Zahira Maswah, siswi SMA sederhana dari kampung kecil yang jauh dari hiruk-pikuk kota, hidupnya berubah total saat ia harus menikah secara diam-diam dengan Zayn Rayyan — pria kota yang dingin, angkuh, anak orang kaya raya, dan terkenal bad boy di sekolahnya. Pernikahan itu bukan karena cinta, melainkan karena keadaan yang memaksa.
Zahira dan Zayn harus merahasiakan pernikahan itu, sampai saatnya tiba Zayn akan menceraikan Zahira.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lianali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
Sesampainya di rumah, Zahira melepas sepatunya dengan pelan, seperti biasa. Rumah kecil itu sunyi, tidak ada suara sapaan ibu, tidak ada aroma masakan dari dapur, dan tentu saja... tidak ada siapa-siapa yang menunggunya pulang. Sepi sudah menjadi teman yang paling setia baginya, lebih dari sekadar kebiasaan. Kesunyian ini adalah suara yang paling akrab di telinganya, seperti simfoni yang terdengar hanya oleh dirinya sendiri.
Ia melangkah pelan menuju pintu, menggantung jilbabnya dengan rapi di balik pintu, dan menatap meja belajarnya yang kecil di sudut kamar. Lampu meja belajar menunggu untuk menemani perjalanannya mengarungi perjuangan yang panjang. Zahira menatap buku-buku yang sudah terbuka sejak pagi tadi. Catatan Matematika, Biologi, hingga Bahasa Inggris, semuanya sudah terbuka dan berantakan. Namun, Zahira merasa tak pernah cukup. Tak pernah ada kata cukup dalam kamus hidupnya.
"Aku harus pintar," bisiknya pelan pada dirinya sendiri, seolah mencoba meyakinkan dirinya. "Kalau bukan aku, siapa lagi?"
Sore berganti malam. Langit yang sebelumnya cerah kini semakin gelap, tapi cahaya dari lampu meja belajar Zahira tetap menyala setia. Tak ada waktu untuk berhenti, tak ada waktu untuk mengeluh. Ia hanya berhenti ketika azan Maghrib terdengar dari masjid kecil di ujung gang. Setelah sholat, ia kembali duduk di meja belajarnya dan menonton video pembelajaran dari YouTube. Suaranya dipelankan, agar tidak terasa terlalu ramai di rumah yang sepi ini. Ia berusaha mencari ketenangan dalam kesendirian.
Saat lapar mulai menyiksa, Zahira membuka roti tawar dan menuangkan segelas air putih. Meskipun begitu, ia tetap makan sambil belajar. Matanya terus menyusuri soal-soal yang sulit, otaknya bekerja keras memecahkan rumus-rumus yang bahkan membuat banyak orang menyerah.
Jam menunjukkan pukul delapan malam. Ia berhenti sejenak untuk sholat Isya. Setelahnya, ia kembali lagi—lebih serius, lebih tekun, seolah waktu tak punya hak untuk membuatnya lelah. Ia melawan rasa kantuk yang semakin menggugah.
Setiap kali kepalanya terasa berat, ia mengusap wajahnya dengan tangan, seolah mencoba menepis kelelahan yang menyerang.
"Kamu harus kuat, Zahira," gumamnya sambil memijit pelipis. "Kamu harus bisa keluar dari semua ini. Kamu harus lebih dari sekadar anak yang terlupakan."
Waktu terus berjalan. Pukul 00.30, matanya semakin berat, kepalanya mulai tertunduk, tetapi ia memaksakan diri membuka satu halaman terakhir. Ujung pensilnya sudah tumpul, tangannya gemetar, namun Zahira tak ingin menyerah. Tidak kali ini.
01.04.
Satu soal terakhir ia kerjakan dengan susah payah. Setelahnya, ia hanya duduk menatap kertas itu, lelah, letih, tetapi masih dengan semangat yang belum padam. Pikirannya mulai kosong, tetapi ia masih merasa ada yang harus diselesaikan. Ia menatap jam di ponselnya. 01.04. Semuanya seolah tak terjangkau.
Dengan perlahan, kepalanya mulai menunduk. Dan akhirnya…
Ia tertidur di meja belajar. Pulpen masih dalam genggaman, keningnya bersandar di atas buku catatan yang terbuka. Di rumah yang sunyi ini, satu-satunya suara yang terdengar adalah napasnya yang pelan dan berat, dan detak jantung yang perlahan melambat. Malam sunyi menyelimuti rumah Zahira, tetapi tidak di hatinya. Ada perasaan yang lebih hangat, lebih lembut, yang tiba-tiba mengalir di dalam dirinya.
Angin malam menyusup masuk lewat celah jendela, mengelus pelan rambutnya yang terurai di atas buku catatan. Ia tertidur dalam posisi duduk, tubuhnya condong ke depan, dengan sisa air mata yang belum kering di pipinya.
Namun, dalam mimpinya, semuanya tampak berbeda. Hangat. Cerah. Ia merasa seperti berada di tempat yang jauh lebih baik. Ia berdiri di halaman rumahnya yang dulu di kampung. Udara sore terasa segar, burung-burung berkicau, dan cahaya matahari jatuh lembut di wajahnya. Semua terasa begitu nyata, begitu hidup, seolah ia bisa merasakan setiap detilnya.
