NovelToon NovelToon
Kau Hanya Milik ARUNA

Kau Hanya Milik ARUNA

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Fantasi Wanita / Balas dendam pengganti
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: Aru_na

"aku pernah membiarkan satu Kalila merebut milik ku,tapi tidak untuk Kalila lain nya!,kau... hanya milik Aruna!"
Aruna dan Kalila adalah saudara kembar tidak identik, mereka terpisah saat kecil,karena ulah Kalila yang sengaja mendorong saudara nya kesungai.
ulah nya membuat Aruna harus hidup terluntang Lantung di jalanan, sehingga akhirnya dia menemukan seorang laki laki tempat dia bersandar.
Tapi sayang nya,sebuah kecelakaan merenggut ingatan Aruna,sehingga membuat mereka terpisah.
Akankah mereka bertemu kembali?,atau kah Aruna akan mengingat kenangan mereka lagi?
"jika tuhan mengijinkan aku hidup kembali, tidak akan ku biarkan seorang pun merebut milik ku lagi!"ucap nya,sesaat sebelum kesadaran nya menghilang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aru_na, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

33.Sedikit berubah

Setelah arza menyelesaikan diskusi nya dengan dokter Hilman, dia pun kembali kesamping istrinya lagi. Sedangkan dokter tampan itu telah kembali ke ruangan nya.

"Jangan menatap nya begitu,sayang" arza terlihat memperhatikan aruna saat dia melihat kearah kepergian dokter itu.

"Aku hanya melihat, mas. Tidak berencana apa apa" kesal aruna. " beda dengan seseorang" sambung nya lagi.

"Siapa?, Aruna... Kalila itu hanya aku anggap sebagai adik,itu saja, tidak lebih" arza merasa geram sebenarnya, karena Aruna membahas itu lagi.

"Seorang adik tidak akan mencoba meremehkan masakan istrimu di depanmu." Aruna ingat jelas ekspresi meremehkan Kalila saat ia mengatakan bekal Aruna "kurang bersih".

Arza mengerutkan kening. "Dia meremehkan masakanmu? Kapan?" Arza terdengar terkejut, ekspresinya menunjukkan ia benar-benar tidak menyadari hal itu.

"Tadi, sebelum aku masuk," jawab Aruna. "Dia bilang, 'bekal dari luar Puskesmas itu kurang bersih loh, Mas. Nanti bisa sakit.' Dan juga bilang 'kalau makan masakan rumah terus kan kadang bosan juga'." Aruna menirukan nada bicara Kalila dengan sedikit penekanan.

Wajah Arza berubah. Ada sedikit kerutan di dahinya yang menunjukkan ketidaknyamanan. Ia menatap Aruna, lalu menghela napas. "Apa iya dia bilang begitu? Aku... aku tidak terlalu dengar, Sayang. Maaf."

"Mas terlalu baik ," Aruna berbisik, menatap suaminya dengan tatapan iba. "Itu yang membuatku khawatir. Mas tidak melihat apa yang kulihat. Dia itu... dia punya perasaan lain padamu, Mas. Lebih dari sekadar teman atau adik."

Arza terdiam sejenak, menatap kosong ke depan. Ia mencoba mencerna perkataan Aruna, namun sepertinya masih sulit baginya untuk percaya. Di benaknya, Kalila hanyalah teman baik, seorang gadis desa yang tulus.

"Tidak mungkin, Sayang," Arza menggeleng pelan. "Kalila tidak mungkin begitu, dia orang baik."

"Orang baik tidak akan mengganggu laki-laki yang sudah menikah, tidak akan berusaha menarik perhatianmu, tidak akan berusaha selalu ada di sisimu, dan tidak akan mencoba meremehkan aku, Mas," Aruna berbicara dengan tenang namun penuh penekanan. "Aku tidak meminta Mas untuk membencinya. Aku hanya meminta Mas untuk lebih peka. Lebih waspada."

Arza menghela napas panjang, melepaskan genggaman tangannya dari Aruna. Ia bangkit dan berjalan ke mejanya, mengambil pena, lalu kembali ke posisi semula. Ada kekecewaan tipis di wajah Aruna melihat suaminya seolah ingin mengalihkan pembicaraan.

"Aruna, aku... aku hanya ingin kamu percaya padaku," ucap Arza, nadanya terdengar lelah. "Aku hanya mencintaimu. Aku tidak punya perasaan apa-apa pada Kalila."

"Aku tahu, Mas. Aku percaya itu," Aruna cepat-cepat menyahut, ia tidak ingin Arza salah paham. "Tapi aku tidak percaya pada Kalila. Dan sebagai istrimu, aku berhak melindungi rumah tangga kita dari siapa pun yang mencoba mengusiknya."

Arza menatap Aruna, matanya menunjukkan kebingungan. "Jadi, apa yang harus kulakukan, Sayang? Aku tidak bisa melarang dia datang ke Puskesmas kalau dia punya urusan desa. Aku juga tidak bisa kasar padanya."

"Aku tidak memintamu kasar, Mas," Aruna berujar lembut. "Aku hanya ingin Mas lebih hati-hati. Dan... mungkin sedikit menjaga jarak. Tidak perlu menanggapi semua ajakannya, atau membiarkan dia terlalu sering membantumu di sini. Mas punya Munira dan perawat lain yang bisa membantu."

Arza mengangguk pelan, tampak berpikir. Untuk pertama kalinya, Arza terlihat sedikit memikirkan perkataan Aruna mengenai Kalila. Ia menghela napas. "Baiklah, Sayang. Aku akan coba."

