Seorang kultivator muda bernama Jingyu, yang hidupnya dihantui dendam atas kematian seluruh keluarganya, justru menemukan pengkhianatan paling pahit dari orang-orang terdekatnya. Kekasihnya, Luan, dan sahabatnya, Mu Lang, bersekongkol untuk mencabut jantung spiritualnya. Di ambang kematiannya, Jingyu mengetahui kebenaran mengerikan, Luan tidak hanya mengkhianatinya untuk Mu Lang, tetapi juga mengungkapkan bahwa keluarganya lah dalang di balik pembunuhan keluarga Jingyu yang selama ini ia cari. Sebuah kalung misterius menjadi harapan terakhir saat nyawanya melayang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YUKARO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jamuan Kecil!
Malam itu, langit di atas Sekte Qingyun begitu jernih, seperti cermin luas yang memantulkan cahaya rembulan. Cahaya perak mengalir di antara atap-atap ubin hijau, menyusup di sela-sela dedaunan pinus, lalu jatuh perlahan ke halaman yang tenang di depan ruangan meditasi Fengyuan. Angin malam berhembus lembut, membawa aroma teh pahit yang baru diseduh dan wangi bunga cendana dari dupa yang terbakar di altar kecil.
Pintu ruangan itu berderit pelan saat terbuka. Dari dalam, Lu Mo melangkah keluar dengan langkah ringan. Matanya yang sebelumnya terpejam dalam meditasi kini terbuka dengan pandangan cerah. Napasnya stabil, aliran Qi di tubuhnya mengalir tanpa hambatan. Getaran lembut kekuatan spiritual merambat dari tubuhnya, seperti riak halus di permukaan air danau yang tenang.
Begitu ia membuka pintu, dua sosok segera menundukkan kepala. Di depan berdiri Fengyuan, sementara di sebelahnya, muridnya Qingwan ikut menangkupkan tangan dengan hormat. Lentera di sisi pintu berayun lembut, menyoroti wajah mereka yang tampak penuh rasa hormat dan syukur.
Fengyuan melangkah maju sedikit, suaranya tenang namun mengandung kehangatan.
“Daoyo Lu,” katanya sambil membungkuk ringan. “Terima kasih karena telah menyelamatkan nyawa muridku. Jika bukan karena kehadiranmu, aku mungkin sudah kehilangan dia.”
Kata-katanya berhenti di tengah udara, seperti terpotong oleh emosi yang tak bisa diucapkan.
Lu Mo menatapnya sebentar. Sebuah senyum samar muncul di wajahnya, senyum yang tidak benar-benar hangat, tapi juga tidak dingin.
“Daoyo Feng tidak perlu terlalu sungkan,” katanya tenang. “Aku hanya melakukan apa yang perlu dilakukan.”
Fengyuan mengangguk dengan rasa hormat yang tulus. “Baiklah, Daoyo Lu.”
Mata Lu Mo kemudian berpindah pada Qingwan. Tatapan mereka bertemu. Sekilas saja, namun cukup untuk membuat jantung gadis itu berdebar keras. Dalam sekejap, matanya yang jernih bergetar. Ada sesuatu dalam sorot mata Lu Mo, sesuatu yang dalam, tak terukur, seperti jurang yang memantulkan bayangan masa lalu yang tak bisa dijangkau.
Namun, Lu Mo segera mengalihkan pandangan. “Aku akan kembali. Jika tidak ada keperluan lain, sampaikan saja.”
Fengyuan menatapnya sebentar, lalu tersenyum tipis. “Jika Daoyo Lu tidak keberatan,” katanya dengan nada hati-hati, “aku dan muridku ingin mengadakan jamuan kecil. Sebagai bentuk ucapan terima kasih karena telah menyelamatkan Qingwan.”
Lu Mo diam sejenak. Pandangannya tetap datar, tanpa perubahan ekspresi. Namun sebelum ia sempat menjawab, Fengyuan buru-buru menambahkan, “Tentu saja, janji yang kuberikan di awal tetap berlaku.”
Hening beberapa detik. Akhirnya Lu Mo mengangguk pelan.
“Tunjukkan jalannya, Daoyo Feng.”
