Transmigrasi Ke Istri Buta Sang CEO
Suasana kamar rumah sakit itu sunyi, hanya ditemani suara detak alat medis dan lembutnya hembusan AC. Namun, di atas ranjang putih yang bersih, kelopak mata seorang gadis perlahan bergetar. Jari-jarinya menegang. Napasnya mulai teratur.
Gadis itu adalah Kaira Frost yang akhirnya terbangun dari komanya. Namun, saat matanya terbuka, yang dilihatnya hanyalah ... gelap.
“Kenapa?” bisik Kaira lirih. “Kenapa aku tidak bisa melihat?”
Gelap total. Tak ada bayangan, tak ada cahaya. Hanya kegelapan pekat yang menyelimuti seluruh pandangannya.
Seketika suara langkah kaki terdengar. Pelan tapi mantap. Pintu kamar terbuka dengan pelan, disusul aroma parfum maskulin yang tajam.
Suara pria rendah dan dingin itu memecah keheningan.
“Jadi ini caramu menarik perhatianku, Kaira?” katanya datar. “Bunuh diri dengan melompat dari gedung sekolah. Drama yang cukup mengesankan.”
Kaira terdiam sejenak. Ia mengenal suara itu. Leonel Frost—suaminya. Pria yang menikahinya hanya karena alasan bertanggung jawab dan tak pernah benar-benar memandangnya sebagai manusia, apalagi istri.
Namun, kali ini, bukan Kaira yang lama yang ada di dalam tubuh itu.
Dengan suara tenang dan dingin, Kaira menjawab, “Kalau aku memang ingin mati, aku tak akan memilih cara serendah itu. Dan untuk menarik perhatianmu?” Ia tertawa kecil. “Percayalah, kamu bukan orang yang pantas untuk itu.”
Leonel terdiam. Mata tajamnya menyipit. Gadis itu ... berbicara dengan cara yang berbeda. Biasanya Kaira hanya akan menunduk, gemetar, tak berani membalas.
“Apa maksudmu?” tanyanya curiga. “Kaira, kau—”
“Jangan panggil aku Kaira.” Ia menoleh ke arah suara itu, meski matanya tetap tak melihat. “Setidaknya, bukan Kaira yang kamu kenal.”
Leonel mendekat dengan langkah pelan, aura dinginnya menyeruak. “Apa yang terjadi padamu?”
Kaira menyeringai kecil. “Kau tidak akan percaya, Leonel. Tapi aku juga tak peduli.”
Kaira mengangkat tangannya, meraba sekitar, lalu menggenggam selimut erat. Ada sesuatu dalam dirinya—jiwa baru, kekuatan baru. Bukan hanya karena ia telah bangkit, tapi karena sebelum ini, seseorang datang padanya ... di antara batas hidup dan mati.
Dalam ruang kesadaran gelap itu, sebelum ia membuka mata, sosok lemah mendekatinya. Wajah pucat dengan mata kosong. Kaira yang asli. Tubuhnya bergetar saat berkata:
"Tolong ... bantu aku ... Aku tidak kuat lagi ... Ambil tubuh ini, ambil semuanya ... tapi tolong ... jangan biarkan mereka menang ...."
Dan Nova—ahli medis dan racun yang bahkan para mafia pun segani—menerima permintaan itu.
Nova membuka mata di tubuh Kaira, dan sejak saat itu … permainan baru dimulai.
Leonel tersadar dari sikap terkejutnya lalu berkata, “Aku akan memanggil dokter. Sepertinya ... kau kehilangan akal sehatmu.”
Kaira yang jiwanya telah diisi oleh Nova membalas, “Tidak. Justru sekarang aku waras, lebih dari sebelumnya. Dan kau, Leonel ... akan jadi saksi bagaimana Kaira yang baru akan mengubah segalanya.”
Leonel mematung sejenak di hadapan Kaira. Kata-kata tajam gadis itu masih bergema di telinganya—tajam, dingin, menusuk harga diri.
Itu ... bukan Kaira yang ia kenal.
Dengan tatapan tak terbaca, ia berbalik dan melangkah keluar kamar. Pintu kamar VVIP tertutup pelan di belakangnya.
Di luar, seorang pria bersetelan hitam langsung berdiri tegak dan memberi hormat.
"Tuan."
Leonel tidak menoleh. "Panggil dokter. Suruh mereka periksa Kaira. Sekarang."
"Siap," jawab Joni, tangan kanan sekaligus pengawal pribadinya yang paling setia. Ia segera bergerak tanpa bertanya lebih jauh. Leonel, sementara itu, hanya berdiri diam di lorong, pikirannya dipenuhi tanda tanya.
Sementara itu di dalam kamar, Kaira menarik napas pelan, mendengarkan keheningan yang menyelimuti ruang itu. Tangannya terulur, menyentuh perban di sekitar matanya. Gelap. Sunyi.
Namun di dalam hati dan ingatannya, luka-luka Kaira asli mulai terkuak satu per satu—seolah menyatu dengan pikirannya sendiri.
Tertawa sinis. Desakan keras. Kata-kata kasar. Sepatu yang menginjakkan diri di mejanya. Air kotor disiramkan ke kepalanya hanya karena ia diam. Karena ia buta. Karena ia berbeda.
Kaira tak bisa melihat, tapi bukan berarti ia tak merasa.
Dan lebih menyakitkan dari semua itu adalah kenyataan bahwa kebutaannya … berasal dari Leonel sendiri.
Kecelakaan itu. Suara rem yang terlambat. Benturan keras. Dan saat semua orang menjerit menyalahkan, Leonel seorang putra keluarga Frost yang sempurna—menenangkan media dengan satu kalimat:
“Saya akan bertanggung jawab … dengan menikahinya.”
