(Area orang dewasa🌶️)
Hidup Viola Amaral berubah drastis ketika sebuah kontrak mengikatnya pada kehidupan seorang jenderal berpengaruh. Bukan pernikahan impian, melainkan perjanjian rahasia yang mengasingkannya dari dunia luar. Di tengah kesepian dan tuntutan peran yang harus ia mainkan, benih-benih perasaan tak terduga mulai tumbuh. Namun, bisakah ia mempercayai hati seorang pria yang terbiasa dengan kekuasaan dan rahasia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon medusa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 35
...Dengan gerakan secepat kilat, Viola membungkuk untuk meraih handuk yang tergeletak di lantai, berusaha keras menutupi tubuh polosnya yang terasa begitu rentan. Namun, belum sempat ia menegakkan tubuh, langkah kaki Revan yang dingin dan mengancam sudah berdiri tepat di hadapannya....
...Mata Revan menatapnya tajam, tatapan yang membakar dan sulit diartikan. Dengan susah payah, Viola menelan ludah, tangannya gemetar meraih handuk yang kini terasa begitu jauh....
"Saatnya makan malam," ucap Revan dengan nada berat dan serak, seolah menahan sesuatu yang mendidih di dalamnya.
"Tuan, tunggu, aku-" Belum sempat Viola menyelesaikan permohonannya, Revan dengan kasar membungkam bibirnya dengan ciuman yang rakus dan mendominasi. Tidak ada kelembutan, hanya tuntutan posesif yang kuat.
...Sambil terus melumat bibirnya dengan kasar, Revan menarik Viola mendekat, menuntunnya dengan paksa menuju ranjang. Tubuh Viola terasa kaku dan memberontak dalam cengkeraman Revan yang begitu kuat....
Bruk!
Tubuh Viola terhempas ke atas kasur dengan kasar. "Tunggu, aku-" rintih Viola lagi, mencoba memberontak di bawah tatapan Revan yang membara.
"Aku tidak punya waktu untuk basa-basi," sela Revan dengan suara dingin dan tanpa emosi. Dengan gerakan cepat dan kasar, ia menanggalkan seluruh pakaian yang melekat di tubuhnya, hingga kulitnya yang putih bersih terpampang jelas di hadapan Viola.
Tubuh kekar Revan, dengan perut six-pack yang tegas dan otot-otot tangan yang menegang, membuat Viola kembali menelan ludah dengan susah payah. Ia tahu betul, malam ini kemungkinan besar akan berakhir sama seperti malam-malam sebelumnya: dengan dirinya yang terbaring tak berdaya.
"Obatku..." lirih Viola dalam hati, pandangannya nanar tertuju pada koper miliknya yang berada tak jauh dari ranjang.
"Apa yang kau pikirkan?" tanya Revan dengan nada mengintimidasi, kini sudah beranjak naik ke atas kasur dan duduk menghadap Viola.
Viola mendongak dengan mata penuh ketakutan. "A-anu Tuan, i-itu, aku belum-"
Srekkk.
"Kau sudah selesai datang bulan beberapa hari yang lalu, kamu mau mengeluh apa lagi, Hah!" bentak Revan, menarik Viola mendekat dan dengan paksa membuka kedua paha Viola.
...Bukan obat pereda nyeri biasa yang Viola maksud. Yang sebenarnya ia pikirkan adalah pil kontrasepsi pemberian Revan yang tersimpan rapi di dalam kopernya. Hari ini adalah masa suburnya, dan ia tidak ingin mengandung, sesuai dengan perintah tegas Revan sebelumnya....
"Tuan, tunggu!" sentak Viola sekuat tenaga, mencoba menghentikan Revan yang sudah bersiap untuk bermain kuda lumping.
"Kubilang jangan melawan!" geram Revan dengan amarah yang meluap. Ia meraih kemejanya yang tergeletak di atas kasur dan dengan kasar menyumpal mulut Viola, membungkam perlawanannya.
Dengan satu tangan yang kuat, Revan mengunci kedua lengan Viola di atas kepalanya, sementara tangan yang lain dengan kasar berusaha memposisikan dirinya. Lalu...