Fengyuan tersenyum lega. Ia memberi isyarat kepada Qingwan, lalu berjalan di depan. Qingwan mengikutinya, dan di belakang mereka Lu Mo berjalan perlahan dengan kedua tangan bersedekap di belakang tubuhnya.
Malam di Sekte Qingyun tampak hidup. Di kejauhan, beberapa murid muda berkumpul di pelataran, berdiskusi tentang teknik pedang dan kontrol Qi yang mereka latih sejak pagi. Suara tawa ringan dan semangat muda bercampur dengan desiran angin gunung. Dari arah lembah, terdengar suara serangga malam yang bersahutan seperti nyanyian yang melatari langkah mereka bertiga.
Tak lama kemudian, mereka tiba di sebuah bangunan besar di sudut sekte. Lentera merah bergoyang di depan pintu, menerangi papan kayu berukir naga emas yang menandai bahwa tempat ini adalah aula perjamuan kecil milik para tetua.
“Silakan masuk, Daoyo Lu,” kata Fengyuan sopan.
Lu Mo melangkah masuk. Aroma masakan segera menyambutnya. Di tengah ruangan, sebuah meja kayu rendah besar telah disiapkan penuh dengan hidangan, daging panggang beraroma kuat, ikan kukus berbalut rempah spiritual, sayuran hijau yang tampak segar bercahaya samar karena dimasak dengan uap Qi. Lentera-lentera di langit-langit memancarkan cahaya lembut, membuat uap panas dari makanan tampak seperti kabut spiritual yang menari di udara.
Di sisi meja, Jian Wuji sudah duduk dengan tenang. Begitu melihat Lu Mo, ia tersenyum ramah. “Daoyo Lu, duduklah. Nikmati makanan yang telah kami siapkan.”
Lu Mo mengangguk dan duduk di seberangnya. Fengyuan duduk di samping Jian Wuji, sementara Qingwan, yang semula hendak duduk di sisi gurunya, mendapat isyarat agar duduk di samping Lu Mo. Gadis itu menunduk, sedikit gugup, lalu duduk dengan hati-hati.
Lu Mo menatap meja di depannya. Hidangan di atasnya tampak menggugah selera. Warna, aroma, dan energi spiritual yang samar bergetar di udara. Semua itu menunjukkan bahwa makanan ini bukan makanan biasa, setiap bahan pasti telah dipilih dengan cermat dan dimasak dengan tangan yang berpengalaman.
“Daoyo Lu,” kata Fengyuan sambil tersenyum. “Silakan nikmati semua makanan yang bisa kau makan. Ini perayaan kecil kami atas keselamatan muridku yang paling berharga.”
Lu Mo mengangguk perlahan. “Baiklah.”
Namun saat ia hendak mengambil sumpit, Fengyuan memberi isyarat kepada Qingwan. “Qingwan, layani Senior Lu dengan baik.”
Gadis itu terkejut sesaat. Sejak sore, gurunya terus memuji lelaki ini tanpa henti, menyebutnya bijaksana, penuh wawasan, bahkan lebih dalam dari dirinya sendiri. Jian Wuji pun tak kalah. Ia menyebut Lu Mo seperti dewa yang turun dari langit. Bagi seorang kultivator tahap Pendirian Fondasi seperti Qingwan, berada di samping kultivator Core Formation tahap tengah adalah kehormatan yang jarang bisa didapatkan, apalagi sampai melayani nya.
Qingwan kemudian menunduk dan mengambil piring kecil. Dengan tangan gemetar, ia mulai menghidangkan potongan daging dan sayuran ke piring Lu Mo.
“Tidak perlu,” kata Lu Mo dingin.
Namun suara batuk kering terdengar dari arah Jian Wuji. “Jangan menolak, Daoyo Lu,” katanya dengan nada serius namun diselingi senyum. “Qingwan hanya ingin membalas budi karena kau telah menyelamatkan hidupnya. Jika kau menolak, ia bisa berkecil hati.”
Fengyuan ikut menimpali. “Benar, Daoyo Lu. Lagi pula, di Sekte Qingyun ada aturan tertulis. Jika seseorang diselamatkan, maka ia harus melayani penyelamatnya. Ini bentuk rasa hormat kami.”
Lu Mo terdiam. Matanya menyipit sedikit. Dalam hatinya ia bergumam dingin. Dasar rubah tua, kalian mencoba membuatku canggung.
