NovelToon NovelToon
Dion (1)

Dion (1)

Status: tamat
Genre:Romantis / Tamat / Cintapertama / Anak Yatim Piatu / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Murni / Anak Lelaki/Pria Miskin
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: K. Hariara

Selama empat generasi keluarga Dion mengalami fenomena 'tading maetek' atau ditinggal mati oleh orang tua pada usia dini. Tapi seorang yatim juga sama seperti manusia lainnya, mereka jatuh cinta. Dion menaruh hati pada seorang gadis dari keluarga berada dan berusia lebih tua. Cintanya berbalas tapi perbedaan strata sosial dan ekonomi membuat hubungan mereka mendapat penolakan dari ibu sang gadis. Dengan sedikit yang ia miliki, Dion tak cuma menghadapi stigma tapi juga perubahan zaman yang menuntut adaptasi, determinasi dan tantangan moral.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon K. Hariara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 4: Rumah Calon Mertua

Pagi itu, dengan kemeja biru muda kotak-kotak, denim coklat muda dan sepatu kanvas coklat tua Dion tiba di depan pintu gerbang rumah Wina. Tali hitam tas selempang tampak melintangi tubuhnya.

Seorang pria mengenakan seragam khas petugas keamanan berdiri sambil menggenggam handy-talky di samping Dion. Pria itu kemudian menekan bel lalu menunggu respons penghuni rumah.

“Rumah seperti ini hanya bisa dimiliki oleh saudagar kaya, bangsawan atau pejabat,” ujar Dion dalam hati terkagum-kagum memandangi rumah megah bercat putih bergaya kolonial itu.

Tak lama kemudian, seorang wanita muda tergopoh-gopoh membukakan pintu gerbang putih.

“Ini ada tamu untuk Mbak Wina,” kata petugas keamanan sedikit tegas.

Wanita muda itu kemudian mempersilahkan keduanya untuk duduk menunggu di teras lalu kembali masuk ke dalam rumah.

Sembari duduk, Dion memandangi halaman rumah Wina yang luas dan tertata rapi. Beberapa pohon cemara raksasa tumbuh menjulang dominan, menambah keasrian rumah itu.

“Celaka! Wina pasti berasal dari keluarga berada. Niatku pasti gagal,” keluhnya dalam hati yang mengecil menyadari perbedaan strata ekonominya dengan Wina.

Tak lama kemudian wanita muda tadi yang merupakan pekerja di rumah Wina kembali lagi.

“Ditunggu sebentar ya Mas, Mbak Wina-nya sedang mandi. Mas mau minum apa?” tanyanya pada Dion.

“Aku minta kopi, ya!”

Malah si petugas keamanan yang menjawab tawaran itu. Si Mbak kemudian memalingkan pandangannya pada Dion.

“Kalau mas?” tanyanya lagi pada Dion.

“Ya, kopi juga boleh, Mbak,” sahut Dion sambil mengangguk hormat.

Petugas keamanan yang duduk dekat pintu rumah asyik berkomunikasi melalui HT yang ia pegang sementara Dion duduk diam di sebelahnya, terpisah oleh meja kopi kecil.

“Pak Rinto! Dion!” sapa Wina yang muncul dari pintu dengan handuk membalut kepala pertanda ia baru saja mandi.

Dion membalas sapaan Wina dengan senyuman dan memandangi gadis itu dengan rasa senang.

Wina mengenakan daster berlengan pendek dan celana selutut yang mengekspos kulit putih mulus. Rambut yang digulung ke atas dan dibalut handuk juga mempertontonkan leher yang jenjang.

Tanpa riasan, wajah Wina malah tampak semakin cantik di mata Dion. Sekonyong-konyong hatinya berdebar. Dua minggu ia merindukan gadis itu.

“Mbak Wina, ini katanya ada yang mau memperbaiki komputer,” jelas petugas keamanan bernama Rinto itu bernada hormat.

“Iya Pak. Ini Dion temanku. Yuk, minum kopinya di dalam saja!” ajak Wina.

