NovelToon NovelToon
Nikah Dadakan Karena Warga

Nikah Dadakan Karena Warga

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Pernikahan Kilat
Popularitas:4.1k
Nilai: 5
Nama Author: Anjay22

Reva Maharani kabur dari rumahnya karena di paksa menikah dengan pak Renggo ,ketika di kota Reva di tuduh berbuat asusila dengan Serang pria yang tidak di kenalnya ,bernama RAka Wijaya ,dan warga menikahkan mereka ,mereka tidak ada pilihan selain menerima pernikahan itu ,bagaimana perjalan rumah tangga mereka yang berawal tidak saling mengenal ?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjay22, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Apartemen baru

Tidak terasa pernikahan Raka dan Reva sudah memasuki usia lima bulan ,mereka berdua memutuskan untuk belajar mandiri ,dan tinggal diapartemen .awalnya kedua orang tua Raka melarang dan meminta untuk tetap tinggal di rumah besar ,namun raka dan Reva merayu sehingga mereka di beri izin ,dan sekarang mereka tinggal di apartemen.

Sinar matahari pagi menyelinap lewat celah gorden putih yang belum sempat dibuka sepenuhnya. Reva duduk bersila di lantai keramik apartemen yang masih kosong—hanya ada beberapa kardus bertumpuk, sebuah kursi lipat, dan Raka yang sedang berusaha memasang rak dinding dengan muka serius tapi gerakan kikuk.

“Kamu yakin rak itu nggak bakal jatuh pas aku taruh foto kita,mas?” tanya Reva, menyilangkan tangan di depan dada, alisnya terangkat.

“Seratus persen yakin,” jawab Raka, sambil memukul paku terakhir dengan palu—dan nyaris mengenai jempolnya sendiri. “Aduh! Tapi… yakin banget.”

Reva tertawa kecil, lalu berdiri dan mendekat. “Kalau raknya jatuh, aku bakal pasang foto kamu pas lagi nyaris pingsan waktu pertama kali masak nasi—jadi gosong kayak arang.”

“Hey! Itu karena kompornya nggak ada petunjuk!” protes Raka, tapi matanya ikut tertawa. “Dan kamu malah rekam terus unggah ke story. Padahal aku lagi berusaha jadi suami idaman.”

“Suami idaman yang takut sama telur mata sapi,” goda Reva, sambil merapikan rambut Raka yang berantakan karena keringat.

Mereka baru saja pindah—resmi, sah, dan penuh semangat—ke apartemen kecil berlantai dua di kawasan Jakarta Selatan. Bukan mewah, tapi cukup untuk dua orang yang ingin belajar mandiri. Keputusan ini lahir dari obrolan malam-malam di teras rumah orang tua Raka, saat Reva berkata, “Aku pengin tahu rasanya bangun pagi dan cuma dengar suara kamu, bukan suara para pekerja dirumah yang sedang bekerja sambil mengobrol .”

Raka langsung menimpali, “Aku juga pengin tahu rasanya masak nasi gosong tanpa ada mama  yang datang bilang, ‘Nak, biar Ibu aja.’”

Orang tua Raka awalnya ragu. Bu laras ibunya, sampai menangis pelan saat Raka bilang ingin tinggal terpisah. “Kalian masih baru nikah… belum tahu apa-apa soal urusan rumah tangga.”

Tapi Pak Hartono, ayahnya, justru tersenyum bijak. “Mereka harus belajar, ma. Cinta itu bukan cuma soal pelukan. Cinta itu soal siapa yang mau cuci piring pas lagi capek, siapa yang ingat beliin obat pas pasangan demam tengah malam.”

Akhirnya, restu itu diberikan—dengan syarat: setiap Minggu, mereka wajib nginap di rumah orang tua Raka. Dan Reva harus janji tidak membiarkan Raka kelaparan.

“Janji,” kata Reva waktu itu, sambil mencium tangan Bu Laras . “Kalau perlu, aku masak nasi gosong bareng dia biar kami sehati.”

Sekarang, di tengah ruang tamu yang masih separuh kosong, mereka memulai bab baru: hidup berdua, tanpa pengawasan, tanpa bantuan—hanya mereka, cinta, dan kenyataan bahwa mereka belum tahu cara pasang gorden.

“Jadi… ini dapur kita,” kata Reva, berdiri di depan meja kecil yang baru saja dirakit. “Tempat di mana aku akan menyelamatkan nyawa kamu dari kelaparan kronis.”

