Dibalik cerita kelam dan kesalahan besar, ada luka yang tersembunyi mencari kesembuhan.
"Aku membelimu untuk menjadi wanita bayaranku seorang!" -Bara-
"Pilihanku menerima tawaranmu, dan perasaanku adalah resiko dari pilihanku sendiri " -Shafa-
*
Hanya seorang gadis yang terjebak dalam dunia malam hanya untuk pengobatan Ibunya. Lalu, bertemu seorang pria kaya yang membelinya untuk menjadi wanita bayaran miliknya seorang. Bisa terlepas dari dunia malam saja, dia sudah bersyukur dan menerima tawaran itu.
Namun, sialnya dia salah melibatkan hati dan perasaan dalam situasi ini. Mencintai pria yang membayarnya hanya untuk pemuas gairah saja.
Di saat itu, dia harus menerima kenyataan jika dirinya harus pergi dari kehidupan pria itu.
"Aku harus kembali pada istriku"
Dengan tangan bergetar saling bertaut, dada bergemuruh sesak dan air mata yang mulai menggenang, Shafa hanya mampu menganggukan kepalanya.
"Ya, aku akan pergi dari kehidupanmu"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nita.P, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Harus Hamil?
Kembali datang ke Rumah Sakit untuk memulai kembali pengobatan seperti biasa. Hampir sudah terbiasa dengan rasa sakit yang dia alami setiap pengobatan. Namun Shafa hanya berusaha untuk tetap semangat sembuh.
"Apapun yang terjadi, aku harus tetap sembuh demi Ibu"
Yang ada dalam pikirannya hanya seorang Ibu yang masih memerlukannya. Shafa tidak mau jika sampai Ibunya hidup terlantar karena dia meninggalkannya sendirian di dunia ini.
Tubuh yang terasa lemas, rasa mual yang belum juga mereda. Bahkan matanya terasa berkunang-kunang sekarang. Selesai menjalani pengobatan itu, Shafa masih harus menerima rasa ini.
"Shafa, ini bukan tentang perjuangan kamu yang sia-sia. Tapi, sepertinya tetap pada pemilihan awal"
Ucapan Dokter barusan seketika membuat Shafa bergetar. Pilihan awal yang ditawarkan oleh Dokter padanya, hanya tentang operasi pengangkatan rahim. Namun, saat itu tentu Shafa menolaknya. Karena dia masih punya harapan bisa menikah dan mempunyai seorang anak. Dan akhirnya memilih untuk menjalani pengobatan yang saat ini sedang dia jalani.
"Dok, apa tidak ada cara lain lagi?" Suaranya bergetar saat dia mengatakan itu, ada perasaan cemas, takut, dan sedih yang bersamaan. "Meski aku bukanlah wanita yang baik, tapi aku juga punya harapan mempunyai kehidupan lebih baik suatu saat nanti. Bisa mempunyai anak adalah impian semua wanita yang ingin menjadi Ibu"
Hampir tercekat di tenggorokan, suaranya itu terdengar sangat parau. Air mata hampir jatuh menetes tanpa bisa di cegah. Berharap dunia masih berpihak baik sedikit saja padanya, untuk bisa membuatnya merasakan kebahagiaan sedikit saja dalam sisa hidupnya.
Tapi ... dunia terlalu kejam baginya, Shafa harus melewati banyak rintangan yang kakinya sudah lelah melewatinya. Dan untuk menyerah begitu saja, dia tidak siap. Karena Shafa harus memikirkan seorang Ibu yang masih dalam proses penyembuhan. Hal yang paling berat, ketika sandaran hidupnya sudah tidak kokoh lagi.
"Jika kamu mau, bisa melakukan sekarang untuk punya anak. Nanti kita lakukan operasi saat anak kamu lahir. Apa mau coba bayi tabung saja?"
Shafa terdiam, sebuah keputusan yang harus dia ambil di saat hidupnya sedang kacau.
"Pikirkan saja secara baik-baik, tapi rahim kamu benar-benar akan sulit untuk di selamatkan meski terus melakukan pengobatan. Pada akhirnya tetap harus melakukan operasi pengangkatan rahim. Jika kamu masih ingin mempunyai seseorang yang menjadi penerus kamu, maka bisa kamu pikirkan untuk hamil sekarang"
"Iya Dok, nanti aku pikirkan dulu"
Saat kembali ke rumah, Shafa terus memikirkan tentang ucapan Dokter. Jika dia mengambil keputusan besar itu, mungkin dia akan bertahan dan bisa mempunyai anak juga. Ada harapan Shafa hidup lebih lama.
"Sekarang pilihannya hanya antara aku ikhlas tidak akan pernah punya anak dari rahimku sendiri. Atau aku harus menerima saran dari Dokter untuk hamil agar bisa mempunyai anak, setidaknya satu saja"
Shafa yang diam melamun di sofa, pikirannya di penuhi segala perkataan Dokter lagi. Antara dua pilihan yang entah dia harus memilih yang mana, dan entah pilihan mana yang terbaik menurutnya.
"Kau kenapa?"
Shafa mengerjap pelan, terkaget saat melihat Bara yang berdiri di depannya. Tidak menyadari kapan pria itu datang, karena Shafa yang tenggelam dalam lamunan.
"Eh, kok udah pulang?"