Bukan karena cinta. Bukan karena peduli. Tapi karena citra keluarga.
Nova mengepalkan tangan di atas selimut. "Kau tragis sekali, Kaira ...." bisiknya sendiri. "Tapi sekarang ... aku di sini. Dan tidak akan ada lagi yang bisa menginjak kita seperti debu."
Wajah-wajah mereka mulai muncul di benaknya—para penindas di sekolah, ibu tiri yang bermuka dua, saudari tiri yang iri, hingga ... Leonel Frost, sang suami yang tak pernah benar-benar peduli.
Kaira mengangkat wajahnya ke langit-langit gelap, seolah berbicara pada gadis yang kini telah pergi.
"Istirahatlah dengan tenang, Kaira. Biarkan aku yang menyelesaikan semuanya untukmu."
*****
Cahaya lampu kamar temaram, menyinari ruangan VVIP yang sunyi. Di atas ranjang, Kaira duduk bersandar, tubuhnya tampak tenang, tapi pikirannya bergejolak.
Malam ini, pikirannya kembali ke satu titik yaitu sebuah ledakan.
Dentuman keras, suara kaca pecah, panas yang membakar kulit. Nova ingat segalanya. Bagaimana dia berlari mencoba menyelamatkan formula terakhirnya. Obat yang akan menyembuhkan penyakit langka … dan malah menjadi penyebab kematiannya.
“Ironis.” Ia tersenyum kecil. Tapi senyuman itu tak sempat bertahan lama.
Tap!
Tap!
Tap!
Langkah kaki mendekat di luar pintu. Bukan Leonel.
Hidung Nova menangkap aroma parfum murahan, manis menusuk, berbeda jauh dari wangi segar dan mahal milik Leonel. Ada suara derit pintu, lalu bunyi langkah menyusup masuk ke dalam ruangan.
"Masih hidup rupanya," gumam seorang wanita setengah berbisik namun sengaja dikeraskan. Suaranya sinis. Terasa ringan, tapi mengandung racun.
Nova tidak bergerak, hanya diam mendengarkan.
"Sudah buta, masih nyusahin. Untung masih ada sisa makanan tadi siang," lanjutnya.
Wanita itu, pelayan keluarga Frost, jelas bukan datang membawa kasih sayang. Tangannya terdengar mengobrak-abrik kantung plastik sebelum akhirnya membuka tutup Tupperware dengan bunyi khas klik.
"Ini, makan! Jangan buang-buang makanan, sudah dibawakan juga syukur," katanya sambil menyeret kursi kasar, duduk, dan langsung menyodorkan sendok ke arah wajah Kaira.
Nova tetap diam. Tidak menunduk. Tidak menerima.
Sendok itu menyentuh bibirnya dengan kasar, hampir menusuk.
"Hei! Aku bilang makan, dasar bodoh. Kau pikir status istri muda bisa membuatmu spesial? Kalau bukan karena rasa kasihan tuan Leonel, kau sudah dilempar ke luar sejak lama."
Dan saat itu, Nova bergerak.
Tangannya yang halus tapi terlatih menangkap pergelangan tangan pelayan itu dengan cekatan. Cengkeramannya kuat, mencengangkan si pelayan yang tak menyangka gadis buta itu bisa bereaksi begitu cepat.
"Kau pikir aku buta, jadi aku lemah?" ucap Kaira pelan, tapi setiap katanya menampar.
Pelayan itu tertegun. “A—apa ....”
Nova menarik sendok itu perlahan dari tangannya, lalu meletakkannya ke meja kecil di samping ranjang. Lalu dia membalikkan kepala ke arah suara pelayan itu, tepat sasaran meski matanya melihat gelap gulita.
"Kau datang ke sini membawa makanan sisa, melemparkan hinaan, lalu mencoba menyuapi aku seperti binatang. Sekali lagi kau lakukan itu—"
Nova tersenyum tipis. "Aku bersumpah, kau akan menyesal masih memiliki lidah untuk mencibir orang lain."
Pelayan itu membeku. Untuk sesaat, suasana terasa membeku juga. Aura dingin dari Kaira yang baru membuat seluruh ruangan terasa menyesakkan.
Dengan suara gemetar, pelayan itu berkata, "A—aku hanya menjalankan perintah—"
"Keluar," potong Kaira tajam. "Dan jangan kembali kecuali kau bisa memperlakukan majikanmu dengan sopan."
Pelayan itu menggertakkan giginya, tapi tidak berani membantah. Dengan cepat, ia berdiri, merapikan Tupperware dengan kasar, lalu pergi terburu-buru sambil membanting pintu pelan.
Begitu keheningan kembali, Kaira menyandarkan kepalanya ke bantal.
"Tubuh ini mungkin buta," bisiknya pelan, "tapi aku? Aku melihat segalanya dengan lebih jelas dari sebelumnya."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
Lina Zascia Amandia
Salam kenal Kak Yulianti Azis. Sy udah nebak karya Kakak bakal jadi pemenang. Malah ini borong lho. Salut lho. YAAW Periode 1 2025. Keren....
2025-04-25
4
☠⧗⃟ᷢʷ 🍾⃝ ʀɪͩᴠᷞᴀͧɴᷡᴀͣ🔵🍒⃞⃟🦅
akhirnya up juga thoorr,,, next lagi thoorr
2025-04-22
5
Dian Susantie
akhirnyaaa.... yg ditunggu datang juga... 😍😍
semangaaatt.... 💪🏼🔥
2025-04-21
2