Dion pun beranjak sambil membawa cangkir kopi beserta tatakannya mengikuti Wina. Dion sedang melepas sepatu kanvasnya ketika Wina berkata pada petugas keamanan yang tak bergerak dari tempat duduknya, “Pak Rinto juga, yuk!”

“Saya di sini saja Mbak. Lagipula harus memonitor HT,” sahut Rinto.

Dion yang dipersilakan duduk kemudian meletakkan kopi di atas meja sebelum dengan perlahan menduduki sofa mewah beige di ruang tamu.

Dion memandangi seantero ruangan dengan kagum. Perabot-perabotnya tampak mewah. Hiasan-hiasan etnik beragam tergantung di dinding. Ada banyak foto-foto keluarga berbagai ukuran di antara hiasan itu.

“Bagaimana kopinya? Nggak kurang?” Wina memecah keheningan karena Dion masih saja terkagum-kagum.

“Ha? Kurang bagaimana? Lha, ini juga baru minum seteguk,” sahut Dion.

“Kurang manis, kurang banyak, kurang panas atau barangkali kekurangan lain?” Wina memperjelas pertanyaannya sambil tersenyum.

“Nggak, Kak. Ini sudah pas,” jawab Dion sekenanya.

“Tunggu ya! Aku mau ambil jus di dapur,” ujar Wina lalu beranjak menuju ruang lain yang letaknya tidak diketahui Dion.

“Nggak usah, Kak. Kopi ini saja!” Dion hendak mencegah Wina.

“Eh! Jusnya buatku. Bukan untuk Dion,” jelas Wina yang menghentikan langkah sambil tersenyum geli.

Dion yang merasa malu hanya bisa menggaruk-garuk kepala dan sedikit menundukkan kepala. “Ke-geer-an aku ya, Kak?” gumamnya lirih. Wina tertawa mengeluarkan suara renyah lalu melanjutkan langkah yang sempat terhenti.

Sepeninggal Wina, Dion menyumpahi dirinya sendiri. “Aduh, bodoh sekali kau Dion!” gerutunya dalam hati.

Tak sampai semenit Wina sudah kembali dengan memegang gelas tinggi yang berisi jus berwarna jingga. Sambil meneguk minuman, Wina merendahkan tubuhnya menduduki sofa yang berseberangan dengan Dion.

Wajah Wina tampak meringis. Ia seolah-olah ingin mendekatkan mulut dan hidung sambil memicingkan mata dengan kencang.

“Dingin sekali,” keluh Wina lalu menggetarkan wajah mengisyaratkan kekagetannya akan suhu minuman.

Menyaksikan itu, Dion sedikit melupakan rasa malu yang tadi menerpa. Ia menarik napas melalui gigi-giginya seolah juga merasakan dinginnya minuman di tangan Wina.

Ia mencermati reaksi wajah gadis itu. Harus diakuinya, ia merasa senang melihat setiap tingkah atau reaksi Wina.

“Beginilah kalau orang dilanda rindu,” lamun Dion sembari memperingatkan dirinya agar jangan berpikir macam-macam tapi justru tak sadar telah memandangi Wina untuk beberapa saat.

“Kenapa lihat seperti itu? Dion mau juga jusnya?” tanya Wina menyadarkan Dion. Untuk kedua kalinya pagi itu Dion kembali dilanda rasa malu.

“Nggak kok. Eh iya, komputernya di mana, Kak?” tanya Dion kemudian.

“Ada di kamarku di atas. Dion se habis jo dolo tu kopi!” jawab Wina setengah berdialek Manado.

Dion lalu meneguk habis kopi panas dari cangkir yang berukuran kecil. “Sudah habis, Kak,” kata Dion.

Wina kembali tersenyum geli melihat Dion yang canggung. “Maksudku tadi nikmati saja dulu kopinya. Tak perlu buru-buru.”

Digerogoti rasa grogi, Dion membual untuk menyelamatkan mukanya. “Soalnya haus,” katanya.

“Haus kamu Dion? Nih habisin jus nya juga,” Wina menawarkan minumannya.

