John adalah seorang CEO yang memiliki perusahaan yang sukses dalam sejarah negara Rusia, Keeyara menikah dengan John karena perjodohan orang tua mereka. Pernikahan mereka hanya jadi bumerang bagi Keeyara, John sangat kasar kepada Keeyara dan dia sering menjadi pelampiasan amarahnya ketika John sedang kesal. John juga memiliki kekasih dan diam-diam menikahi kekasihnya itu, Arriel Dealova.
Istri kedua John seringkali cemburu kepada Keeyara karena ia memiliki julukan sebagai 'Bunga Lilac' karena memiliki wajah yang cantik yang selalu menarik perhatian para pemuda. Bulan demi bulan berlalu dan Keeyara mulai kehilangan emosi dan bahkan tidak merasakan apapun saat melihat John dan Arriel sedang menggendong bayi mereka di depan wajahnya. Hingga, beberapa deretan kejadian dan permasalahan membuat Keeyara mengalami kecelakaan yang sangat berat dan menyebabkan Keeyara meninggal dunia. Tetapi anehnya, dia kembali bangun pada tanggal 20 April 2022, tepat dihari pernikahan John bersama kekasihnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cakestrawby, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31
Aku tidak mengerti komplikasi antara keluargamu, tapi yang aku tahu, Ayahmu adalah seorang mata-mata yang sangat dibenci oleh Pamanmu. Kau terlahir saat dunia mereka sedang kacau, Kai. Pamanmu adalah seorang pembunuh bayaran yang sedang memburu Ayahmu karena memata-matai klan Pamanmu. Mengetahui bahwa adik satu-satunya berhubungan dengan seseorang yang dia benci, Pamanmu sangat marah. Dia memburumu juga pada akhirnya.
Kata-kata Valerie terus menghantui pikirannya, membuatnya menjadi pendiam sepanjang perjalanan pulang. Keeyara sesekali melirik ke arah Kai, mencoba mencari reaksi, apapun itu. Aneh, mengapa Kai tiba-tiba menjadi sangat pendiam? Di mana sikap konyolnya beberapa jam yang lalu? pikirnya.
Tatapannya beralih ke Keeyara, yang duduk di sampingnya di kursi belakang. Ia menangkap rasa ingin tahu dan kekhawatiran di mata wanita itu saat meliriknya. Namun, Kai tak punya energi atau kata-kata untuk mengungkapkan apa yang sedang ia rasakan. Beban dari kenyataan yang terungkap terlalu berat untuk ditanggung.
"Kau baik-baik saja?" tanya Keeyara, tangannya terulur menepuk bahunya.
Kai mengembuskan napas tajam, jari-jarinya mencengkeram lutut. Rahangnya terkatup sesaat sebelum ia memaksa dirinya untuk sedikit rileks.
"Tidak."
Kata itu terucap lugas, kasar, tanpa sarkasme, dan tanpa pengalihan jenaka. Hanya kejujuran yang apa adanya. Ia bahkan tidak menatap Keeyara saat mengucapkannya, tatapannya terpaku pada lampu-lampu kota yang berlalu di luar jendela mobil.
Setelah beberapa saat, ia akhirnya menoleh sedikit ke arah wanita itu, ekspresinya tak terbaca.
"Tapi aku akan begitu."
Itu bukan sekadar jaminan. Itu sebuah janji-pada dirinya sendiri. Terutama, ia akan menemukan jawabannya. Ia selalu melakukannya.
Namun, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ketidakpastian dalam suaranya bahkan mengejutkan dirinya sendiri.
Keeyara mengamati profilnya-ketegangan di bahunya, cara tenggorokannya bergerak saat menelan ludah. Ia ingin mendesak lebih jauh, bertanya apa yang mengguncangnya begitu dalam setelah percakapan rahasianya dengan Valerie, tetapi ada sesuatu dalam nada suara Kai yang memperingatkannya. Sebaliknya, ia mengulurkan tangan perlahan, jari-jarinya mengusap lembut kepalan tangan Kai yang terkepal. Sebuah tawaran diam-diam.
"Aku di sini."
Napas Kai tercekat oleh sentuhan itu. Ia tak berusaha melepaskan diri. Mungkin... kehangatan kecil yang menyentuh kulitnya cukup untuk meredam badai dalam dirinya, mencegahnya menghancurkan segalanya.
Denver keluar dari ruang kerja Kai setelah beberapa menit berdiam di sana. Langkahnya terhenti saat matanya menangkap sosok Keeyara yang sedang bersandar santai di dinding tepat di depan pintu. Wanita itu tersenyum tipis, namun tatapannya begitu intens hingga membuat Denver merasa gugup, seolah-olah wanita itu tengah meminta tuntutan jawaban kepadanya.
"Bisa kau meluangkan waktu sebentar, Denver? Aku janji tidak akan lama," ucap Keeyara dengan suara lembut.
Beberapa menit kemudian, mereka sudah duduk berhadapan di sudut kafe yang tenang, tempat Shabiella bekerja. Keeyara menyesap cokelat panasnya sambil terus menatap Denver. Setelah beberapa saat hening, ia akhirnya membuka pembicaraan dengan suara yang tenang dan terukur.
