Leon Harrington seorang hakim yang tegas dan adil, Namun, ia berselingkuh sehingga membuat tunangannya, Jade Valencia merasa kecewa dan pergi meninggalkan kota kelahirannya.
Setelah berpisah selama lima tahun, Mereka dipertemukan kembali. Namun, situasi mereka berbeda. Leon sebagai Hakim dan Jade sebagai pembunuh yang akan dijatuhkan hukuman mati oleh Leon sendiri.
Akankah hubungan mereka mengalami perubahan setelah pertemuan kembali? Keputusan apa yang akan dilakukan oleh Leon? Apakah ia akan membantu mantan tunangannya atau memilih lepas tangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari arah pintu.
Pria yang menyamar sebagai dokter itu menoleh cepat, refleks, dan matanya langsung membelalak kaget. Di ambang pintu berdiri seorang pria tegap dengan sorot mata penuh ketegasan.
"Selamat, rencanamu gagal!" ucap pria itu dingin.
Cahaya lampu dari langit-langit ruangan menyorot wajahnya—Leon Harrington.
"K-Kau...," gumam pria itu tak percaya. Pandangannya langsung terarah ke ranjang tempat Leon seharusnya terbaring koma.
Orang yang terbaring di sana tiba-tiba bangkit. Dengan tenang, ia melepas masker oksigen dari wajahnya dan mencabut jarum infus dari tangannya. Tidak ada luka, tidak ada reaksi lemah. Kantong infus pun ternyata tidak terhubung—selangnya hanya meneteskan cairan sia-sia ke lantai.
"Kau sudah terjebak," ucap pria yang baru bangkit itu dengan nada tegas.
Ia adalah Jacob, rekan kepercayaan Leon. Wajahnya menunjukkan kepuasan karena rencana penyusup itu berhasil digagalkan.
"T-Tidak mungkin...! Kau belum sadar... Kami sudah memastikan pada dokter...!" seru pria penyusup itu, suaranya penuh kebingungan dan kepanikan.
Leon melangkah maju, senyumnya tenang namun mengandung peringatan yang mematikan.
"Aku sudah sadar seminggu yang lalu. Semua ini berkat kerja keras rekan-rekanku yang mencium gerakan aneh dari pihak keluarga lima pelaku. Kami tahu mereka akan bertindak," ungkap Leon. Suaranya datar namun penuh keyakinan.
Tiba-tiba, pria itu mengeluarkan senjata tajam dari balik jas dokternya dan melesat cepat menyerang Leon dengan teriakan marah.
Leon bereaksi sigap, tubuhnya bergerak menghindar ke samping. Ia memutar tubuh dan dengan satu tendangan kuat, menghantam tangan lawannya hingga senjata itu terlepas dan jatuh ke lantai dengan suara nyaring.
Tanpa memberi waktu, Leon menghantam perut pria itu dengan tendangan keras, membuatnya terhempas ke lantai dan mengerang kesakitan.
Pria itu terbatuk keras, tubuhnya meringkuk. Namun Leon tetap berdiri tegak, matanya tajam menatap musuhnya yang kini tak berdaya.
"Namamu adalah Hendry. Aku sudah selidiki. Dan aku akan pastikan kau, juga dalang di balik semua ini, tidak akan lolos dari hukum," ujarnya lantang.
Leon melangkah pelan ke arah Hendry yang kini terpojok, lalu menunduk sedikit dan melanjutkan kalimatnya dengan suara rendah namun menghantam:
"Meski mereka punya hubungan dengan petinggi negara... hukum tetap akan berjalan. Aku adalah Hakim Negara. Dan tugasku… adalah memastikan keadilan ditegakkan, tanpa pengecualian."
Jacob menyalakan radio kecil di sakunya dan berkata ke arah alat itu, "Tim masuk sekarang. Target berhasil diamankan."
Terdengar suara langkah cepat di koridor. Pasukan polisi masuk dengan senjata terangkat, langsung memborgol Hendry yang mencoba melawan.
Jade yang terbaring di ranjangnya perlahan membuka mata, lalu bangkit dengan wajah kesal. Ia meluruskan tubuhnya yang masih terasa pegal akibat terlalu lama berbaring.
"Berisik sekali… Aku ini pasien Apa kalian tidak bisa seret saja dia keluar dan hajar sampai puas? Atau butuh bantuan dariku?" ucapnya sambil menguap lebar, suara khasnya penuh sarkasme.
Jacob dan Leon menoleh ke arahnya hampir bersamaan. Jacob hanya tersenyum kecil, sedangkan Leon menggeleng pelan.
