Shanum dan Wira Wiguna sudah menikah selama 6 tahun dan memiliki seorang anak bernama Mariska namun kebahagiaan mereka harus diuji saat Niar, mertua Shanum yang sangat benci padanya meminta Wira menikah lagi dengan Aura Sumargo, wanita pilihannya. Niar mau Wira menikah lagi karena ingin memiliki cucu laki-laki yang dapat meneruskan bisnis keluarga Wiguna. Saat itulah Shanum bertemu Rivat, pria yang membuatnya jatuh cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tangis Pilu Setelah Perpisahan
Tudingan Bu Dini membuat suasana di depan rumah Pak Pamuji semakin gaduh. Shanum hanya bisa menangis. Namun, Bu Dini tidak berhenti. Bu Dini masih belum puas menghina Shanum dengan kata-kata pedas. Ia terus melancarkan serangan verbal, menuduh Shanum sebagai wanita murahan yang merebut Rivat.
"Lihat saja, sebentar lagi Rivat akan jatuh cinta pada wanita ini! Dia janda, dia pasti akan menggunakan segala cara untuk menggoda Rivat!" teriak Bu Dini, suaranya melengking. "Wanita seperti ini hanya membawa sial!"
Mendengar keributan itu, Bu Roro keluar dari dalam rumah. Matanya memerah, tangannya mengepal. Bu Roro sudah menganggap Shanum sebagai anaknya sendiri, dan ia tidak terima Shanum diperlakukan seperti ini. Dengan langkah cepat, ia menghampiri Bu Dini.
"Dini! Cukup! Kau sudah kelewatan!" teriak Bu Roro, suaranya penuh amarah. "Apa salah Shanum padamu?! Kenapa kau terus menghinanya?!"
Bu Dini terkejut, ia tidak menyangka Bu Roro akan keluar dan membelanya. "Roro! Kau membela wanita ini?! Kau tidak malu?! Dia itu janda, dia menumpang di rumahmu!"
"Aku tidak malu! Shanum adalah anakku! Dia adalah keluarga kami!" balas Bu Roro, ia menatap Bu Dini dengan mata menyalang. "Kau yang harusnya malu! Kau menjelek-jelekkan orang tanpa bukti! Apa kau tidak punya kerjaan lain selain mengurus hidup orang?!"
Para tetangga yang melihat itu, hanya bisa terdiam. Mereka tidak menyangka Bu Roro yang biasanya ramah dan lembut, bisa seberani ini.
Keributan pun terjadi. Bu Roro dan Bu Dini beradu mulut, saling berteriak dan menghina. Bu Roro membela Shanum, sementara Bu Dini terus menyerang Shanum.
"Kau dan Rivat pasti sudah berzina! Aku tahu!" teriak Bu Dini, ia menunjuk Rivat.
Rivat yang mendengar itu, tidak bisa menahan amarahnya. "Jaga ucapan Anda, Bu Dini! Saya tidak akan membiarkan Anda memfitnah kami!"
"Fitnah?!" Bu Dini tertawa sinis. "Semua orang juga tahu! Wanita janda dan pria perjaka tinggal di satu rumah! Apa itu bukan fitnah?!"
"Shanum sudah aku anggap anak sendiri!" teriak Bu Roro. "Kau tidak tahu apa-apa! Kau hanya tahu menuduh dan menghina! Kau punya bukti?! Kalau tidak, tutup mulutmu!"
Bu Dini terdiam, ia tidak bisa membantah. Ia tidak punya bukti. Namun, ia tidak mau kalah. Ia terus memaki, membuat keributan itu semakin gaduh. Namun, para tetangga yang melihat amarah Bu Roro, kini mulai berani membela Shanum. Mereka tahu, Shanum adalah wanita baik-baik, dan mereka tahu, Bu Dini adalah tetangga yang julid. Mereka mulai mengusir Bu Dini.
Bu Dini yang merasa kalah, hanya bisa pergi. Namun, ia tidak menyerah. Ia akan mencari cara lain untuk menghancurkan Shanum. Sementara itu, di tengah keributan yang mulai mereda, Bu Roro memeluk Shanum, mencoba menenangkannya. Shanum hanya bisa menangis, hatinya terasa sakit, namun ia juga merasa bersyukur. Ia punya keluarga yang selalu melindunginya. Dan itu, jauh lebih berharga dari apa pun.
****
Anne duduk di kantornya, matanya menatap tajam ke layar laptop. Berhari-hari ia tidak tidur, memburu Niar yang menjadi buronan. Ia menggunakan semua koneksi dan uangnya untuk menemukan Niar. Akhirnya, ada kabar baik yang datang dari anak buahnya.
"Nyonya Anne, kami menemukannya," kata seorang detektif swasta melalui telepon. "Niar dan Aura berada di sebuah villa di pinggir kota."
Mendengar itu, Anne segera memerintahkan anak buahnya untuk bergerak. Ia ingin Niar tertangkap. Ia ingin Niar membayar atas kematian kakaknya, Helmi.
Namun, saat anak buah Anne tiba di villa, Niar dan Aura sudah menyadari kehadiran mereka. Mereka berdua segera melarikan diri, berlari ke dalam hutan di belakang villa. Anak buah Anne mengejar mereka.
