Novel ini akan mengisahkan tentang perjuangan Lucas Alarik yang menunggu sang kekasih untuk pulang kepelukannya. Mereka berjarak terhalang begitulah sampai mungkin Lucas sudah mulai ragu dengan cintanya.
Akankah Mereka bertemu kembali dengan rasa yang sama atau malah asing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lee_jmjnfxjk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35. Nada yang Dipilih
Athaya tidak membawa jadwal hari itu.
Ia dan Lucas berjalan berdampingan tanpa tujuan yang jelas, hanya mengikuti langkah dan rasa ingin berhenti di mana pun terasa nyaman. Tidak ada mobil resmi. Tidak ada pengawal yang berdiri terlalu dekat. Athaya membiarkan dirinya menjadi seseorang yang tidak harus mengawasi setiap sudut.
Mereka berhenti di sebuah kafe kecil di pinggir jalan. Tempatnya tenang, musiknya pelan, dan jendelanya besar. Lucas duduk menghadap keluar, Athaya di seberangnya.
“Kopi?” tanya Lucas.
Athaya menggeleng. “Teh aja.”
Lucas mengangguk tanpa bertanya lebih jauh. Ia tahu—kadang Athaya hanya ingin hari berjalan tanpa rangsangan berlebihan.
Mereka tidak langsung bicara. Hanya duduk, menyeruput minuman masing-masing. Keheningan itu tidak canggung. Justru terasa seperti sesuatu yang selama ini jarang mereka dapatkan.
“Lo kelihatan beda,” ujar Lucas akhirnya.
Athaya menatap permukaan tehnya. “Gw gak lagi ngelawan waktu.”
Lucas tersenyum kecil. “Biasanya lo kejar-kejaran sama dunia.”
“Karena gw pikir kalo gw berhenti, semuanya bakal runtuh,” balas Athaya pelan.
Lucas menggeleng. “Ternyata enggak.”
“Enggak,” Athaya mengakui. “Dan itu bikin gw takut… tapi juga lega.”
Setelah kafe, mereka berjalan lagi. Langkah mereka membawa ke sebuah toko musik tua yang tersembunyi di antara bangunan lama. Athaya berhenti begitu melihat etalasenya.
Lucas mengikuti pandangannya. “Lo mau masuk?”
Athaya mengangguk.
Di dalam, aroma kayu dan logam memenuhi ruangan. Gitar tergantung rapi, piano tua berdiri di sudut. Athaya mendekat ke piano itu tanpa ragu. Ia duduk, membuka penutupnya, dan langsung memainkan nada pertama.
Permainannya mengalir.
Bukan sekadar bagus—tapi matang. Tekniknya bersih, emosi terkontrol. Ia memainkan komposisi yang pelan, lalu naik perlahan, seperti cerita yang dibuka dengan hati-hati.
Lucas berdiri di sampingnya, diam. Ia tidak ingin merusak momen itu.
Saat Athaya selesai, ruangan terasa sunyi sejenak.
“Lo gak pernah cerita kalo lo main sebagus ini,” kata Lucas pelan.
Athaya menutup piano perlahan. “Karena ini bukan buat dipamerin.”
“Terus buat apa?”
Athaya menatapnya. “Buat bertahan.”
Mereka keluar dari toko itu tanpa membeli apa pun. Hanya membawa sesuatu yang tidak terlihat.
Sore menjelang, mereka duduk di taman kecil. Athaya mengambil gitar yang ia pinjam dari toko itu. Petikan jarinya ringan, tapi tepat. Ia memainkan melodi sederhana, lalu berhenti.
“Lo tau,” ucap Lucas, “gw sering takut gak bisa nyamain langkah lo.”
Athaya berhenti bermain. “Gw gak butuh lo nyamain langkah gw.”
Lucas menoleh.
“Gw butuh lo jalan bareng,” lanjut Athaya. “Kalo gw terlalu cepat, tarik gw. Kalo gw berhenti, duduk aja di sebelah gw.”
Lucas tersenyum. “Lo baru pertama kali ngomong kayak gini.”
Athaya mengangguk. “Karena gw baru ngerti.”
Matahari hampir tenggelam saat mereka kembali ke mension. Mereka naik ke balkon, duduk berdampingan. Kota terbentang di bawah mereka, lampu-lampu mulai menyala satu per satu.
“Athaya,” ucap Lucas pelan. “Lo bahagia?”
Athaya terdiam cukup lama. Ia menatap langit yang berubah warna.
“Gw gak selalu tenang,” jawabnya jujur. “Gw masih takut. Masih mikir kebanyakan. Tapi… hari ini, gw ngerasa cukup.”
Lucas meraih tangannya. Tidak menggenggam erat, hanya memastikan keberadaan.
“Gw di sini,” katanya.
Athaya membalas genggaman itu. “Gw tau.”
Dan malam itu, tidak ada janji besar yang diucapkan. Tidak ada rencana jangka panjang yang dirinci.
Hanya dua orang yang duduk berdampingan, membiarkan musik yang sudah berhenti tetap bergema di dalam diri mereka.
Karena tidak semua hal perlu diucapkan untuk dimengerti.
-bersambung-