Tidak bisa menebak apakah Wina bercanda atau serius, Dion lalu menjawab, “Bisa kembung perutku karena minum kopi panas dan jus dingin bersamaan.”

“Ya udah. Nanti kalau haus lagi, bilangin, ya!” ujar Wina lalu mengajak Dion ke kamarnya di lantai dua rumah itu. Wina sedikit iba melihat Dion yang sedari tadi terlihat gugup.

Sebelum menaiki tangga di sebelah kiri ruang tamu, Wina menuju pintu depan menemui petugas keamanan yang duduk di teras sambil memegangi gelas jus.

“Pak kami mau ke atas, soalnya komputernya di lantai dua,” jelas Wina.

“Silakan Mbak! Aku tunggu di sini kalau-kalau Mbak perlu sesuatu,” sahut Rinto seraya melirik ke arah Dion seolah memberi peringatan agar tidak berbuat macam-macam di rumah itu.

Wina mengangguk dan melanjutkan langkahnya menaiki tangga yang diikuti oleh Dion.

“Keamanan di rumahmu ketat,” ujar Dion sesampainya di lantai dua.

“Dion jangan tersinggung yah. Oppung memang selalu meminta petugas keamanan menunggui ketika orang tak begitu dikenal berkunjung,” jelas Wina yang merasa tidak enak pada Dion karena petugas keamanan terus mengawasinya.

Oppung adalah sebutan dalam bahasa Tapanuli yang berarti nenek atau kakek. Untuk sebutan lebih spesifik, “oppung boru” untuk nenek dan “oppung doli” untuk kakek.

“Oh, nggak tersinggung kok. Kan demi keamanan,” kata Dion yang tengah asyik memandangi sekeliling lantai dua rumah Wina.

Di tengah-tengahnya terdapat ruang bersantai dengan televisi besar sementara di sekelilingnya terdapat pintu-pintu yang pastinya adalah kamar-kamar.

Di sudut kiri, terdapat sebuah piano besar di samping jendela kaca besar dengan pemandangan taman samping rumah. Di depannya terdapat rak buku panjang berisi buku-buku. Tampaknya bagian itu dijadikan sebagai area membaca.

“Yuk masuk!” ajak Wina yang telah membuka pintu kamar tidurnya.

Dion pun membalikkan badan dan dengan rasa segan memasuki kamar yang wangi dan tertata rapi.

“Rumahmu bagus sekali, Kak! Kamar tidurmu bahkan hampir seukuran rumah kontrakan kami,” ujar Dion berkomentar.

“Thank you!” sahut Wina sembari menunjuk ke arah meja komputer di sudut kamar. Dion pun melangkah ke arah komputer itu.

“Kamu mau?” tanya Wina membuat Dion bingung.

“Mau apa, Kak?” Dion balik bertanya sambil mendekati meja komputer.

“Rumah ini. Kalau kamu jadi menantu, mungkin kamu bisa memiliki rumah ini,” jawab Wina.

Dion membalas tatapan Wina sambil mengernyitkan kening lalu berkata, “Kakak bercanda ah!”

“Aku adalah cucu di rumah ini. Milik Oppung, orang tua mami. Jadi kalau mau jadi menantu, Dion harus menikahi tanteku,” jelas Wina sambil tersenyum usil.

“Oh! Kukira harus menikahi Kak Wina. Kalau itu sih aku pasti pertimbangkan,” balas Dion lalu menekan tombol power komputer Wina.

“Huss, enak aja! Aku belum mau menikah. Kalau menikahiku nggak bakal dapat rumah ini. Sama tanteku saja, mau?” cetus Wina.

“Nggak ah! Kenal juga tidak, disuruh nikah. Andai pun diberi rumah ini aku pasti menolaknya,” sahut Dion lalu tertawa rendah.

“Lho! Kenapa?” tanya Wina.

“Rumah ini terlalu besar dan mewah. Aku takkan sanggup mengurusnya. Tiap hari harus menghabiskan waktu berjam-jam untuk menyapu, mengurus halaman yang luas. Habislah waktuku untuk itu, kapan lagi kerja cari uang?” cerocos Dion sambil memperhatikan komputer yang baru saja dihidupkan.

