--- **“Luna adalah anak angkat dari sebuah keluarga dermawan yang cukup terkenal di London. Meskipun hidup bersama keluarga kaya, Luna tetap harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup dan biaya sekolahnya sendiri. Ia memiliki kakak perempuan angkat bernama Bella, seorang artis internasional yang sedang menjalin hubungan dengan seorang pebisnis ternama. Suatu hari, tanpa diduga, Luna justru dijadikan *istri sementara* bagi kekasih Bella. Akankah Luna menemukan kebahagiaannya di tengah situasi yang rumit itu?”**
--- Cerita ini Murni karya Author tanpa Plagiat🌻 cerita ini hanya rekayasa tidak mengandung unsur kisah nyata🌻
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon flower, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 35 Pertanyaan Luna
Waktu berlalu tanpa terasa.
Bryan baru kembali ke penthouse saat jarum jam hampir menunjuk pukul dua dini hari. Langkah kakinya menggema pelan di antara ruangan-ruangan yang tenggelam dalam gelap. lampu-lampu telah lama dipadamkan, seolah rumah itu ikut terlelap. Ia melangkah menuju kamar, dan saat pintu terbuka, langkahnya sempat terhenti. Luna masih duduk di atas ranjang, punggungnya tegak, tatapannya kosong, jelas menunggunya pulang.
Bryan menghela napas singkat, nyaris tak terdengar. Tanpa sepatah kata pun, ia melepaskan kemejanya dan melemparkannya sembarangan ke atas sofa. Tidak ada penjelasan, tidak ada sapaan. Ia langsung melangkah menuju kamar mandi, meninggalkan Luna dalam sunyi yang terasa semakin berat. Malam itu, Luna benar-benar kelelahan. Bukan karena menunggu, melainkan karena sikap suaminya yang berubah begitu tiba-tiba dingin, jauh, dan perlahan membuat hatinya letih.
Beberapa menit berlalu. Bryan keluar dari kamar mandi dengan rambut masih lembap, tubuhnya telah dibalut piyama berwarna gelap. Namun langkahnya kembali terhenti ketika pandangannya jatuh pada sosok yang sama. Luna masih duduk di sana, tidak bergeming sedikit pun dari tempatnya.
Alis Bryan mengerut tipis. Tatapannya mengeras, lalu suaranya terdengar berat saat memecah keheningan, “Kenapa kamu belum tidur?” Luna akhirnya berdiri, menatap suaminya dengan sorot mata yang menyimpan banyak hal.
“Ada sesuatu yang ingin kutanyakan” ucapnya pelan sambil menundukkan kepala, seakan keberanian itu harus ia kumpulkan dari sisa-sisa hatinya.
Bryan memperhatikan istrinya yang tertunduk. Perlahan, langkah kakinya mendekat. “Apa kamu ingin bertanya tentang tadi?” Tentang aku yang tidak datang ke acara wisudamu…?”
Luna tetap diam. Keheningan itu justru membuat dada Bryan terasa semakin berat. Ia menghela napas dalam. “Luna… aku—”
“Bukan itu” Luna memotong sebelum Bryan sempat melanjutkan. Suaranya bergetar, jelas menahan frustrasi. “Mungkin itu juga… tapi ada hal lain yang ingin kutanyakan, Caro.”
Bryan terdiam sejenak, lalu mengangguk kecil. “Baiklah.” Ia melangkah ke arah sofa dan duduk, menatap Luna seolah bersiap menghadapi sesuatu yang tidak ingin ia dengar. Luna menarik napas panjang, kemudian ikut duduk di hadapannya. Malam itu terasa semakin sunyi dan pertanyaan yang belum terucap terasa lebih berat dari apa pun.
Luna mengatur napasnya, berusaha menenangkan dada yang terasa sesak. Namun begitu bibirnya terbuka, kata-kata itu justru tumpah tanpa bisa ia bendung. “Sebenarnya… ada apa denganmu?” tanyanya lirih. “Kenapa kamu tiba-tiba menjauh dariku?” Ia menelan ludah, jemarinya saling menggenggam erat. “Kamu bilang ada wanita di masa lalumu yang datang kembali…” lanjutnya dengan suara bergetar. “Apa maksudmu dengan itu? Apakah kehadirannya berarti kamu akan membuangku?”
Luna mengangkat wajahnya, menatap Bryan dengan mata yang mulai memerah. “Bukankah kamu yang berkata aku akan menjadi satu-satunya istrimu?” Pertanyaan-pertanyaan itu meluncur bertubi-tubi dari bibirnya, membawa serta luka yang selama ini ia pendam. Hatinya terasa perih. terpantul jelas dari suara yang bergetar dan mata yang berkaca-kaca, menahan tangis yang nyaris tumpah.