“Dan ini kamar kita,” sambung Raka, menunjuk ruangan di sebelah dengan kasur yang belum dipasang seprai. “Tempat di mana aku akan berpura-pura tidur pas kamu marah karena aku lupa bayar listrik.”

Reva melempar bantal kecil ke arahnya. “Dasar! Padahal kemarin kamu bilang mau jadi kepala keluarga yang bertanggung jawab!”

“Kepala keluarga yang bertanggung jawab juga butuh istirahat, sayang ” balas Raka sambil menangkap bantal itu dan meletakkannya di kasur. “Terutama setelah seharian jadi tukang angkut kardus, tukang pasang rak, dan tukang cuci piring—meski belum ada piring yang kotor.”

Mereka tertawa, lalu duduk berdampingan di lantai, punggung bersandar pada dinding yang belum sempat dicat ulang.

“Kamu nggak takut, sayang ?” tanya Raka pelan, matanya menatap langit-langit yang retak kecil di pojok. “Tinggal sendiri… jauh dari rumah orang tua kita, jauh dari semua yang familiar.”

Reva diam sejenak, lalu menyandarkan kepalanya di bahu Raka. “Aku takut. Tapi… takutnya beda. Bukan takut kehilangan, tapi takut nggak cukup baik buat kamu.”

Raka menoleh, menggenggam tangannya erat. “Kamu udah lebih dari cukup. Kamu yang bikin aku berani minta izin pindah. Kamu yang bikin aku percaya kita bisa bangun rumah dari nol—meski nolnya masih berupa kardus dan mie instan.”

Reva tersenyum, lalu berdiri tiba-tiba. “Oke! Karena kita udah resmi jadi penghuni apartemen ini, aku punya ide.”

“Apa? Masak nasi gosong bareng sebagai ritual pembuka?”

“Lebih serius dari itu,” kata Reva, berjalan ke tengah ruangan dan berdiri seperti pembawa acara. “Aku usulkan… kita buat *peraturan rumah tangga versi Raka-Reva*.”

Raka tertawa. “Peraturan? Kita aja belum tahu cara hidup bareng, mau bikin aturan?”

“Justru karena itu! Biar nggak ribut soal siapa yang ganti tisu toilet atau siapa yang harus bangun pas alarm mati.”

“Alarm mati? Itu kejadian?”

“Kemarin! Kamu bilang ‘lima menit lagi’, terus tidur sampe jam sembilan!”

“Tapi aku mimpiin kamu,” kilah Raka, sok manis.

Reva menggeleng, tapi senyumnya tak bisa disembunyikan. “Baiklah, peraturan pertama: siapa yang bangun duluan, wajib bikin kopi—atau minimal nyalain mesin kopi.”

“Setuju. Asal kamu nggak masukin garam lagi kayak waktu pertama kali bikin kopi buat aku.”

“Itu karena aku kira itu gula halus! Warnanya mirip!”

“Mirip banget, sampai lidahku kebas tiga jam,” Raka tertawa, lalu melanjutkan, “Peraturan kedua: kalau salah satu lagi capek, yang lain wajib jadi bantal hidup.”

“Bantal hidup? Maksudnya?”

“Kamu boleh sembunyi di pelukan aku pas takut. Aku boleh bersandar di kamu pas lagi stres kerjaan.”

Reva mengangguk, matanya berbinar. “Aku tambahin: kalau salah satu marah, wajib bilang ‘aku butuh pelukan’—bukan ‘terserah kamu’.”

“Karena ‘terserah kamu’ itu bahasa kode buat ‘aku mau kamu kejar aku’,” sahut Raka, membuat Reva tertawa.

“Tepat sekali.”

Mereka terus menyusun peraturan-peraturan kecil—ada yang lucu, ada yang serius, tapi semuanya lahir dari keinginan untuk saling menjaga. Mereka menuliskannya di kertas folio bekas, lalu menempelnya di pintu kulkas (yang belum diisi apa-apa kecuali sebotol air mineral dan selai kacang).

Setelah itu, Reva mengusulkan ritual malam pertama di apartemen: makan malam sederhana—mie instan rebus dengan telur—di atas karpet, sambil menyalakan lilin wangi yang dibelinya diam-diam.

“Ini bukan restoran bintang lima, tapi ini restoran pertama kita,” katanya, menyodorkan mangkuk ke Raka.