“Belum lagi kalau ada yang rusak, pasti tak sanggup membiayai perbaikannya,” imbuh Dion sesaat menoleh ke arah Wina.

Mendengar ocehan Dion, Wina pun melanjutkan candaannya, “Oooh.. jadi nggak mau rumahnya, mau nikahnya saja?”

“Adoh ta pe kakak ini dang, beking tako noh! Jangan-jangan kita mau diculik nih trus dipaksa nikah,” Dion membalas candaan Wina. Perhatiannya kemudian terpusat pada komputer yang hidup dan mati tiba-tiba setelah beberapa saat.

“Anak-anak dipaksa nikah sama tante-tante,” gumam Dion lirih nyaris tak terdengar tapi masih tertangkap jelas oleh telinga Wina.

“Lho, kan sudah 19 tahun. Sudah sah di mata hukum!” kata Wina bak seorang pengacara atau ahli hukum.

Melihat Dion tak bereaksi, Wina lalu berkata, “Tenang! Tanteku masih gadis kok, belum pernah menikah.”

“Kakak ini, eh! Aku cuma mengagumi rumah, malah disuruh nikah,” keluh Dion sambil meraba-raba casing komputer dengan telapak tangannya mirip seseorang yang sedang memeriksa suhu tubuh. Ia juga mengulanginya dengan punggung tangan pada sisi lain komputer.

“Komputernya demam, Kak!” ungkap Dion ke arah Wina dengan wajah serius dan nada datar.

“Serius? Kok, komputer bisa demam?” tanya Wina dengan mata terbelalak keheranan.

“Pasti kena virus nih. Mudah-mudahan bukan DBD. Harus dibiarkan istirahat, minum air putih yang banyak dan diselimuti,” ujar Dion.

Giliran Wina yang mengerutkan dahi, terdiam memandangi Dion beberapa saat.

Tentu saja ia tak percaya dengan perkataan itu. Tapi kesungguhan wajah Dion membuat Wina berpikir mungkin ada yang salah pada pemuda jangkung itu. Apalagi tadi Dion memeriksa suhu komputer menggunakan tangan seperti seorang dokter memeriksa pasien.

Melihat mimik wajah keheranan Wina, Dion tak kuasa menahan tawa. Pemuda itu tertawa puas sambil membenamkan wajah pada tangan yang ia letakkan di atas keyboard komputer.

Merasa dikerjai, Wina ikut tertawa lalu berkata, “You got me again!”

“Kakak sih, nyuruh-nyuruh Dion menikahi tante-tante,” Dion mengakui pembalasannya membuat Wina kembali tertawa.

“Virusnya kan fake. Tanteku real lho. Mau ya?!” goda Wina dengan mengedip-ngedipkan matanya usil membuat Dion kembali salah tingkah.

“Sudah, ah! Ngeri aku membayangkannya. Bisa bikin heboh itu. Apalagi kalau pernikahan itu sampai masuk surat kabar. Judulnya begini, ‘Demi Rumah Megah, Pemuda 19 Tahun Rela Menikahi Tante Berusia…’, tantenya usia berapa, Kak?” tanya Dion dengan wajah serius membuat Wina tertawa cekikikan.

“45 tahun,” jawabnya singkat lalu melanjutkan tawanya.

“Tega kamu, Kak!” kata Dion sambil menggeleng-gelengkan kepala tak percaya sambil menatap Wina yang masih saja tertawa.

“Terus pada berita itu, ada foto pernikahan kami, berwarna pula. Ck ck ck!” tambah Dion lagi sambil berdecak heran dan menggeleng kepala.

Mendengar itu, Wina terpingkal-pingkal. Rasanya ia ingin melompat. Tangan kirinya memegangi perut sementara tangan kanan memukuli matras melampiaskan rasa geli.

Lama ia tertawa membayangkan foto pernikahan tantenya dan Dion di surat kabar. Tertawa hingga air mata menggenangi kedua sudut matanya.

