Gendis baru saja melahirkan, tetapi bayinya tak kunjung diberikan usai lelahnya mempertaruhkan nyawa. Jangankan melihat wajahnya, bahkan dia tidak tahu jenis kelamin bayi yang sudah dilahirkan. Tim medis justru mengatakan bahwa bayinya tidak selamat.
Di tengah rasa frustrasinya, Gendis kembali bertemu dengan Hiro. Seorang kolega bisnis di masa lalu. Dia meminta bantuan Gendis untuk menjadi ibu susu putrinya.
Awalnya Gendis menolak, tetapi naluri seorang ibu mendorongnya untuk menyusui Reina, putri Hiro. Berawal dari menyusui, mulai timbul rasa nyaman dan bergantung pada kehadiran Hiro. Akankah rasa cinta itu terus berkembang, ataukah harus berganti kecewa karena rahasia Hiro yang terungkap seiring berjalannya waktu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika Ssi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34. Takdir yang Belum Selesai
Reina menggenggam ujung baju Gendis dengan jari-jari kecilnya, seolah mengenali sentuhan itu. Dalam pelukan itu, tubuh Gendis bergetar hebat. Semua penyesalan, semua luka, semua waktu yang hilang sirna bersama detak kecil di dadanya.
Hiro berdiri beberapa meter di belakang, menatap adegan itu tanpa suara. Di matanya, ada kebahagiaan yang tak bisa dia sembunyikan. Senyum kecil muncul di wajahnya meski air mata jatuh di pipi.
Hiro tahu, momen itu adalah akhir dari badai panjang yang hampir menghancurkan mereka semua. Petugas wanita yang masih berdiri di dekat pintu menunduk haru, mengusap sudut matanya. Tak ada satu pun kata yang mampu menggambarkan keindahan sederhana dari pelukan seorang ibu kepada anaknya. Hanya keheningan dan doa yang terucap tanpa suara.
***
Suara roda koper beradu lembut di lantai bandara Haneda. Gendis berjalan perlahan, langkah perempuan itu mantap meski dadanya terasa berat. Di gendongan kain yang menempel di dadanya, Reina tertidur pulas. Pipinya yang bulat sesekali bergeser ketika pesawat mendarat di kejauhan.
Hiro berjalan di sampingnya tanpa banyak bicara. Dia hanya sesekali menoleh, memastikan Gendis baik-baik saja. Senyum kecil yang sesekali muncul di wajah Gendis justru membuat dadanya semakin nyeri, seperti menahan sesuatu yang tak bisa diubah.
“Masih yakin tidak mau menunggu?” Suara Hiro akhirnya terdengar.
Gendis berhenti sejenak di depan papan jadwal keberangkatan. Tatapannya tidak menuduh, tetapi menampilkan rasa lelah.
“Kalau aku tetap di sini, aku tidak akan benar-benar memulai hidupku lagi.”
Hiro menarik napas dalam, lalu mengangguk pelan. “Setidaknya biarkan aku antar sampai pintu keberangkatan.”
Gendis menatapnya lama, sebelum akhirnya tersenyum samar. “Kamu memang tidak pernah tahu kapan harus berhenti peduli, ya?”
“Sayangnya, tidak.” Hiro menunduk sedikit, menatap Reina yang masih tertidur.
“Dia terlihat tenang, tidak tahu apa pun tentang semua kekacauan yang menimpa ibunya.”
“Aku ingin dia tumbuh tanpa bayang-bayang masa lalu. Jadi, di masa depan simpan semuanya, ya? Jangan sampai dia tahu.” Suara Gendis merendah.
Ketika pengumuman boarding menggema, waktu seolah berhenti di antara mereka. Gendis membetulkan posisi selendang di pundaknya. Sementara Hiro memasukkan tangan ke saku jaket, menahan keinginan untuk memeluknya.
“Kalau nanti aku sudah pindah ke cabang Jakarta, aku akan ....”
“Hiro,” potong Gendis lembut.
“Jangan janji dulu. Selesaikan saja semuanya yang ada di sini.”
“Kamu masih sama seperti dulu. Selalu memilih jalan yang paling berat untuk dilewati sendirian.” Hiro menatap Gendis begitu lama.
“Karena aku tak mau lagi menyusahkan siapa pun,” jawab Gendis lirih sambil menunduk, mencium kening Reina.
“Terima kasih, Hiro. Terima kasih untuk semuanya.”
Ketika Gendis melangkah menuju pemeriksaan tiket, Hiro hanya bisa berdiri diam. Dalam hatinya, ada keinginan untuk berteriak. Memanggil namanya, meminta agar Gendis tak pergi. Akan tetapi, yang keluar hanyalah bisikan pelan yang nyaris tenggelam dalam hiruk-pikuk bandara.
“Jaga dirimu, Ndis.”
Gendis tak menoleh. Dia hanya mengeratkan pelukan pada Reina dan terus berjalan.