“Dan koki pertamanya cantik banget,” balas Raka, mengedipkan mata.

Mereka makan dalam diam yang nyaman, sesekali tertawa saat mie jatuh ke lantai atau saat Raka mencoba meniru suara pelayan restoran Prancis.

“Madame… apakah Anda menikmati *spaghetti instanté* malam ini?” tanyanya dengan aksen kocak.

“Oui, monsieur… meski sausnya kurang garam,” jawab Reva, pura-pura angkuh.

Setelah makan, mereka duduk di balkon kecil yang menghadap ke jalan raya yang mulai sepi. Lampu kota berkedip seperti bintang-bintang yang jatuh ke bumi.

“Kamu ingat waktu kita pertama kali jalan bareng di taman?” tanya Reva pelan.

“Iya. Kamu bilang, ‘Aku pengin punya rumah kecil, dua jendela, dan suami yang mau masak bareng aku walau hasilnya gosong.’”

Reva tersenyum. “Dan kamu bilang, ‘Aku pengin punya istri yang nggak marah pas aku lupa hari ulang tahunnya.’”

“Tapi aku nggak akan lupa,” sambung Raka cepat. “Aku udah pasang lima pengingat di HP.”

Reva tertawa, lalu bersandar di bahunya. “Aku tahu. Tapi yang aku suka bukan karena kamu ingat… tapi karena kamu berusaha.”

Malam itu, mereka berjanji pada diri sendiri: tidak akan membandingkan rumah ini dengan rumah masa kecil mereka. Tidak akan menuntut kesempurnaan. Karena rumah bukan soal seberapa rapi atau mahal, tapi seberapa banyak tawa, maaf, dan pelukan yang tumbuh di dalamnya.

Esok paginya, Raka bangun duluan—dan benar-benar membuat kopi. Meski agak terlalu pahit, Reva meminumnya sampai habis, lalu mencium pipinya.

“Kopi terbaik yang pernah aku minum,” katanya.

“Padahal kamu cuma minum kopi instan tiga kali seumur hidup,” balas Raka, tersenyum.

“Tapi ini pertama kalinya kamu bikin buat aku.”

Hari-hari pertama penuh dengan kekacauan kecil. Raka lupa beli sabun cuci piring, jadi mereka makan dari piring yang cuma dilap pakai tisu. Reva salah pasang mesin cuci, jadi baju mereka berputar selama dua jam dan jadi setengah kering. Tapi setiap kekacauan diakhiri dengan tawa—dan pelukan.

Suatu sore, saat hujan turun deras, mereka duduk di lantai, memeluk selimut tipis, menonton film lama di laptop.

“Kita belum punya TV,” kata Reva.

“Tapi kita punya layar kecil dan pelukan besar,” jawab Raka, menariknya lebih dekat.

Reva menatap matanya. “Kamu pernah nyesel, nggak? Nikah muda, langsung pindah, hidup mandiri… semua dalam waktu yang cepat.”

Raka menggeleng. “Aku malah takut kalau kita nunggu terlalu lama. Takut kamu ketemu orang yang lebih bisa masak nasi nggak gosong.”

Reva tertawa, lalu mencium pipinya. “Nggak akan ada orang lain. Karena cuma kamu yang rela tidur di lantai bareng aku pas kasur belum datang.”

Malam itu, di tengah suara hujan yang menenangkan, mereka berdua tahu: ini bukan akhir dari kenyamanan. Ini awal dari sesuatu yang lebih dalam—cinta yang tidak hanya diucapkan, tapi dibangun, hari demi hari, dengan sabar, dengan tawa, dan dengan mie instan sebagai fondasinya.

Dan ketika Reva tertidur di pelukan Raka, dengan selimut yang kurang menutupi kaki, Raka tak langsung tidur. Ia hanya menatap wajah istrinya, lalu berbisik pelan,  

“Terima kasih sudah mau jadi rumahku.”

Di luar, hujan reda. Di dalam, cinta mereka mulai berakar.

1
Napoleon
woop , rasanya gimana tuh Raka manis pasti
Napoleon
Buruk
Napoleon
Kecewa
Jena
Asiknya baca cerita ini bisa buat aku lupa waktu
MayAyunda: terimakasih kak
total 1 replies
kawaiko
Thor, tolong update secepatnya ya! Gak sabar nunggu!
MayAyunda: siap kak 🙏
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!