Dion yang merasa kasihan melihat Wina tertawa hebat hingga wajah memerah dan mengeluarkan air mata akhirnya menghentikan guyonan.

Dalam hati, Dion senang bisa membuat Wina sebahagia ini, walau hanya dengan obrolan ringan yang mengada-ada.

“Sudah, Kak, cukup, cukup! Minum dulu!” kata Dion menyodorkan gelas berisi jus yang tadi dibawa Wina ke kamar.

Wina menerima sodoran dan meminumnya lalu kembali tertawa meski kini lebih rendah. Ia mencubit lengan Dion dengan keras saking gemasnya. “Kamu ini,” katanya.

Sambil meringis Dion mengusap-usap lengan yang menerima cubitan. “Adoh! Apa kita pe salah, Kak?” keluh Dion kesakitan.

Wina tak menjawab pertanyaan Dion, malah berkata, “Udah ah, coba obati tuh komputer yang kena demam.”

“Iya, Kak, tapi jangan lagi suruh aku nikah yah!” pinta Dion.

Wina kembali tertawa mendengar jawaban itu. “Iya, iya! Urusan pernikahan kita bicarakan nanti saja,” katanya dengan napas tersengal. Dion ikutan tertawa pula.

“Aku mau memeriksa penyebab overheat-nya. Harus dibuka nih. Boleh?” kata Dion kemudian yang dibalas persetujuan Wina.

“Salah satu fan-nya tidak berfungsi. Begitupun, seharusnya tidak menyebabkan panas berlebih secepat ini,” kata Dion setelah beberapa saat memeriksa bagian dalam komputer Wina.

Dion kemudian memeriksa sistem komputer itu dan menemukan kesalahan konfigurasi. Akhirnya ia mengembalikan setting-an BIOS ke posisi default.

“Komputernya masih bisa dipakai, kan?” tanya Wina.

“Bisa dong. Kita tinggal kembalikan ke konfigurasi sesuai rekomendasi pabrik. Tentu saja masih mengeluarkan panas berlebih karena salah satu kipasnya rusak. Tapi seharusnya masih bisa ditoleransi apalagi kalau cuma dipakai buat mengetik.” kata Dion.

“Aku punya beberapa fan seperti ini di rumah yang tidak terpakai. Nanti aku bawain, deh,” ujar Dion menawarkan solusi.

“Cuma saja sepertinya komputer ini harus di-install ulang, karena file system-nya rusak akibat terlalu sering mati-hidup gara-gara panas berlebih seperti tadi,” tambah Dion.

“Biaya instalasinya berapa tuh?” tanya Wina.

“Tenang Kak, Gratis! Cuma butuh waktu kira-kira 1-2 jam dengan asumsi tidak ada masalah lain yang muncul. Sebenarnya lamanya itu karena menunggu proses, jadi bukan pekerjaan berat,” jelas Dion.

“Wah, kamu ini teknisi yang baik hati,” puji Wina.

“Sambil menunggu kita bisa lanjutkan pembicaraan tadi,” lanjut Wina kembali menggoda Dion.

“Pembicaraan yang mana?” tanya Dion pura-pura.

“Halah, kura-kura dalam perahu lagi. Itu lho, urusan pernikahan tadi,” jawab Wina. Keduanya pun kembali tertawa.

Sekira satu jam lebih kemudian, Dion sudah menyelesaikan instalasinya. Setelah menutup kembali casing komputer Wina ia berkata, “Sudah kelar nih. Printer juga sudah terhubung, tinggal pakai.”

Wina yang sudah mengenakan t-shirt putih dan jeans biru tua tampak senang. Sewaktu Dion melakukan instalasi tadi, Wina memang masuk ke kamar mandi yang juga merupakan kloset pakaian untuk mengeringkan rambut dan bersalin pakaian.

Dion men-shutdown komputer lalu bersiap meninggalkan kamar Wina. Biar bagaimana pun ia merasa tak enak berlama-lama di kamar sang gadis.

