Nuansa dan Angger adalah musuh bebuyutan sejak SMA. Permusuhan mereka tersohor sampai pelosok sekolah, tiada yang luput untuk tahu bahwa mereka adalah dua kutub serupa yang saling menolak kehadiran satu sama lain.
Beranjak dewasa, keduanya berpisah. Menjalani kehidupan masing-masing tanpa tahu kabar satu sama lain. Tanpa tahu apakah musuh bebuyutan yang hadir di setiap detak napas, masih hidup atau sudah jadi abu.
Suatu ketika, semesta ingin bercanda. Ia rencakanan pertemuan kembali dua rival sama kuat dalam sebuah garis takdir semrawut penuh lika-liku. Di malam saat mereka mati-matian berlaku layaknya dua orang asing, Nuansa dan Angger malah berakhir dalam satu skenario yang setan pun rasanya tak sudi menyusun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Birthday Gift
Soal asmara Angger memang bukan ahlinya, tapi perihal mencari hadiah untuk momen-momen spesial, terlebih bagi orang-orang terkasih, dia bisa pamer kalau kemampuannya jauh di atas rata-rata pria pada umumnya.
Angger cukup lihai memperhatikan detail kecil dari seseorang yang ditemuinya. Seperti apa gayanya, jenis aroma parfum seperti apa yang disuka, bagaimana pandangannya terhadap pergerakan fashion dunia, apa pandangan mereka terhadap isu-isu yang sedang hangat diperbincangkan, sampai hal-hal apa yang mereka hindari.
Kemampuan itu tidak serta-merta ada pada diri Angger sejak ia lahir ke dunia. Terbiasa hidup dalam lingkungan yang diisi beragam-ragam rupa manusia, secara tidak langsung telah membuat otaknya bekerja ekstra untuk menganalisa dan memperhatikan hal-hal sekecil apa pun di sekitarnya.
Angger biasa memilih sendiri hadiah yang hendak diberikan pada kolega. Martin hanya tinggal melakukan transaksi, lalu mengurus orang untuk menyampaikan hadiah tersebut kepada yang bersangkutan. Tidak pernah ada pujian yang luput tertuju padanya atas pilihan-pilihannya. Sebuah pencapaian yang hanya Angger sombongkan kepada dirinya sendiri. Sementara di depan orang lain, ia hanya akan tersenyum rendah hati.
Kali ini, hadiah yang harus dia pilih jauh lebih spesial daripada hadiah apa pun yang pernah dia pikirkan. Besok adalah hari ulang tahun ibunya. Setiap tahun tidak pernah absen Angger hadirkan hadiah yang berbeda. Tidak habis-habis idenya, membuat sang ibu yang melahirkannya pun ikut terkesima.
Tahun ini pun Angger tidak ingin hadiahnya gagal. Dia ingin hadiahnya berkesan dan akan terus mamanya ingat sampai akhir hayat. Angger ingin jadi yang nomor satu mamanya temukan dalam memori, bahkan jika suatu hari nanti wanita itu kesulitan mengenali dirinya sendiri.
Langkah Angger santai, namun terayun mantap. Postur tegapnya tampak semakin memesona berkat setelan kasual yang melekat di tubuhnya. Belum lagi rambutnya yang barusan dipangkas, membuatnya terlihat beberapa tahun lebih muda.
Dari lantai dasar mal, Angger naik lift ke lantai tujuh. Dia menaiki benda itu sendirian. Kedua tangannya menyusup ke dalam kantong celana jeans, hanya empat jari dan menyisakan ibu jarinya di luar.
Terlepas dari seberapa repotnya dia hari ini, Angger lega perjalanannya ke lantai tujuh lancar tanpa hambatan. Lift yang dinaiki terus melaju, tidak berhenti di lantai mana pun selain yang Angger tuju.
Begitu pintu dibuka, ia melangkah santai. Dia mengeluarkan ponsel dari saku kiri, layar ditap dua kali, layar menyala dan muncul notifikasi pesan dari seseorang yang ia hubungi dalam perjalanan ke sini. Angger tersenyum tipis, langkahnya terayun lebih cepat kala tempat yang ia tuju telah tertangkap pandangannya. Itu adalah sebuah toko perhiasan ternama yang sudah menjadi langganan keluarga besarnya. Turun-temurun, sejak zaman neneknya.
Kedatangan Angger langsung disambut ramah oleh karyawan berseragam hitam, bersanggul rapi, make up flawless dan bibir merah merona.