Bryan terdiam. Tatapannya terpaku pada wajah Luna yang basah oleh emosi, pada mata yang memerah karena tangis yang ia tahan dengan sekuat tenaga. Untuk sesaat, ia seperti kehilangan kata-kata. sesuatu yang jarang sekali terjadi padanya.
Ia menyandarkan punggung ke sofa, mengusap wajahnya pelan, lalu menghela napas panjang. “Kamu terlalu banyak berpikir” ucapnya akhirnya, suaranya terdengar rendah dan tertahan.
Luna tersenyum pahit. “Kalau begitu jelaskan padaku,” balasnya lirih. “Karena yang aku rasakan sekarang bukan sekadar pikiran, Caro… tapi sikapmu.” Bryan memejamkan mata sejenak, seolah sedang berperang dengan sesuatu di dalam dirinya. Ketika kembali membuka mata, sorotnya tampak lebih dingin.
“Wanita itu memang pernah berarti dalam hidupku,” katanya jujur. “Dan kehadirannya membuat banyak hal yang kupendam kembali muncul.” Kalimat itu membuat dada Luna terasa semakin sesak. Jemarinya gemetar, napasnya tercekat. “Lalu aku ini apa?” tanyanya hampir berbisik.
Bryan menatapnya lama, terlalu lama, sebelum akhirnya berkata, Namun entah mengapa, jawaban itu sama sekali tidak menenangkan. Justru keheningan setelahnya terasa lebih menyakitkan, karena Luna tahu ada sesuatu yang tidak dikatakan Bryan malam itu, sesuatu yang perlahan menjauhkan mereka tanpa perlu perpisahan.
Luna menggeleng pelan, senyum getir tersungging di bibirnya. “Bohong…” suaranya pecah. “Kamu memperlakukanku seperti barang yang tak lagi berharga.”
Kalimat itu keluar bersama runtuhnya pertahanan terakhirnya. Air mata Luna jatuh semakin deras, membasahi pipinya tanpa bisa ia cegah. Dadanya naik turun, menahan isak yang membuat napasnya tersendat. “Aku menunggumu setiap malam” lanjutnya dengan suara bergetar. “Berusaha mengerti, berusaha bertahan… tapi yang kudapat hanya sikap dinginmu. Diammu lebih menyakitkan daripada kemarahan.”
Ia menunduk, bahunya bergetar hebat. Malam itu, bukan hanya air matanya yang jatuh. melainkan juga harapannya yang perlahan retak. Luna bangkit dari duduknya, seolah tak sanggup lagi menahan perih yang menyesakkan dada. Ia berbalik, berniat pergi dan mengakhiri percakapan yang hanya menyisakan luka.
Namun tiba-tiba, sebuah tangan mencengkeram pergelangan tangannya. Bryan menariknya dengan cepat. Luna kehilangan keseimbangan, tubuhnya terhuyung sebelum akhirnya jatuh tepat di atas pangkuan suaminya. Napas Luna tercekat, matanya membelalak terkejut. Jarak mereka kini begitu dekat. terlalu dekat hingga ia bisa merasakan detak jantung Bryan yang keras dan napas pria itu yang menghangat di kulitnya. Ketegangan seketika memenuhi udara, menggantung di antara mereka, membawa emosi yang belum terselesaikan.
Bryan mengunci geraknya, satu lengannya melingkar kuat di pinggang Luna seolah takut ia akan kembali menjauh. Tatapannya gelap, bergejolak oleh emosi yang selama ini ia tekan. “Jangan pergi,” ucapnya rendah, hampir seperti perintah, namun suaranya terdengar pecah.
Luna menunduk, kedua tangannya menekan dada Bryan, berusaha menjauh. “Lepaskan aku…” katanya lirih, air mata kembali mengalir. “Kalau memang aku tak berarti, untuk apa kau menahanku?”
Bryan terdiam. Genggamannya mengendur sedikit, namun ia tidak membiarkannya pergi. “Justru karena kamu berarti” katanya akhirnya, suaranya berat. “Terlalu berarti sampai aku sendiri tak tahu harus bersikap bagaimana.”
Luna mengangkat wajahnya, menatap Bryan dengan mata basah. “Kalau begitu, kenapa aku yang harus terluka?” Bryan menelan ludah. Untuk pertama kalinya malam itu, raut penyesalan jelas terpancar di wajahnya. Ia menyentuh pipi Luna dengan ujung jarinya, menghapus air mata yang jatuh.
“Aku tidak berniat menyakitimu,” katanya pelan. “Tapi masa lalu itu… belum sepenuhnya melepaskanku.” Kalimat itu membuat Luna terdiam. Duduk di atas pangkuannya, sedekat ini, ia menyadari satu hal yang menyakitkan. bukan karena Bryan tak mencintainya, melainkan karena hatinya masih terbelah oleh bayang-bayang yang belum pergi.