“Kak, Oppung di mana? Dari tadi nggak kelihatan,” tanya Dion sambil menuruni tangga bersama Wina.

“Pagi-pagi Oppung menghadiri pesta pernikahan salah satu jemaat gereja. Tahu sendiri kan acara pernikahan orang Batak, lama banget. Sore baru kelar,” jelas Wina.

“Oh!” kata Dion pendek. Ia tak mau menyinggung pernikahan lagi karena tak mau diledek oleh Wina.

“Aku pinjam kamar kecilnya, Kak! Dah enggak kuat, nih,” kata Dion sesampainya di ruang tamu.

“Lho, dari tadi udah kebelet, toh? Kenapa nggak pakai kamar mandi di atas tadi?” tanya Wina sembari menunjuk arah ke kamar kecil di lantai itu.

Sekeluarnya dari kamar kecil, Dion tak mendapati Wina di situ. Ia memutuskan duduk di sofa yang tadi ia duduki sambil menunggu Wina untuk berpamitan pulang.

Tak lama kemudian, Wina pun muncul membawa nampan dan segelas jus berwarna jingga.

“Nih minum dulu. Takutnya Dion kepikiran gara-gara nggak kebagian jus tadi,” kata Wina meletakkan gelas berisi jus itu di hadapan Dion.

“Mungkin Wina mengira aku benar-benar menginginkan jus tadi,” ujarnya dalam hati sambil senyum. Padahal ketika itu Dion terpana oleh kecantikan wajah Wina, bukan memandangi jus.

“Kok malah senyum-senyum? Something wrong?” tanya Wina.

“Nggak ada apa-apa. Kakak baik sekali, terima kasih” jawab Dion berbohong lalu meneguk jus itu. Tak tanggung-tanggung, langsung meminum setengah gelas.

Kali ini giliran Dion yang merasa jus mangga itu terasa dingin menusuk ditambah rasanya yang sedikit asam. Dion menutup matanya keras-keras sambil mengisap bibir untuk mengusir rasa asam yang dingin itu.

“Rasakan!” seru Wina tertawa girang dan puas berhasil membalas Dion.

“Kak Wina ini ikhlas memberi atau mau balas dendam, kah?” tanya Dion mengeluh lalu ikut tertawa.

“Keduanya, noh,” jawab Wina lalu menambahkan pertanyaan, “Sudah lapar belum?”

“Tadinya. Sekarang nggak terlalu. Pasti gara-gara minuman kesukaan Kakak ini,” jawab Dion.

“Ya udah. Kalau begitu Dion temanin kita makan soto saja. Cuma dekat kok, di depan situ,” cetus Wina sambil menunjuk arah keluar dari kompleks perumahan.

“Iya, Kak. Aku temanin,” sahut Dion lalu menghabiskan sisa jus itu.

“Lho, ternyata doyan. Mau tambah?” tawar Wina lagi setengah meledek.

“Sudah.. sudah, Kak…” tolak Dion lalu bangkit berdiri dan mengambil tas yang ia letakkan di lantai.

“Lho, mau ke mana?” tanya Wina heran melihat Dion yang sudah bersiap untuk pergi.

“Kakak ini gimana sih? Tadi bilangnya pengen ditemani makan soto,” jawab Dion.

“Iya.. tapi tunggu. Aku siap-siap dulu,” sahut Wina.

“Siap-siap gimana? Masak mau makan soto saja harus berdandan seperti mau ketemu calon mertua?” kata Dion.

“Siapa tau aja, pas makan nanti ternyata ketemu calon mertua dari Panai Hilir. Tunggu ya, aku ambil tas,” jelas Wina lalu setengah berlari kembali ke kamarnya seolah tak mau memberi kesempatan Dion merespons pernyataannya.

Dion merasa kagum juga akan ingatan Wina. “Wah, Wina ingat nama kampung halamanku,” ujarnya dalam hati.

1
Anonymous
Bikin baper... /Drool//Drool//Drool/
Desi Natalia
Ingin baca lagi!
Type2Diabetes
Terharu...
Anonymous
/Drool//Drool//Smile//Smile/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!