"Silakan duduk, Pak Angger. Saya ambilkan dulu pesanan Bapak," kata karyawan ber-name tag Anggun itu.
Angger tersenyum ramah sebelum duduk di kursi yang Anggun tunjuk, lalu mengangguk singkat kala perempuan itu pamit untuk mengambil pesanannya.
Selagi menunggu, Angger ditemani oleh karyawan lain. Penampilannya seragam dengan Anggun, name tag akrilik di dada kanannya bertuliskan: Widyawati. Hanya satu kata, dan masih asing bagi Angger. Ini kali pertama dia melihat karyawan itu di toko ini.
"Mbak baru, ya?" tanyanya basa-basi.
Perempuan itu tersenyum ramah dan menangkupkan kedua tangannya di dada, sesuai SOP. "Betul, Bapak. Selain yang sudah dipesan, Bapak butuh yang lain?" tanyanya.
Angger mengusap dagunya pelan. Matanya menyapu deretan perhiasan yang berjajar di display. Di bawah kaca tebal dan terpaan lampu, mereka tampak lebih berkilauan.
"Sebenernya saya nggak butuh yang lain, sih, tapi kalau Mbak ada rekomendasi buat saya, boleh kasih lihat. Siapa tahu saya tertarik."
Widya tersenyum, "Baik, Bapak. Kebetulan ada model baru di etalase sebelah sini," katanya sambil menunjuk etalase di sebelah kiri Angger, dengan kedua tangannya terbuka sopan.
Angger hendak turun dari kursi untuk bergeser ke etalase yang Widya tunjuk, tetapi gerakannya terhenti karena kedatangan satu pasangan yang pas sekali langsung berdiri di posisi itu.
Widya yang semula hendak menjelaskan detail produk kepada Angger, melirik tidak enak. Sedangkan rekannya yang berjaga di etalase bagian kanan juga tidak mungkin dia minta merapat untuk membantu. Tugas mereka sudah dibagi, tidak bisa dirombak sesuka hati.
"It's okay, layanin mereka dulu."
Widya mengangguk sopan. "Baik."
Sementara Angger kembali pada posisi duduknya, Widya mulai sibuk dengan pelanggan barunya. Bibirnya ceriwis menjelaskan detail dari setiap item yang ditanyakan.
Selagi menunggu Anggun yang masih belum juga kembali, Angger mengambil botol air mineral berukuran 330ml yang menang disediakan untuk para pelanggan. Dibuka botolnya, isinya ditenggak sampai setengah habis.
"Ihhh, aku bingung ... semuanya cantik."
"Pilih aja semua yang kamu mau, aku beliin semuanya."
"Beneran?"
"Iya, bener. Apa sih yang nggak buat kamu?"
"Yey! Makasih, Sayang!"
Bukan maksud menguping atau lancang nimbrung ke dalam urusan orang. Tapi percakapan yang terlalu cheesy itu tidak bisa luput dari perhatian Angger. Air di mulutnya belum sepenuhnya tertelan, nyaris menyembur jika ia gagal mengendalikan diri.
Rasa tergelitik memantik jiwa usilnya, sehingga Angger meletakkan kembali botol air mineral seraya menolehkan kepala. Diperhatikannya dengan saksama sepasang pelanggan yang sedang dilayani Widya. Seperti biasa, detail-detail kecil mulai berkumpul di kepalanya.
Yang perempuan, dengan rok mini dan make up super tebal, tampak clingy dan kekanakan. Suaranya yang dibuat imut nyaris membuat Angger pingsan, saking cringe-nya. Tapi dengan dandanan dan pakaian seperti itu, Angger masih bisa menebak bahwa usianya masih belia. Bisa awal 20-an, bisa juga masih belasan. Sementara sang pria, berpakaian kasual seperti dirinya, namun lebih terkesan rapi dan dewasa. Dari jam tangan dan pemilihan parfum, Angger yakin usianya sudah akhir 30-an.
Secara tidak sadar, Angger tersenyum mengejek. Pantas saja interaksinya terasa janggal. Pasangan ini terlihat seperti sugar baby dan daddy-nya. Tidak masalah bagi Angger. Di zaman yang sudah edan ini, bukan menjadi hal aneh lagi untuk melihat para perempuan berparas cantik mencari jalan cepat mendapatkan uang.
