Setelah lama merantau, Nira pulang ke kampung halaman dengan membawa kabar mengejutkan. Kehamilannya yang sudah menginjak enam bulan.
Nira harus menerima kemarahan orang tuanya. Kekecewaan orang tua yang telah gagal mendidik Nira setelah gagal juga mendidik adiknya-Tomi, yang juga menghamili seorang gadis bahkan saat Tomi masih duduk di bangku SMA.
Pernikahan dadakan pun harus segera dilaksanakan sebelum perut Nira semakin membesar. Ini salah. Tapi, tak ingin lebih malu, pernikahan itu tetap terjadi.
Masalah demi masalah pun datang setelah pernikahan. Pernikahan yang sebenarnya tidak dilandasi ketulusan karena terlanjur ‘berbuat’ dan demi menutupi rasa malu atas aib yang sudah terlanjur terbuka.
Bisakah pernikahan yang dipaksakan karena sudah telanjur ada ‘orang dalam’ perut seperti itu bertahan di tengah ujian yang mendera?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yesstory, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pondasi yang Salah
“Aku ingin cerai, Pak.”
Mardi terhenyak. Tubuhnya mematung.
“Aku lelah menghadapinya, Pak. Dia kasar padaku. Nggak cuma tubuhku yang sakit, tapi hatiku juga. Aku sudah sangat lelah untuk bertahan lebih lama lagi. Setelah masa nifasku selesai, aku akan mendaftarkan perceraian kami di pengadilan agama.” Nira lanjut bicara, tanpa menoleh pada Mardi. Matanya menatap jauh ke depan dengan senyuman getir.
“Nira?”
Nira menggeleng lesu,” Aku tahu Bapak kecewa. Sama kecewanya saat aku bilang sudah hamil enam bulan sebelum pernikahan itu. Aku tahu, aku bukan lagi anak yang baik sejak saat itu. Aku bukan wanita yang baik. Dan sekarang pun, aku bukan istri yang baik. Tapi, dia juga bukan suami yang baik. Dia kasar, Pak. Dia …” Nira berhenti, napasnya tercekat, mengingat betapa kasar Riki dalam menyentuhnya waktu itu.
Mardi terdiam. Ia menggeleng pedih, tak menyangka bahwa pernikahan putrinya di pinggir jurang perceraian di usia yang baru satu setengah tahun.
Dan lebih parahnya lagi, alasan Nira ingin bercerai karena Riki berbuat kasar padanya. Mardi seorang pria. Ia seorang Bapak. Tentu ia paham betul apa yang dimaksud kasar oleh putrinya.
Nira memiringkan tubuhnya, menghadap Mardi dengan mata basah,” Maafkan aku, Pak. Maafkan aku karena perbuatanku, aku kembali membuat malu Bapak sama Ibu. Andai saja aku nggak tergoda rayuannya. Andai saja aku tak menurut begitu saja, tunduk pada jerat setan dalam dirinya, mungkin aku nggak akan mengalami semua ini. Mungkin aku bisa bahagia. Semua ini membuatku menyesal, Pak. Aku menyesal.”
Nira menangis tergugu. Menunduk dengan bahu bergetar. Pagi ini, di hadapan cinta pertamanya, Nira menyesal. Menyesal karena tak bisa menjaga dirinya sendiri dan menyesal karena mengkhianati kepercayaan orang tuanya.
Mardi berdiri. Menarik tubuh Nira dan memeluknya erat. Memberi ketenangan walau hatinya juga remuk melihat Nira, putri tersayangnya menangis seperti ini.
Jika Nira sakit hati, maka hati Mardi lebih sakit. Ia yang membesarkan Nira dengan kedua tangannya. Ia yang menjaga dan mengasuh Nira sejak bayi karena setelah Sinta melahirkan, Sinta kembali kuliah untuk meneruskan pendidikan sarjananya. Mau tak mau Mardi lah yang menjadi pengasuh untuk putri mereka.
Saat Nira pulang dengan membawa kabar telah hamil enam bulan, Mardi juga orang pertama yang melayangkan tangan menampar pipi Nira dengan air mata marah dan kecewa. Walau setelahnya ia menyesali tindakannya itu.
Dan sekarang, saat Nira mengatakan Riki berbuat kasar padanya, ia juga marah. Tapi, ia tak bisa melampiaskan amarahnya karena kembali lagi Nira lah yang memilih Riki sebagai suami.
Mardi bahkan tak mengenal Riki sebelumnya. Tiba-tiba saja Riki menjadi menantunya. Tanpa berkenalan, tanpa tahu sifatnya, Riki menjadi menantu resminya.
Nira terus menangis di bahu Mardi. Di dalam pelukan ternyaman sepanjang masa. Pelukan yang tak kan tergantikan oleh apapun di dunia. Pelukan seorang Bapak pada anaknya.
Mardi mengusap pelan rambut Nira. Matanya berair, ikut merasakan betapa terlukanya Nira selama ini dan memendam semuanya sendirian.
Setelah sedikit merasa lebih tenang, Mardi melonggarkan pelukannya. Ia lantas mengajak Nira masuk ke dalam rumah. Rumah yang lengang. Riki berangkat bekerja, Sinta entah kemana bersama Mbak Dewi dan cucu-cucunya.
Mardi dan Nira duduk di sofa ruang tamu, duduk bersebelahan.