"Aku perlu menanyakan sesuatu padamu, dan aku ingin kau berkata jujur."
Denver mengangkat pandangan dan bertemu mata Keeyara dengan ekspresi waspada. Ia tahu apa yang akan terjadi, tapi tetap berusaha mempersiapkan diri.
"Oke," katanya, suaranya tenang. "Katakan saja, Nona."
Keeyara menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang mulai cepat. Jutaan pertanyaan berputar di kepalanya, tapi ia tahu harus memulai dengan yang paling penting.
"Apa yang kau bicarakan dengan Kai tadi di ruang kerjanya?"
Matanya meneliti wajah Denver dengan seksama, mencari tanda-tanda ketidakjujuran. "Kai... sudah berbeda sejak kita meninggalkan panti asuhan. Aku yakin ada alasan di balik itu. Aku ingin membantu, tapi aku tak tahu harus mulai dari mana kalau aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi."
Denver menghela napas pelan, pandangannya tertuju ke meja di antara mereka. Ia bisa merasakan kekhawatiran yang tulus terpancar dari wajah Keeyara, dan mendengar ketulusan dalam suaranya. Sesaat ia bergulat dengan pikirannya, bertanya-tanya seberapa banyak yang boleh ia bagikan. Ia tahu Kai tidak suka ada campur tangan, tapi ia juga percaya niat baik Keeyara.
"Dia... menerima kabar hari ini," jawab Denver pelan, memilih kata-katanya dengan hati-hati. "Kabar tentang keluarganya yang mengguncangnya."
Alis Keeyara berkerut tipis, tubuhnya sedikit condong ke depan. "Keluarga? Maksudmu keluarga kandungnya?"
Denver mengangguk pelan, matanya menatap tajam ke arah Keeyara. "Ya, Nona. Tuan Kai meminta saya untuk mencari tahu asal-usul keluarganya."
Keeyara menahan napas, suaranya bergetar sedikit saat bertanya, "Apa yang terjadi pada keluarganya?"
Denver terdiam sejenak, mengumpulkan kata-kata dengan hati-hati. "Ini... rumit. Dan saya bukan orang yang tepat untuk menceritakannya secara detail."
Wajah Keeyara mengeras, matanya menyipit penuh tanda tanya, jelas dia tidak puas dengan jawaban samar itu. "Rumit bagaimana, Denver? Jangan buat aku semakin penasaran."
Denver ragu-ragu, jarinya mengetuk-ngetuk meja dengan lembut. Ia tahu kisah ini berat dan penuh luka.
"Ada sejarah kelam yang membayangi keluarga Tuan Kai," ujarnya akhirnya dengan suara rendah. "Ayah dan pamannya terlibat dalam dunia yang gelap-penuh kekerasan, rahasia, dan pengkhianatan. Dunia yang tak mudah dipahami oleh orang biasa."
Keeyara menggenggam erat cangkir cokelatnya, panasnya merambat ke telapak tangan tanpa disadari.
"Katakan padaku," katanya, suaranya rendah namun penuh dengan nada garang. "Aku perlu tahu."
Denver menghela nafas panjang, tangannya menggosok-gosok bagian belakang lehernya, seolah mencari keberanian. Ia mencondongkan badan kedepan, suaranya hampir berbisik.
"Ayahnya adalah mata-mata, sementara itu Pamannya adalah seorang pembunuh bayaran yang di kirim untuk membunuhnya." Denver terdiam sejenak, mencari reaksi dari wanita itu sebelum melanjutkan. "Ketika Tuan Kai masih bayi, Ayahnya meninggalkannya di panti asuhan untuk melindunginya, tapi tetap saja Pamannya terus memburunya."
Keheningan menyelimuti ruangan. Napas Keeyara tercekat mendengar pengakuan itu. "Sampai sekarang masih begitu?" gumamnya pelan yang langsung di angguki oleh laki-laki itu.
Keeyara lalu bertanya dengan nada penasaran sekaligus bingung. "Kalau tahu dia sedang di buru, kenapa justru seolah-olah mencari ajalnya sendiri? Bukannya dia bersembunyi atau semacamnya?"
Denver ragu-ragu sekali lagi, tahu bahwa bagian selanjutnya dari cerita ini hanya akan menambah keterkejutan Keeyara. "Tuan Kai," ia memulai, suaranya lebih pelan, "Selalu hidup dalam bayang-bayang bahwa suatu hari nanti bahaya akan mengejarnya. Ia tidak pernah memiliki kehidupan normal, selalu waspada... Dan setelah bertahun-tahun waspada, ia berpikir pilihan terbaik adalah mengambil tindakan sendiri."
Keeyara terdiam sejenak, mencoba merangkai potongan-potongan teka-teki itu dalam benaknya.
"Dia hanya ingin satu alasan," lanjut Denver, "mengapa pamannya tega memburunya sampai seperti itu... Itu yang selalu dipikirkan Tuan Kai. Dan apapun hasil akhirnya nanti, dia siap menerimanya."
gak tau diri banget 😤