Jadi sugar baby pasti lebih menguntungkan, daripada sekadar jual diri di platform online dengan segudang risiko. Jadi sugar baby hanya memberikan dua risiko besar: ditinggalkan atau babak belur dihajar istri sah. Itu kalau daddy-nya waras. Kalau psikopat, ya tambah lagi risikonya: hilang nyawa.
Bukan, tapi bukan itu yang mengusik Angger sekarang. Dia tidak peduli pada persoalan sugar baby ini. Yang membuatnya resah adalah jika analisanya benar. Jika gadis ber-make up tebal ini masih di bawah umur. Yang itu berarti, pria dewasa yang bersamanya adalah seonggok pedofil tak bermoral.
"Pak Angger."
"Hmm?" Angger menoleh dengan sedikit tersentak. Pasalnya, Anggun datang mengetuk kaca etalase di depannya tanpa aba-aba.
"Pesanan Bapak sudah siap," kata Anggun lagi, sambil meletakkan sekotak set perhiasan custom yang ia pesan khusus untuk mamanya. "Silakan dicek dulu, sebelum saya masukkan ke bag."
Angger mencoba memeriksa pesanannya seperti yang Anggun minta, terapi rengekan manja di sebelah terus saja mengusik pikirannya. Akhirnya, Angger hanya melihat sekenanya, kemudian meminta Anggun segera membungkusnya.
Saat Anggun melaksanakan permintaannya, Anger kembali mengalihkan pandangan pada pasangan di samping. Sang gadis kini menunjuk satu kalung dengan liontin berbentuk cherry blossom. Kilaunya menarik hati, menggugah sesuatu di dalam diri Angger untuk segera bereaksi.
"Saya mau yang itu," katanya, menghentikan gerakan Widya yang hendak mengambil kalung dari etalase.
Widya melirik Anggun, main mata berdua selama beberapa detik. Sedangkan pasangan yang sedang Widya layani, kompak menatap Angger dengan sorot menelisik.
"Saya kan udah minta duluan," protes sang gadis, ngotot dan terkesan congkak.
Tapi Angger tidak peduli. Dia tetap meminta Widya membungkus kalung itu untuknya. American express dari dompetnya juga berpindah ke tangan Anggun dengan cepat. Angger tidak memberikan waktu bagi siapa pun untuk menghalangi niatnya.
"Loh, Mbak, nggak bisa gitu dong! Kan saya yang lebih dulu mau lihat!" Gadis menor itu masih protes. Widya hanya bisa membungkuk dan meminta maaf, lalu tetap memenuhi permintaan Angger.
"Jahat banget, sih! Nyerobot punya orang!" gerutu gadis tadi, suaranya yang meninggi membuat seisi toko memandanginya.
Pria dewasa di sebelahnya pun tampak panik menenangkan. "Udah, udah, kita beli yang lain aja. Jangan ribut-ribut," bujuk si pria.
"Nggak mau! Aku mau kalung yang tadi!" Si gadis merajuk. Kakinya mengentak-entak.
Hal itu tidak luput dari perhatian Angger. Dia semakin yakin kalau gadis itu memang masih di bawah umur. Emosinya masih terlalu labil.
"Belum jadi punyamu kalau belum dibayar," ujar Angger, sengaja menjadi kompor.
Sebelum gadis tadi makin tantrum, dua pesannya sudah selesai dimasukkan ke dalam bag. Angger menerimanya, berterima kasih kepada Anggun dan Widya, kemudian melenggang pergi dengan gaya songong. Malah sempat-sempatnya ia menaik-turunkan alisnya, meledek si gadis belia yang gagal mendapatkan apa yang diinginkan.
"Dasar orang aneh! Orang jahat!"
Angger manggut-manggut saja, terus melangkah tanpa niat menoleh sedikit pun. Dia hanya berdoa semoga Widya dan Anggun (juga karyawan lain di toko perhiasan) berada dalam lindungan Tuhan. Ngeri. Si gadis belia itu sepertinya bukan hanya sudah masuk jebakan om-om tua bangka tukang grooming, tapi juga kadung terbiasa mendapatkan yang diinginkan sehingga mudah tantrum.
"Tuhan, Tuhan Yang Agung, jangan biarkan orang-orang di sana terluka. Sebagai gantinya, buat aja pasangan haram itu kena batunya."
Sudah lama Angger tidak berdoa, tapi hari itu, dia malah mendoakan hal buruk untuk orang asing.
Bersambung....
Hamil dulu tapi😁