Bara menarik dasinya untuk sedikit melonggarkan. Lalu, duduk di samping Shafa. "Aku janji untuk pulang sebelum makan malam. Apa kau lupa? Atau bahkan kau belum siap untuk membuat makan malam?"
Shafa mengerjapkan matanya, dia lupa tentang itu. Langsung melirik jam tangannya. "Aku beneran belum siapin apa-apa, tapi masih ada waktu. Bahan makanan di dapur juga sudah habis, aku harus pergi belanja dulu ke swalayan di bawah"
Ketika Shafa berdiri, pusing di kepalanya kembali menyerang. Rasa pusing yang sampai semua terasa hampir gelap. Shafa berpegangan pada pegangan sofa, menahan tubuhnya agar tidak limbung.
"Kau kenapa?"
Shafa menggeleng pelan, tidak ingin terlihat lemah oleh Bara. "Tidak papa, aku pergi dulu belanja untuk makan malam kita. Kamu mau makan aa malam ini?"
"Apa saja"
Shafa mengangguk, dia akhirnya pergi ke bawah Apartemen. Meski tatapan matanya masing berkunang-kunang. Tapi dia berusaha untuk tetap berjalan di setiap lorong mengambil beberapa barang dan bahan makanan yang dia butuhkan. Mendorong kereta belanja dengan sisa tenaganya. Terus mengedip-ngedipkan matanya agar rasa pusing berkurang.
"Ah" Shafa hampir saja menabrak seseorang yang sedang berdiri memilih barang. Beruntung dia sempat menghentikan kereta belanjanya. "Maaf Mas, saya tidak fokus"
Pria itu menoleh, menatap Shafa dengan kening berkerut. Shafa sedikit menyipitkan matanya, cukup kaget juga saat menyadari siapa yang berada di depannya sekarang.
"Tuan Davin?"
"Sedang apa kau disini sendirian?"
"Belanja bahan makanan, kenapa Tuan ada disini?"
Davin tersenyum tipis, dia menatap Shafa dari atas sampai bawah. Wajah pucatnya tidak luput dari pandangan Davin. "Kau tidak tahu ya kalau aku juga punya unit Apartemen disini"
"Ah begitu ya" Mereka memang dari kalangan berada, seharusnya tidak aneh jika mereka punya unit Apartemen disini.
"Shafa, aku boleh ikut makan denganmu? Sepertinya kau akan masak besar"
Shafa tersenyum, dia sudah terbiasa dengan mata laki-laki yang menatapnya penuh arti. Direndahkan, di anggap perempuan yang mudah di dapati, sudah menjadi hal lumrah yang Shafa dapatkan setiap hari selama 5 tahun terakhir.
"Boleh, Tuan Davin 'kan temannya Tuan Bara. Jadi kenapa tidak boleh jika hanya ikut makan bersama"
Satu alis Davin terangkat, seolah cukup terkejut dengan apa yang Shafa ucapkan barusan. "Kalau begitu biar aku saja yang bayar semuanya"
"Baik, terima kasih Tuan"
Shafa mengikuti arah permainan Davin. Ketika selesai berbelanja, mereka pergi menuju lantai dimana Apartemen Bara berada. Di dalam lift keduanya masih hening, Shafa berpura-pura tidak tahu jika Davin sedang menatapnya dengan lekat saat ini.
"Shafa, kenapa kamu mau menjadi wanita simpanan Bara? Apa kau tidak tahu jika Bara sudah menikah?"
"Memangnya ada pilihan bagi perempuan seperti aku? Mau itu pria beristri atau tidak, selama itu menguntungkan bagi kita, aku ambil"
"Jadi, berapa Bara membayarmu? Aku juga bisa-"
"Aku sudah menjadi perempuan bayaran Tuan Bara seorang. Jadi, sudah tidak bisa berbagi dengan yang lain. Jika Tuan Davin mau, cari yang lain saja. Tapi aku rasa tidak mungkin Tuan Davin membayar seseorang seperti Tuan Bara yang ingin menjadikan aku perempuan bayaran miliknya seorang. Tuan Davin itu orangnya gampang bosan, iya 'kan?"
Davin tertawa kecil mendengarnya, bagaimana Shafa yang bisa langsung tahu kepribadiannya.
"Kau jeli juga ya, padahal kita baru beberapa kali saja bertemu"
Shafa tersenyum tipis, mungkin bersama Davin memang baru beberapa kali bertemu. Tapi, Shafa sudah sering menemui pria seperti Davin sebelumnya.
"Sebaiknya cari yang hanya semalam saja, biar Tuan tidak bosan"
Davin kembali tertawa, dia mengusap kepala Shafa dengan gemas. Malah merasa jika Shafa ini seperti seorang saudara perempuan yang begitu tahu tentang kepribadiannya.
"Pantas Bara tertarik untuk membayarmu jadi miliknya seorang. Kau memang berbeda"
Shafa hanya tersenyum tipis tanpa mengatakan apapun lagi.
"Apa yang kalian lakukan?"
Ketika pintu lift terbuka dan Bara berdiri tepat di depan mereka sekarang. Tatapan matanya menyala penuh amarah. Dia menarik tangan Shafa dengan kasar.
"Bar, kau jangan kasar seperti itu!"
"Kau diam berengsek!"
Bersambung