Niar dan Aura berusaha kabur, namun hanya Aura saja yang tidak dapat kabur. Aura tersandung, dan ia terjatuh. Niar, yang melihat Aura jatuh, tidak peduli. Ia terus berlari, meninggalkan Aura sendirian. Niar bisa melarikan diri.
Anak buah Anne berhasil menangkap Aura. Mereka membawanya ke kantor Anne. Anne yang sudah menunggu dengan tidak sabar, melihat Aura dibawa masuk. Wajahnya dipenuhi amarah. Ia berharap Niar yang dibawa, bukan Aura.
Anne murka karena bukannya Niar yang dibawa. Ia mendekati Aura, matanya menyalang.
"Di mana Niar?!" bentak Anne, suaranya menggelegar.
Aura hanya diam, ia ketakutan. Ia tahu Anne sangat marah. Ia tidak tahu apa yang akan Anne lakukan padanya.
"Jawab! Di mana Niar?!" teriak Anne lagi.
Aura tetap diam. Ia tidak mau memberitahu Anne di mana Niar bersembunyi.
Anne kehilangan kesabarannya. Dengan tangan yang gemetar, Anne menampar Aura dengan keras. "Plak!" Suara tamparan itu nyaring, membuat Aura terkejut.
"Aku tanya, di mana Niar?!" teriak Anne.
Aura tetap diam, air matanya menetes. Ia tidak bisa berkata-kata. Anne kemudian menarik rambut Aura dengan paksa.
"Aduh! Sakit!" teriak Aura.
"Aku tidak peduli! Aku akan membuatmu menderita! Aku akan membuatmu merasakan apa yang Niar lakukan pada kakakku!" balas Anne, suaranya penuh dendam.
Anne terus mengancam Aura supaya memberitahu di mana Niar sembunyi. Ia tahu, Aura adalah kunci untuk menemukan Niar. Aura, yang ketakutan, akhirnya menyerah. Ia tidak bisa lagi menahan rasa sakit. Ia tidak mau mati di tangan Anne.
"Baik! Baik! Aku akan beritahu!" isak Aura. "Tapi tolong... jangan sakiti aku."
Anne melepaskan rambut Aura, ia menatap wanita itu dengan dingin. "Cepat katakan! Di mana Niar?"
Aura kemudian menceritakan semuanya. Ia memberitahu Anne di mana Niar bersembunyi, dan ia juga menceritakan semua kejahatan yang Niar lakukan. Anne mendengarkan semua itu dengan amarah yang membara. Ia tahu, ia harus segera bergerak.
Anne segera memerintahkan anak buahnya untuk kembali bergerak. Ia akan membalaskan dendamnya. Ia akan memastikan Niar mendapatkan hukuman yang setimpal. Dan ia tidak akan membiarkan Niar melarikan diri lagi. Perang baru telah dimulai, dan kali ini, Anne akan menjadi pemenang.
****
Wira duduk di kamarnya yang mewah, namun terasa hampa. Hatinya dipenuhi rasa sakit dan penyesalan yang mendalam. Perceraiannya dengan Shanum kini sudah resmi, dan Shanum sudah pergi dari hidupnya. Ia menatap sebuah foto kecil di tangannya, foto dirinya, Shanum, dan Mariska. Senyum bahagia di foto itu kini terasa seperti mimpi buruk. Ia baru sadar, ia baru ingat semuanya, saat semua sudah hancur.
"Shanum..." bisik Wira, air matanya menetes. Fakta bahwa mamanya sendiri yang membuatnya amnesia membuat Wira merasa marah dan tidak terima. Ia tidak menyangka Niar bisa sekejam itu. Niar tidak hanya menghancurkan pernikahannya, tetapi juga merenggut kebahagiaannya.
Wira mengepalkan tangan, amarahnya meluap-luap. Ia membanting foto itu ke meja, lalu berteriak. "Mama! Kenapa?! Kenapa Mama melakukan ini?!" teriak Wira, suaranya parau.
Ia merasa dikhianati, tidak hanya oleh Niar, tetapi juga oleh dirinya sendiri. Ia merasa bodoh, ia merasa tidak berdaya. Ia tidak bisa melindungi Shanum, ia tidak bisa melindungi Mariska, dan ia juga tidak bisa melindungi papanya.
Wira bangkit, ia berjalan ke cermin. Ia menatap bayangan dirinya, matanya kosong, dipenuhi rasa penyesalan. Ia melihat seorang pria yang gagal, seorang pria yang sudah kehilangan segalanya.
"Aku bodoh..." bisik Wira. "Aku tidak bisa melindungi mereka... aku tidak bisa..."
Wira jatuh berlutut, ia tidak bisa lagi menahan rasa sakit di hatinya. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Shanum sudah pergi, Mariska sudah pergi, dan papanya sudah meninggal. Hidupnya kini terasa hampa, kosong, dan tidak berarti.
Ia mengingat semua kebohongan yang Niar katakan, semua manipulasi yang Niar lakukan, dan ia juga mengingat semua ancaman Niar pada Shanum. Wira merasa jijik pada dirinya sendiri, karena ia pernah percaya pada Niar.
"Aku akan membalas semuanya, Ma," bisik Wira, matanya dipenuhi dendam. Wira marah dan tak terima dengan semua yang Niar lakukan. "Aku akan pastikan kamu mendapatkan hukuman yang setimpal."