Lalu, terdengar suara yang begitu ia kenal. Lembut, hangat, menenangkan, seperti lagu pengantar tidur yang selalu ia dengar sejak kecil.
“Zahira…”
Zahira berbalik. Napasnya tercekat. Hatinya berdebar lebih cepat dari sebelumnya.
“Ibu…”
Suara itu keluar nyaris tak terdengar, tetapi itu suara yang ia rindukan lebih dari apa pun di dunia ini. Matanya membulat, berkaca-kaca. Ia ingin berlari, tapi tubuhnya terasa kaku.
Di hadapannya berdiri seorang wanita paruh baya, mengenakan gamis putih bersih, wajahnya bersinar, tersenyum seperti dulu. Senyum yang selalu ia ingat, yang selalu hadir di setiap pagi yang penuh harapan. Seperti sebelum semuanya berubah. Seperti sebelum ibu pergi untuk selamanya.
Zahira tak menunggu. Ia berlari ke arah wanita itu, memeluknya erat-erat. Dadanya bergetar, tubuhnya lemas seketika. Tangis yang sudah lama ia pendam tumpah begitu saja.
“Ibu… aku capek… aku sendirian…” Suara Zahira serak, terputus-putus.
Ibunya membelai rambut Zahira dengan lembut, seperti yang selalu ia lakukan ketika Zahira masih kecil. Dengan penuh kasih sayang, ibunya berbicara pelan.
“Kamu nggak sendiri, Nak. Allah selalu bersamamu. Ibu pun selalu ada di sini…” Ibunya menunjuk ke dada Zahira. “Di hatimu.”
Zahira menangis dalam pelukan ibunya. Tangis yang tak bisa ia lepaskan di dunia nyata, tumpah ruah di mimpi ini. Semua rasa rindu yang selama ini menggerogoti dirinya terasa sedikit terobati, walau hanya dalam mimpi.
“Aku belajar terus, Bu… biar aku bisa hidup lebih baik… biar Ibu bangga…”
“Ibu sudah bangga…” Ibunya tersenyum lembut, mata berkaca-kaca. “Dari dulu, sejak kamu kecil. Karena kamu tidak pernah menyerah.”
Suasana menjadi lebih syahdu. Angin sejuk berhembus lembut, daun-daun pohon bergoyang seperti ikut menyimak percakapan mereka. Tidak ada kata yang lebih hangat daripada kata-kata ibunya saat itu.
Ibunya menatap Zahira dengan mata penuh kebanggaan dan kasih sayang. “Kalau kamu lelah, istirahatlah sebentar… Tapi jangan pernah berhenti. Kamu cahaya Ibu… dan kamu akan bersinar lebih dari yang kamu bayangkan.”
Pelan-pelan, tubuh sang ibu mulai bercahaya. Semakin terang, hingga siluetnya perlahan memudar. Zahira berusaha menggenggam tangan ibunya yang mulai menghilang.
“Ibu… jangan pergi dulu…” Tangannya menggenggam erat, tapi cahayanya semakin kuat, semakin terang, hingga ia tak bisa lagi mempertahankan genggaman itu.
“Ibu selalu di sini, Zahira. Bangunlah… dan teruslah melangkah.”
Cahaya itu menyelimuti Zahira, dan sesaat kemudian...
“Drrrttt… drrrttt…”
Alarm ponsel Zahira berbunyi. Matanya terbuka perlahan, bingung sejenak. Namun, ketika matanya menatap sekelilingnya, semuanya kembali seperti semula. Meja belajar, buku-buku, dan sisa roti tawar masih di tempat semula. Hanya perasaan hangat yang berbeda, yang kini mengisi dadanya.
Zahira menatap jendela, tempat cahaya pagi mengintip perlahan. Matanya berkaca-kaca. Ada kekuatan baru yang mengalir dalam dirinya, yang membangkitkan semangatnya. Air matanya mengalir tanpa ia sadari, tetapi kali ini, air mata itu bukan lagi air mata kesedihan, melainkan air mata harapan.
“Terima kasih, Ibu…” bisiknya, seraya menegakkan tubuh.
udah up banyakkkk..
❤❤❤❤❤❤❤
so sweet bangettttt..
❤❤❤❤❤❤❤
😀😀😀😀😀❤❤❤❤❤❤
kirain gak diterusin seperti novel santi adam..
kapan2 lanjutin ya kakkk...
❤❤❤❤❤
yg lagi jqtuh cintaaaaa...
❤❤❤❤❤❤❤
zayn3..
❤❤❤❤❤
zayn cemburuuuuuu....
samperin aja kontrakan zahira nanti malam..
.
bilang kmu cemburu..
biar zahira gak nemuin caren lagi..
❤❤❤❤❤
zahira3..
❤❤❤❤❤
padahal tadi kan udah dibilang.
salah jg agpp.
tunjuk tangan aja harusnya..
❤❤❤❤❤❤
bagus ceritanya...