***
Jakarta menyambut dengan gerimis sore yang lembut. Dari jendela taksi, Gendis melihat bayangan kota yang sempat dia tinggalkan. Gedung-gedung yang sama, jalanan yang padat, tetapi semuanya terasa asing.
Rumah kontrakan kecil di daerah Pasar Minggu itu sudah disiapkan oleh Ayaka. Dindingnya kusam dengan perabotan seadanya. Namun, bagi Gendis tempat itu terasa seperti titik nol—tempat untuk mulai lagi tanpa masa lalu yang membayangi.
Malamnya, setelah menidurkan Reina, Gendis duduk di depan meja kecil yang hanya diterangi lampu meja. Di hadapannya, ada secangkir teh dingin dan laptop yang baru saja dia hidupkan setelah berbulan-bulan.
Jemari Gendis mulai mengetik. Dia menelusuri situs lowongan kerja, mengirim portofolio lama ke sana-sini—firma arsitektur, konsultan desain, bahkan proyek freelance kecil yang membayar seadanya.
“Aku tidak bisa keluar rumah terlalu lama,” gumam Gendis pada diri sendiri.
“Reina masih butuh aku, dan aku belum sanggup menyewa pengasuh untuknya. Terlebih kejadian itu membuatku sedikit trauma dan tidak bisa membiarkan sembarang orang merawat Reina.”
Di sela malam yang hening, suara tangisan bayi menggema pelan. Gendis menoleh, lalu bergegas untuk bangkit. Dia menggendong Reina, menepuk-nepuk pelan punggungnya sambil berbisik lembut.
“Ssst … tenang, Mama di sini.”
Reina perlahan diam, kepalanya bersandar di bahu ibunya. Gendis tersenyum dalam diam. Meski lelah, meski belum tahu bagaimana masa depan mereka, ada kehangatan kecil yang tumbuh di dadanya.
Hari-hari berikutnya terasa seperti pengulangan tanpa ujung. Bangun pagi, menyiapkan susu, mencuci, menggambar sketsa, lalu mengirim lamaran. Semua dilakukan dalam satu ruang yang sama.
Reina tumbuh cepat. Bayi itu mulai bisa tengkurap, mulai mengenali suara ibunya. Setiap kali Gendis berbicara, Reina akan menatapnya dengan mata bulat penuh rasa ingin tahu.
“Reina, Mama lagi kerja, ya,” kata Gendis sambil menggerakkan tetikus, sementara di sebelah laptopnya, Reina bermain dengan mainan warna-warni.
“Kamu harus tidur siang, biar Mama bisa kirim desainnya.”
Namun, Reina hanya tertawa kecil sehingga membuat Gendis tak kuasa menahan senyum. Di luar, matahari Jakarta terasa menyengat, tetapu di dalam rumah waktu seolah berhenti di antara tumpukan sketsa dan suara bayi.
Setiap malam Gendis selalu memeriksa saldo rekening. Ketika melihat angka yang tampil pada layar ponsel, napasnya tercekat. Uang tabungan terus menipis.
“Harus ada yang aku lakukan,” gumam Gendis di depan cermin seraya menatap wajahnya yang mulai pucat.
“Aku tidak boleh menyerah sekarang!”
Hari itu, hujan turun sejak pagi. Gendis duduk di ruang tamu dengan laptop terbuka, mengenakan sweater berwarna pastel. Reina tertidur di ayunan kecil di samping meja. Gendis baru saja mengirimkan lamaran terakhirnya minggu lalu—yang ke dua puluh tiga.
Sudah hampir sebulan sejak Gendis kembali ke Jakarta. Tak ada panggilan kerja dan kabar dari perusahaan yang dia kirimi lamaran. Namun, entah mengapa hari itu ada firasat berbeda.
Firasat itu pun terbukti. Pukul dua siang, ponselnya bergetar pelan. Sebuah nomor asing tertera pada layar.
“Halo, ini dengan Ibu Gendis Pramesthi?” suara di ujung sana terdengar formal, tetapi hangat.
“Saya dari Lumina Design Consultant. Kami sudah menerima portofolio Anda. Bolehkah kami melakukan wawancara daring sore ini?”
Gendis terdiam sesaat. Jantungnya berdegup cepat. Gendis sempat tergagap sampai akhirnya suara di ujung panggilan menyadarkannya.
“Tentu saja, sore ini jam berapa?”
“Pukul empat, Bu. Proyek kami bersifat remote, jadi Anda bisa bekerja dari rumah. Kami tertarik dengan konsep desain tropis minimalis yang Anda kirimkan.”
Setelah panggilan itu berakhir, Gendis menatap layar ponselnya lama. Lalu tertawa pelan. Sebuah tawa yang pecah di antara tangis bahagia.
“Reina, kamu dengar itu?” kata Gendis sambil menunduk pada bayi kecil di ayunan.
“Mama dapat panggilan kerja.”
Reina membuka matanya, menguap kecil, lalu tertawa tanpa tahu arti kabar itu. Namun, bagi Gendis, suara tawa itu terasa seperti restu.
Semua bersumber dari otak jahat Reiki