“Nira, pernikahan itu ibadah terpanjang selama hidup. Itulah sebabnya untuk mendapat keberkahan dan ridho Tuhan, kita mesti bersabar sampai dipertemukan dengan jodoh terbaik. Jodoh terbaik itu adalah jodoh dari Tuhan. Jodoh yang dipertemukan karena memang sudah waktunya bertemu. Jodoh yang kadang bukan keinginan kita tapi Tuhan yang tentukan. Jodoh yang seperti itu kelak saat menikah, pernikahan mereka direstui Tuhan, dipermudah dalam menghadapi setiap ujian pernikahan, dan dikuatkan oleh Tuhan saat hati merasa lelah hingga ingin berpisah.”
Mardi menatap lembut putrinya,” Tak ada pernikahan yang sempurna, Nak. Yang ada hanya keyakinan dua orang yang berjalan lurus satu tujuan. Saling memahami, saling percaya, dan menekan ego masing-masing agar bisa terus selaras dengan tujuan menikah sekali seumur hidup. Pondasinya harus kuat di awal agar sebuah rumah tangga tak goyah walau angin kencang menerpa.”
Nira terdiam. Wajahnya tertunduk, mendengar dan meresapi setiap kalimat yang terlontar.
“Pernikahanmu sudah salah sejak awal, Nira. Kalian menikah karena kesalahan. Tak ada pondasi kuat itu. Yang ada hanya ketakutan. Takut ketahuan telah hamil duluan. Walau sekarang rasa takut itu sudah berubah jadi acuh tak acuh. Toh sudah menikah ini.”
“Tapi, pernikahan seperti itu rentan kena badai. Jangankan badai. Diterpa angin sedang saja, bisa goyah, bahkan runtuh. Alasan kalian menikah karena sudah ada anak di dalam rahimmu. Tak ada cinta di dalamnya. Yang ada hanya rasa takut dan segera ingin menikah.”
Mardi menoleh, tersenyum,” Nira?”
Nira mengangkat wajahnya perlahan.
“Kamu menyesal, itu tak guna lagi sekarang, Nak. Semuanya sudah terjadi. Bapak nggak akan menyuruhmu bertahan atau bercerai. Semua keputusan ada di tanganmu karena kamu yang menjalaninya. Tapi, saran Bapak, ajak Riki bicara baik-baik. Ambil keputusan setelah kalian menimbang baik-baik. Bagaimanapun juga, kalian punya dua anak. Keduanya masih kecil. Masih membutuhkan kehadiran orang tuanya. Masih membutuhkan kasih sayang kedua orang tuanya dalam satu atap. Pikirkan itu baik-baik dengan Riki. Kalian menikah karena kemauan kalian sendiri. Kalaupun memang harus berpisah, maka itu adalah keputusan terakhir setelah dirasa tak menemukan solusi dari masalah kalian.”
Nira menggeleng,” Aku nggak mau ngomong sama Riki, Pak. Aku ingin langsung menceraikannya. Aku tahu bagaimana sifat Riki. Dia pasti menolak menceraikan aku. Sementara aku terus tersiksa selama bersamanya. Aku nggak mau lagi bertengkar dengannya dan berujung dikasari lagi. Sakit, Pak.”
Mardi tersenyum lembut,” Cobalah sekali saja bicara berdua. Dalam keadaan tenang saat emosi kalian sudah turun. Jangan mengambil keputusan sepihak. Keputusan yang diambil saat sedang marah atau kecewa, akhirnya tak kan pernah baik, Nak.”
Nira terdiam.
“Kamu sudah pernah ajak Arsa ke rumah orang tua Riki?” tanya Mardi.
Nira menggeleng.
“Ajak Arsa dan Alvin ke sana. Mereka juga nenek dan kakeknya. Jangan sampai mereka berpikir kalau kamu tak mengijinkan Arsa dan Alvin mengenal kakek dan nenek dari Ayah mereka.”
Nira kembali menunduk, tak menjawab.
“Nira?”
“Mereka saja tak pernah mau datang ke sini bertemu cucu-cucunya langsung. Kami hanya bicara lewat video call. Mereka bilang rindu, tapi saat aku bilang aku mau ongkosin mereka buat datang ke sini, mereka tetap nggak mau. Mereka nggak peduli, Pak.” Nira berkata pelan.
“Kamu yang muda, kamu yang harus datang. Mereka orang tuamu juga. Mereka bilang rindu, berharap kalian datang ke rumah mereka. Menginap semalam dua malam, mereka pasti sudah bahagia. Bapak bilang begini karena Bapak juga orang tua. Rasanya berbeda saat orang tua datang menemui anaknya dan anak datang menemui orang tuanya.”
Nira menatap Mardi. Rasa enggan terlihat jelas dari mata Nira. Tapi, melihat tatapan teduh Mardi, Nira tak berani membantah. Mungkin ada baiknya ia mempertemukan Arsa dan Alvin dengan orang tua Riki sebelum Nira menceraikan Riki.
“Bapak akan bicara dengan Ibumu tentang ini. Mungkin Ibumu bisa memberi saran sebagai seorang wanita dan seorang istri. Sebelum kamu pergi ke pengadilan, bicaralah dengan Riki. Tenangkan hatimu dulu, Nak. Kalau memang keputusanmu adalah tetap berpisah dengannya, setidaknya kamu memutuskan saat hatimu lapang dan telah dipikirkan matang-matang.”
Nira terdiam, menatap lantai.