di rumah sakit?" suaranya serak, hampir tak terdengar, mengucapkan pertanyaan yang telah terlintas di benaknya.
Theodore duduk di kursi samping ranjang, menatap putranya dengan penuh perhatian. "Kau pingsan, Nak," jawabnya lembut, suaranya penuh kelembutan dan kepedulian. "Adikmu, Janet, yang memutuskan membawamu ke rumah sakit. Dia sangat khawatir padamu."
"Apa kau baik-baik saja?" tanya Theodore lagi, suaranya dipenuhi rasa khawatir yang tulus. Ia mengulurkan tangan, menggapai tangan Maximilliam.
Maximilliam hanya menatap kosong ke depan, pandangannya hampa, seperti jiwa yang masih melayang. Pikirannya masih melayang, belum sepenuhnya kembali ke dunia nyata. Tubuhnya terasa lemas, seolah seluruh energinya telah terkuras habis.
Tiba-tiba, pintu terbuka, seorang dokter memasuki ruangan, langkahnya tenang dan terukur. Janet, yang sedari tadi menunggu di luar, telah memberitahu perawat bahwa Maximilliam telah sadar. Kedatangan dokter itu menandai dimulainya serangkaian pemeriksaan lanjutan.
Setelah pemeriksaan ulang yang teliti, dokter mendekat, senyum tipis menghiasi wajahnya. "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Tuan Maximilliam. Hanya kelelahan saja." Namun, suaranya terdengar sedikit ragu, mengamati ekspresi Maximilliam yang datar.
Maximilliam menatap dokter dengan tatapan kosong, suaranya datar tanpa emosi. "Tapi, selama dua bulan terakhir, saya selalu mual dan muntah setelah makan. Rasanya seperti makanan itu menolak untuk tinggal di perut saya." Ia berbicara dengan nada yang tenang, namun kata-katanya menyimpan keprihatinan yang terpendam.
Seorang perawat yang berdiri di samping dokter mendekat, pena dan buku catatan di tangannya siap mencatat setiap keluhan Maximilliam. Ia menulis dengan cermat setiap kata yang diucapkan Maximilliam, mencoba memahami detail gejala yang dialami pria tersebut.
Dokter kembali bertanya, suaranya lembut, "Apakah Anda juga mengalami gangguan tidur, Tuan Maximilliam?"
Maximilliam mengangguk singkat, "Ya, saya sulit tidur nyenyak."
Dokter melanjutkan, suaranya penuh perhatian, "Ada keluhan lain yang ingin Anda sampaikan?"
Maximilliam menghela napas pelan, "Kadang-kadang, saya merasakan nyeri di punggung dan perut. Rasa sakitnya datang dan pergi, berlangsung selama beberapa hari, lalu hilang, namun kemudian muncul kembali. Siklusnya seperti itu." Ia berbicara dengan suara datar, namun detail yang ia sampaikan menunjukkan adanya pola yang perlu diperhatikan. Dokter dan perawat saling bertukar pandang, mengevaluasi informasi yang telah mereka peroleh.
Dokter mengusap dagunya, raut wajahnya serius. Ia menatap Maximilliam dengan saksama, menimbang-nimbang kata-katanya. "Saya sedikit ragu dengan diagnosis awal saya, tetapi setelah mendengar keluhan Anda, saya menduga ini mungkin sindrom Couvade. Pernahkah Anda mendengar istilah tersebut?" Suaranya terdengar hati-hati, mencoba menyampaikan informasi yang kompleks dengan cara yang mudah dipahami.
Baik Maximilliam maupun Theodore yang berdiri di sampingnya mengerutkan dahi, wajah mereka dipenuhi kebingungan. Maximilliam menggeleng pelan. "Belum pernah, Dokter," jawabnya, suaranya masih datar, namun kini tersirat sedikit rasa penasaran.
Dokter menjelaskan dengan sabar, "Sindrom Couvade adalah kondisi di mana seorang pria yang pasangannya sedang hamil mengalami gejala fisik dan emosional yang mirip dengan kehamilan. Jadi, mungkin mual, muntah, perubahan berat badan, gangguan tidur, dan nyeri yang Anda alami, terkait dengan kondisi psikologis Anda sebagai calon ayah." Ia memberikan penjelasan sederhana, menghindari istilah medis yang rumit. "Gejala ini biasanya muncul karena stres, kecemasan, atau perubahan hormon yang dipengaruhi oleh kehamilan pasangan Anda. Namun, ini hanya dugaan awal. Kita perlu melakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikannya." Dokter memberikan senyum menenangkan, mencoba meredakan kekhawatiran Maximilliam.
Mendengar kata "kehamilan", tubuh Maximilliam terasa membeku seketika. Sebuah kilasan wajah Angelo, menghantui pikirannya. "Kehamilan?" gumamnya lirih, suaranya nyaris tak terdengar, namun cukup untuk didengar dokter dan keluarganya. Ia menatap dokter dengan tatapan kosong, pikirannya kacau balau.
Dokter mengangguk pelan, memahami keterkejutan Maximilliam. "Ya, Tuan Maximilliam. Apakah pasangan Anda, sedang hamil? Mungkin saja apa yang Anda alami adalah sindrom Couvade. Namun, untuk memastikannya, saya akan melakukan pemeriksaan laboratorium lebih lanjut besok. Hasilnya akan membantu kita menentukan diagnosis yang tepat." Dokter menjelaskan dengan nada lembut dan penuh pengertian.
Setelah penjelasan dokter, Maximilliam terdiam, wajahnya pucat pasi. Keheningan yang tiba-tiba itu memecah kesunyian ruangan, diganti oleh tatapan tajam dari Theodore dan Janet. Janet, dengan mata berkaca-kaca, memandang Maximilliam dengan penuh kecemasan dan kecurigaan. "Kak," suaranya bergetar menahan emosi, "Kau menghamili siapa?!" Tuduhannya tajam, menciptakan ketegangan yang mencekam di ruangan tersebut. Theodore mengamati putranya dan putrinya dengan ekspresi yang tak kalah tegang.
tmbh lg trauma msa lalu,pst bkin dia mkin down....mga aja max bsa bkin dia lbh smngt.....
lgian,udh ada ank sndri knp mlah adopsi????sukur2 kl ga iri pas udh dwsa,kl iri kn mlah bhya....
jgn blng kl goerge d jbak skretarisnya pke ssuatu,trs dia tau dn nyri istrinya????
tp mmdingn gt sih,drpd jd skandal....
kl angelo nkah sm max,brrti janet jd adik ipar....tp kn janet bkln nkah sm jacob,pdhl jacob pmannya angelo....
🤔🤔🤔
ppet trs smp angelo brsdia buat nkah sm max.....
janet bbo bareng sm jacob...enth bgaimna smp mreka bs brsma,mngkn krna trbwa suasana....
jgn2 janet bno bareng sm jacob?????