Aruna tersenyum tipis. Ini adalah langkah kecil, namun setidaknya Arza mulai mempertimbangkan. Ia tahu, ia tidak bisa mengubah cara pandang Arza dalam semalam. Tetapi ia akan terus berjuang untuk melindungi cinta mereka.

"Sudah Mas, ayo kita makan siang. Aku sudah lapar," Aruna mencoba mencairkan suasana, menyodorkan bekal makan siang yang ia bawa.

Arza tersenyum kecil, meraih kotak bekal itu. "Terima kasih banyak, Sayang. Kamu memang istri terbaik." Ia memakan suapan pertama, dan raut wajahnya langsung cerah. "Hmm, enak sekali."

Aruna tersenyum, hatinya menghangat mendengar pujian itu. Ini adalah kemenangan kecilnya. Ia tahu, perjuangannya belum selesai, tapi setidaknya ia sudah menanamkan benih keraguan di hati Arza.

Sejak percakapan makan siang itu, Aruna memperhatikan adanya perubahan kecil pada diri Arza. Suaminya memang tidak secara terang-terangan menjauhi Kalila, tapi Arza mulai lebih sadar. Ia tidak lagi membiarkan Kalila terlalu dekat saat diskusi pekerjaan, atau terlalu sering menanggapi ajakannya untuk "membantu." Jika Kalila menawarkan bantuan di luar jam kerja, Arza akan sopan menolak, mengatakan dia sudah ada janji dengan Aruna, atau Munira sudah cukup membantu.

Suatu sore, Kalila datang ke Puskesmas saat Arza sedang membereskan mejanya, siap untuk pulang.

"Mas Arza, perlu bantuan merapikan berkas ini?" tawar Kalila, senyum manisnya terukir.

Arza tersenyum tipis. "Tidak perlu, Kalila. Munira sudah membereskan sebagian tadi. Sisanya sedikit lagi, aku bisa sendiri kok. Aku sudah mau pulang."

Kalila sedikit kecewa. "Oh, begitu ya. Aku kira Mas masih butuh bantuan."

"Sudah cukup. Terima kasih atas niat baikmu," Arza menjawab, nadanya ramah tapi tegas. Ia lalu mengambil tasnya dan bergegas keluar, tanpa menunggu Kalila lebih lama.

Perubahan kecil ini tidak luput dari perhatian Munira. Ia sesekali melihat Kalila tampak kesal saat Arza menolak bantuannya atau tidak terlalu menanggapi obrolan pribadinya. Munira merasa senang Aruna berhasil membuat Arza sedikit lebih peka.

Di sisi lain, Kalila merasakan kekecewaan yang mendalam. Aruna tidak hanya berhasil mengganggu rencananya, tapi juga entah bagaimana caranya, membuat Arza sedikit berubah sikap. Arza kini lebih berjarak, tidak semudah dulu diajak berinteraksi.

"Sial!" gumam Kalila saat ia melihat Arza bergegas menuju rumah nya. "Gadis itu benar-benar menggangguku."

Kalila pulang dengan perasaan dongkol. Ia tidak bisa lagi terus-menerus datang ke Puskesmas hanya untuk sekadar "membantu" atau "menjenguk" Arza. Aruna telah memasang batas, dan Arza, meskipun belum sepenuhnya sadar, mulai merasakan batas itu.

"Aku tidak akan menyerah begitu saja," bisik Kalila pada dirinya sendiri di kamar. Ia harus mencari cara lain. Cara yang lebih efektif, dan mungkin, sedikit lebih... nekat.

Ia memikirkan berbagai strategi. Bagaimana jika ia mendekati keluarga Arza? Atau mencari tahu kelemahan Aruna? Pikiran Kalila berputar liar, dipenuhi hasrat untuk merebut Arza.

Beberapa hari kemudian, Aruna menerima telepon dari ibu mertuanya.

"Aruna, Sayang, bagaimana kabarmu?" suara ibu mertua Aruna terdengar ceria.

"Baik, Bu. Ada apa?" Aruna menjawab ramah.

"Itu, lusa nanti kami akan datang lagi ke desa. Papa ingin melihat-lihat tanah di sekitar sini untuk pembangunan usaha baru. Bisakah kita makan malam bersama?."

"Tentu, Bu. Aruna akan siapkan semuanya," jawab Aruna.

Setelah menutup telepon, Aruna menghela napas. Kedatangan mertuanya berarti ia harus ekstra hati-hati. Ia tidak ingin orang tua Arza merasa tidak nyaman berada di sini.

Malam itu, saat Arza pulang, Aruna memberitahunya tentang rencana kedatangan orang tua mereka.

"Mas, lusa Mama dan Papa akan datang ke sini. Mereka ingin melihat-lihat tanah," ucap Aruna.

"Oh, benarkah? Wah, bagus sekali!" Arza tampak senang. "Berarti kita bisa makan malam bersama nanti. Kamu senang kan, Sayang?" Arza memeluk Aruna dari belakang.

Aruna tersenyum, "Tentu saja, Mas. Aku selalu senang kalau Mama dan Papa datang." Dalam hati, ia sudah memikirkan bagaimana caranya melindungi Arza dan rumah tangga mereka dari intrik Kalila, terutama di depan mertuanya.

1
Zudiyah Zudiyah
,hemmm sangat mirissss
rofik 1234
Perasaan campur aduk. 🤯
Aruna: benarkah?😁
total 1 replies
Shinichi Kudo
Aku udah jatuh cinta dengan karakter-karaktermu. Keep writing! 💕
Aruna: terima kasih 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!