Jleb.
...Miliknya menusuk dan menancap sempurna, menimbulkan sentakan hebat di tubuh Viola. Dadanya membusung ke atas, kedua matanya membulat sempurna menahan rasa sakit dan nikmat yang bercampur menjadi satu....
...Revan kemudian menundukkan kepalanya, meraih salah satu pucuk melon Viola dengan bibirnya. Ia melumatnya dengan rakus, menghisapnya kuat-kuat, membuat tubuh Viola menggeliat tak terkendali di bawah kungkungannya yang posesif....
"Sial, aku baru saja menusukmu kenapa sudah keluar," geram Revan, mendongak dengan erangan nikmat yang bercampur frustrasi. Ia menusuk lebih dalam, menyalurkan benihnya hingga membanjiri rahim Viola.
"Hhhmmppp... hhhmmm..." Napas Viola tersengal-sengal, matanya menatap Revan dengan sayu, memancarkan rasa puas.
...Revan menyunggingkan senyum smirk puas. Ia melepaskan kain yang membungkam bibir Viola, lalu menatap kedua matanya lekat-lekat, seolah ingin siap melahap Viola hidup-hidup....
"Ini baru permulaan," bisik Revan dengan suara rendah dan mengancam, napasnya menerpa wajah Viola. "Karena permainan yang sebenarnya baru akan dimulai."
"Tuan... aku lelah," lirih Viola dengan suara serak dan napas tersengal-sengal.
"Tapi tidak denganku." Tanpa memperdulikan permohonan Viola, Revan kembali menghentakkan tubuhnya, masuk lebih dalam dan bergerak dengan panas dan liar. Suara kulit yang bertabrakan menggema di seluruh kamar, menjadi saksi bisu percintaan panas mereka.
...Mau tak mau, tubuh Viola kembali mengeluarkan suara-suara sensual yang justru membangkitkan adrenalin Revan. Ia terus menghajar Viola tanpa ampun hingga tengah malam menjelang. Akhirnya, kelelahan fisik dan mengalahkan mereka berdua. Mereka tertidur pulas dalam keheningan kamar, tubuh polos mereka saling bertautan tanpa sisa tenaga....
🌺
🌺
🌺
...(Pagi harinya)...
...Pagi menyapa melalui celah tirai jendela, sinarnya yang hangat menerpa wajah tampan Revan, membangunkannya dari tidur lelap. Dengan mata masih sayu dan rambut sedikit berantakan, Revan bangkit dan duduk di tepi ranjang. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar, mencari sosok Viola....
"Di mana dia?" gumam Revan seorang diri, sedikit bingung.
"Ugh... Tuan, jangan sekarang, aku lelah sekali..." racau suara parau Viola yang terdengar begitu dekat. Revan menoleh ke arah suara itu dengan kaget.
...Di sampingnya, di bawah selimut yang sama, Viola tampak meringkuk membelakanginya. Bukankah biasanya Viola tidur di sofa kecil di sudut kamar? Kenapa malam ini ia bisa terlelap di ranjang yang sama dengannya?...
"Hei, kamu-" Revan mencoba membangunkan Viola dengan sentuhan sedikit kasar di bahunya.
"Tuan, mohon... jangan ganggu aku. Aku benar-benar lelah..." lirih Viola bergumam tanpa membuka kedua matanya, suaranya terdengar begitu lemah dan memelas.
"Hah... sudahlah," gumam Revan dengan ekspresi malas. Ia bangkit dari ranjang tanpa mengenakan sehelai benang pun, lalu melangkah menuju kamar mandi.
...Beberapa menit kemudian, Revan keluar dari kamar mandi dengan handuk kecil melilit pinggangnya yang atletis. Ia berjalan menuju walk-in closet dan mengambil seragam tentaranya yang selalu terlihat gagah dikenakannya. Saat matanya yang tajam tanpa sengaja melirik ke arah kasur, ia melihat Viola masih meringkuk di bawah selimut, tampak begitu lelap dalam tidurnya. Tanpa ekspresi, Revan bergegas keluar dari kamar, meninggalkannya sendiri....
(Bersambung)