Dia.. anak, Kakak, saudara dan kekasih yang keras, tegas dengan tatapannya yang menusuk. Perubahan ekspresi dapat ia mainkan dengan lihai. Marcelline.. pengendali segalanya!
Dan.. terlalu banyak benang merah yang saling menyatu di sini.
Happy reading 🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S.Lintang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35. -
Marcelline berdiri di balkon dengan tatapan kosongnya.
"Sudah Kak, jangan dipikirin. Ingat kata Bunda sama dokter, Kakak nggak boleh stres karena itu bisa berpengaruh di bayi nya," ucap Azalea sambil memeluk Kakaknya dari samping.
Marcelline tidak bereaksi seperti apapun. Yang ada di pikirannya, kenapa Aryasena tidak membuka pesan dan mengabaikan semua panggilannya? Bahkan saat Afandi dan Azri menyusul ke Eropa, mereka malah di usir oleh semua pengawal Aryasena. Bahkan Azri sudah memberitahu siapa dirinya di kehidupan Arya pun tetap tidak ada hasilnya.
Ayah dan Adiknya tetap di usir dengan perkataan kalau Aryasena benar-benar tidak bisa di ganggu dan tidak menerima tamu dari manapun.
"Kak," panggil Azalea sedih karena Marcelline tetap dengan tatapan kosongnya seperti tidak memiliki harapan lagi.
"Apa anak ini akan lahir tanpa sosok Ayah?" tanya Marcelline lirih dan Azalea hanya bisa menangis sambil mengeratkan pelukannya.
Azri di luar menatap Ervan. "Abang bilang baru ketemu kemarin kan? Kenapa Mommy udah nggak ada di rumah? Nggak biasanya semua pekerja juga di liburkan."
Ervan menggeleng. "Minta seseorang untuk melacak mereka," perintahnya pada Delano yang menunduk dan mengangguk patuh.
Ervan masuk lebih dulu ke dalam rumah. "Alghazir bukan keluarga yang bisa di akses sembarang orang, Hart yang terbilang keluarga istrinya sendiri aja nggak bisa sentuh aksesnya. Jangan lakukan atau sistem kita yang akan terkena serangan. Kita usaha saja untuk hubungi Bang Arya sama Mommy," perintah Azri langsung yang bertolak belakang oleh Ervan.
"Baik Tuan Muda," ucap Delano patuh.
"Seberapa erat dan seberapa jauh Azri sudah masuk ke keluarga itu sampai mengenal begitu dekat walau berita itu memang simpang siur. Tapi, menyerahkan hak asuh pada Alghazir juga bukan keputusan yang salah, Azri berada di tangan yang tepat, karena aku pun belum tentu bisa menganggap dirinya sebagai keluarga sepenuhnya walau dia Adek kandung ku. Bahkan sampai sekarang pun masih ada amarah padahal dia tidak tau apa-apa tentang hal bejat yang Papa lakukan," batin Ervan di balik pintu.
°°
"Kak, bahkan Mommy pun tidak ada, mansion kosong tanpa penghuni," kata Azri menunduk memberi laporan.
Azalea menatap Marcelline yang hanya tersenyum miring sambil menghapus air mata yang baru saja jatuh di pipinya.
"Jangan mencari keberadaan mereka, jangan berusaha menghubungi mereka. Tutup semua jalur untuk keluarga Alghazir. Aku bisa mengurus anakku tanpa dia!" Marcelline berkata dengan tegas tanpa keraguan dengan mata tajam penuh amarah dan ambisi.
"Kak...."
"Ini perintah mutlak! Aku tidak ingin mendengar namanya di sebut di rumah ini," potong Marcelline.
"Sesuai keputusan Kakak," patuh Azri mengangguk dan keluar untuk memberi informasi pada Delano.
Marcelline menatap Azalea. "Jangan tatap Kakak pakai tatapan itu, Kakak nggak perlu di kasihani. Tanpa seorang suami pun, Kakak akan tetap hidup," ucapnya tetap tegas.
Azalea mengangguk lalu memeluk Marcelline. "Kakak akan hidup, bersama kami. Itu sudah lebih dari cukup kan? Kakak nggak sendiri, Lea juga bakal jaga dia," ucapnya mengelus perut rata itu.
Azalea menatap Marcelline. "Jangan terlalu di pikirin sampai buat Kakak stres. Kakak harus pikirin keponakan nya Lea juga ya? Kakaknya Lea orang yang kuat dan tangguh."
Marcelline tersenyum mengelus kepala Azalea. "Kalian ada, Kakak nggak akan mikirin hal apapun. Hanya fokus sama kandungan sampai masanya tiba anak ini lahir," ucapnya
Azalea mengangguk mantap lalu mencium pipi Marcelline.
"Gih, Kakak mau istirahat," ucap Marcelline meminta Azalea keluar dari kamarnya.
"Kalau butuh apa-apa langsung panggil ya, jangan di pendem sendiri. Ingat, jangan sampai stres," kata Azalea cerewet sebelum meninggalkan Marcelline di kamar seorang diri.
"Kalau memang kamu memiliki wanita lain, silahkan.. Tapi jangan salahkan aku kalau kelak anakmu akan menganggap dirimu tidak ada."