"Maaf, mengganggu tidur nyenyakmu, Nona Valencia. Tapi sepertinya kamu sudah terlalu lama menikmati ruangan ini. Sudah cukup berbulan-bulan," sindir Leon, menatap Jade dengan tatapan geli.
Jade menatap Leon tajam, lalu menyibak selimutnya dan turun dari ranjang dengan gerakan cepat namun sedikit terpincang.
"Hakim Leon, Anda memang selalu seperti itu. Dingin dan kaku. Tapi di sini, setidaknya aku bisa tidur nyenyak," balasnya sambil merenggangkan tubuhnya.
"Nona, besok Anda harus menjalani pemeriksaan tulang belakang. Jadi untuk beberapa hari ke depan, Anda masih harus rawat inap. Dokter mengatakan kondisi Anda belum memungkinkan untuk banyak bergerak," jelas Jacob.
Jade mendecak kesal dan menjatuhkan tubuhnya ke kursi terdekat.
"Aku bisa mati kalau terlalu lama di sini. Udara rumah sakit ini membuatku bosan. Aku ingin pulang malam ini juga," katanya dengan nada manja yang dipaksakan, namun sorot matanya tajam.
Leon menghampirinya perlahan. Ia berdiri tegak di hadapan gadis itu dan menatapnya serius, nada suaranya berubah menjadi lebih dalam dan hangat.
"Terima kasih karena sudah bersedia bekerja sama dengan kami. Tanpamu, rencana ini mungkin akan gagal total. Tapi… untuk langkah terakhir, aku masih butuh bantuanmu," ucapnya.
Jade mendongak, alisnya terangkat dengan curiga.
"Apa lagi? Jangan mengatakan kau ingin aku menyamar jadi pasien koma lagi. Aku bisa bertarung juga, jadi aku tidak mau lagi jadi pasien," jawab Jade.
"Tetap tinggal dan jalani pemeriksaan selanjutnya, sehingga kondisimu benar-benar pulih," kata Leon dengan suara lembut namun tegas. Tatapan matanya memantul dalam cahaya lampu ruangan yang temaram.
Jade mendengus kecil, lalu menyandarkan diri ke kursi dengan lelah. "Aku sudah baikan, hanya berjalan sedikit sulit. Tapi sudah tidak apa-apa," balasnya pelan, mencoba terdengar meyakinkan meski wajahnya tak bisa menyembunyikan rasa letih dan frustrasi.
Leon menunduk, lalu menatap gadis itu lekat-lekat dengan sorot mata hangat yang jarang ia perlihatkan. Suasana menjadi lebih sunyi, seakan waktu ikut berhenti mendengar percakapan mereka.
Jacob yang menyadari atmosfer di antara keduanya mulai berubah, ia berjalan keluar meninggalkan mereka berdua.
"Harap kerja samanya. Hampir tiga bulan kamu di sini, hanya beberapa hari lagi tidak akan berpengaruh apa-apa," ujar Leon, nadanya melunak, hampir terdengar seperti permohonan.
Jade mengalihkan pandangan ke jendela, menatap langit malam yang kelam. "Kita sama-sama tertembak. Tapi kenapa kondisimu baik-baik saja dan masih bisa beraksi, sementara aku… untuk berjalan saja masih pincang?" tanyanya lirih, nada suaranya mengandung kekecewaan
Leon berdiri perlahan, menyembunyikan emosi di balik sikap tenangnya. "Karena pelurumu mengenai tulang belakang. Itu bukan hal sepele. Kami hanya ingin memastikan kamu benar-benar sembuh," jawabnya.
Jade bangkit dari kursi dengan gerakan pelan namun tegas, matanya menatap tajam ke arah Leon. "Membosankan. Sudah dua bulan lebih aku tidur, tapi masih saja tak bisa pulang. Aku rindu kasurku. Rindu kopi pagi di rumah. Rindu suara jalanan… Aku rindu hidupku," katanya seraya melangkah pelan menuju pintu.
Langkahnya tidak mantap, namun penuh tekad. Bayangan tubuhnya membaur dengan remang cahaya koridor rumah sakit.
Leon hanya diam menatap punggung gadis itu yang perlahan menjauh. Ada sesuatu di matanya yang tak biasa—sebuah emosi yang tak ingin dia akui.
"Terima kasih… karena masih hidup," gumam Leon pelan, nyaris tak terdengar.
Namun dalam hatinya, kalimat itu terasa jauh lebih dalam daripada yang ia tunjukkan di wajah. Jade berhenti sesaat di ambang pintu, namun tak berbalik. Lalu melanjutkan langkahnya dalam diam.