Atas desakan ayahnya, Poppy Yun datang ke Macau untuk membahas pernikahannya dengan Andy Huo. Namun di perjalanan, ia tanpa sengaja menyelamatkan Leon Huo — gangster paling ditakuti sekaligus pemilik kasino terbesar di Macau.
Tanpa menyadari siapa pria itu, Poppy kembali bertemu dengannya saat mengunjungi keluarga tunangannya. Sejak saat itu, Leon bertekad menjadikan Poppy miliknya, meski harus memisahkannya dari Andy.
Namun saat rahasia kelam terungkap, Poppy memilih menjauh dan membenci Leon. Rahasia apa yang mampu memisahkan dua hati yang terikat tanpa sengaja?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Restoran Macau
Setelah meninggalkan kediaman keluarga Huo, Poppy langsung menuju sebuah restoran Macau yang cukup tenang di sudut kota. Perutnya sudah lapar sejak tadi.
Begitu hidangan tiba, mata Poppy berbinar. Di atas meja terhidang beberapa menu kesukaannya udang rebus yang masih mengepul, sop ayam hangat dengan aroma jahe yang kuat, serta semangkuk besar pangsit kuah yang tampak sangat menggoda.
Poppy mengambil sumpit, lalu menyantap makanan itu dengan lahap, seperti seseorang yang sudah berhari-hari tidak makan.
“Enaknya…,” gumamnya sambil menahan senyum kecil.
Rasa gurih dari kuah pangsit perlahan menghapus sedikit demi sedikit emosi buruk yang tertinggal dari rumah keluarga Huo. Ia menghela napas panjang, mencoba merilekskan dirinya.
Poppy menyeruput kuah hangat itu perlahan, membiarkan aroma jahe dan bawang putih yang lembut memenuhi inderanya. Di atas meja, semangkuk sop ayam Macau mengepul pelan—kuahnya bening keemasan, dengan potongan ayam empuk yang hampir terlepas dari tulangnya.
Sesekali ia menyendok mi tipis yang tersembunyi di dasar mangkuk, menikmati teksturnya yang lembut bercampur dengan kaldu gurih yang kaya rasa.
Tidak lama kemudian, Leon memasuki restoran itu. Aroma kaldu dan rempah khas Macau langsung menyambutnya, namun pandangannya tertuju pada satu sosok di sudut ruangan.
Poppy.
Gadis itu makan dengan lahap, seakan seluruh beban dunia tidak pernah menyentuh pundaknya.
Leon tanpa sadar tersenyum kecil—pemandangan itu selalu membuatnya lega.
Ia melangkah mendekat, menarik kursi di depan Poppy dan duduk tanpa berkata apa-apa.
Poppy yang sedang mengunyah udang rebus menoleh, matanya membulat sedikit karena terkejut.
"Paman, kenapa bisa ke sini?" tanyanya sambil mengunyah. "Mau makan bersama? Aku pesan dua porsi, bantu aku habiskan."
Leon mengamati meja yang penuh hidangan. "Dia makan seperti prajurit yang baru pulang dari perang," batinnya geli.
"Sepertinya suasana hatimu sangat baik hari ini?" tanya Leon sambil menaruh ponselnya di meja.
"Iya, aku sangat senang hari ini," jawab Poppy tanpa ragu. Senyumnya begitu puas hingga membuat Leon menghela napas kecil.
"Apakah karena seluruh keluarga Huo dibuat kesal olehmu, makanya kau merasa senang?" Leon menaikkan alisnya.
Nada suaranya tenang, tapi jelas ada gurauan halus di sana.
Poppy tertawa kecil sambil mengupas kulit udang. "Paman, saat Andy minta maaf wajahnya sangat kesal. Lucu sekali. Dan bibi hanya bisa menahan emosi."
"Dia beruntung karena aku tidak menuntutnya," lanjut Poppy sambil menyendok kuah sop.
Leon menyandarkan punggungnya, menatap gadis itu dalam diam sejenak.
"Sejak awal kau memang tidak berniat menuntutnya," kata Leon akhirnya. "Setelah ribut setengah hari di rumahku, aku tahu tujuanmu hanya ingin dia mengakui kesalahan di depan keluarganya."
Poppy berhenti makan. Ia memandang pamannya dengan sedikit tak percaya.
"Bagaimana paman bisa tahu pikiranku?"
Leon tersenyum tipis. "Kalau kau benar-benar ingin menuntutnya, yang datang pasti pengacara dan polisi. Bukan hanya kau seorang diri. Kau punya bukti, laporan medis… niatmu hanya ingin mempermalukan bocah itu."
Poppy mengusap ujung hidungnya, tampak tersipu. "Paman ternyata sangat cerdas. Aku tidak bisa menyembunyikan apa pun darimu."
Leon menatapnya lembut. "Alasan kau tidak menuntut karena kau peduli pada kesehatan papaku. Kau tidak ingin dia jatuh sakit lagi karena beban memikirkan cucunya."
Poppy mengangguk pelan. Sorot matanya berubah lebih lembut.
"Kakek baik padaku sejak pertama kali kami bertemu. Aku tidak ingin beliau jatuh sakit karena cucunya ditangkap."
Leon diam sejenak, menatap gadis itu dengan campuran bangga dan sayang.
"Dan paman juga suka, kan, kalau aku mempermainkan Andy?" Poppy mengangkat alis sambil menatap Leon nakal. "Bukan begitu? Karena paman hanya duduk diam dan diam-diam tersenyum."
Leon menghela napas pelan. “Dia pantas mendapatkannya,” jawabnya tanpa ragu.
Poppy langsung tersenyum lebar seperti anak kecil yang berhasil menang. “Paman, hari ini aku sangat bahagia. Aku traktir paman makan. Aku panggil lagi beberapa hidangan, ya?”
“Tidāk perlu,” jawab Leon cepat, membuat Poppy berhenti setengah berdiri.
Poppy tidak menyerah begitu saja. Ia mengambil sepiring udang dan menariknya ke depan Leon.
“Paman,” katanya sambil menaikkan suara setengah nada manja, “kalau paman tidak mau makan, bantu aku kupas kulitnya.”
Leon melirik tajam. “Kedua tanganmu masih sehat dan utuh. Kenapa tidak melakukannya sendiri?”
“Tanganku sedang sibuk.” Poppy langsung menyendok pangsit dengan ekspresi paling serius padahal sedang menggemaskan. “Anggap saja aku keponakanmu. Dan bantu aku.”
Leon memijit pelipisnya. “Sejak kapan kau begitu manja?”
“Sejak kecil aku tidak pernah manja,” jawab Poppy santai sambil mengunyah, tapi ucapan itu yang terdengar ringan—justru membuat Leon terhenti.
Fokusnya teralih dari udang di tangan ke wajah gadis itu.
Poppy mengatakannya tanpa beban. Tapi dalam nada polos itu, ada kenyataan pahit yang tidak bisa disembunyikan.
Leon menatapnya sejenak sebelum menurunkan pandangannya.
“Biasanya setiap nona besar sangat manja pada orang tuanya. Tapi Mic Yun terkenal keras mendidik anak. Gadis ini dibesarkan tanpa kasih sayang ibunya dan selalu berada di bawah pengawasan ketat ayahnya. Mana mungkin ayahnya pernah memanjakannya," batin Leon.