Ia menghela napas kecil. “Baiklah,” katanya tenang. “Lanjutkan.”
Tatapannya jatuh pada Qingwan yang kini tersenyum malu. Ia kembali menghidangkan makanan, kali ini lebih hati-hati, seolah setiap gerakan harus sempurna. Potongan daging dipindahkan satu per satu, kuah panas dituang perlahan agar tidak tumpah. Jian Wuji dan Fengyuan saling pandang, lalu tersenyum puas, seperti dua orang tua yang baru saja berhasil mengelabui seekor harimau.
Makan malam pun dimulai. Suasana perlahan mencair. Jian Wuji sesekali tertawa kecil sambil meneguk arak, Fengyuan bercerita tentang pengalaman lamanya mengajar murid, sementara Qingwan makan sambil terus memastikan piring Lu Mo tak pernah kosong.
Lu Mo hanya diam. Ia makan perlahan, menikmati rasa yang belum pernah ia kecap sejak reinkarnasinya. Dagingnya lembut, bumbu spiritualnya menembus meridian, membuat Qi di tubuhnya mengalir lebih lancar. Setelah selesai, ia bersandar sedikit, merasakan kenyang yang jarang ia rasakan sejak hidup kembali di tubuh ini.
Melihat ekspresi puas itu, Fengyuan tersenyum lega. Ia mengambil teko teh dan menuangkan ke dalam cangkir.
“Daoyo Lu, apakah kau puas dengan rasa masakan malam ini?”
Lu Mo menatap teh yang baru dituangkan oleh Qingwan di depannya. Uapnya mengepul lembut, bercampur aroma bunga teratai putih. Gaun biru panjang gadis itu berkilau lembut di bawah cahaya lentera, menambah suasana hangat yang tenang.
“Semua makanan tadi,” kata Lu Mo pelan, “adalah makanan terlezat yang pernah kurasakan sepanjang hidupku.”
Ia menyesap teh perlahan, membiarkan kehangatannya menyebar.
Fengyuan tersenyum, ingin berbicara, namun Jian Wuji lebih dulu membuka suara.
“Jika memiliki istri yang pandai memasak seperti itu,” katanya sambil terkekeh, “hidup akan selalu bahagia. Kebahagiaan bukan hanya datang dari belaian dan kata lembut, tapi juga dari rasa masakan yang menyentuh hati.”
Qingwan langsung menundukkan kepala, wajahnya memerah. Fengyuan memperhatikan reaksi Lu Mo dengan penuh perhatian.
Lu Mo memandang ke atas, menatap langit-langit kayu yang berhiaskan lampu spiritual. Di dalam pikirannya, bayangan masa lalu muncul begitu jelas. Luan dengan senyum lembutnya, tangan halusnya yang pernah menghidangkan semangkuk bubur panas di tengah musim dingin. Saat itu, Jingyu diri lamanya percaya bahwa cinta akan kekal. Ia bahkan sempat berpikir bahwa kebahagiaan sederhana itu bisa bertahan selamanya. Tapi yang tersisa kini hanyalah bayangan dan luka.
Lu Mo menunduk, menatap cangkir di tangannya.
“Jika memang ada wanita seperti itu,” katanya perlahan, suaranya nyaris seperti bisikan namun membawa kekuatan berat di dalamnya, “aku tidak akan malu memohon pada langit untuk memberiku satu istri yang memiliki masakan sebaik itu.”
Lumo terkekeh pelan, nada tawanya samar, seolah hanya gema masa lalu yang terpantul.
Begitu mendengar itu, Fengyuan mendadak berdiri. “Kalau begitu,” katanya penuh semangat, “gadis itu adalah muridku, Qingwan!”
“Guru!” seru Qingwan dengan pipi memerah, sementara Jian Wuji hampir tersedak tehnya. Ia buru-buru meneguknya, lalu berseru, “Duduklah, Pemimpin Sekte! Jangan perlihatkan sifat tak tahu malumu di depan tamu!”
Fengyuan seketika tersadar, buru-buru duduk kembali sambil menggaruk kepalanya. Lu Mo tak kuasa menahan tawa kecil, disusul tawa Jian Wuji dan tawa malu-malu Qingwan.
Suara tawa mereka bergema lembut di dalam ruangan, berpadu dengan suara angin malam yang bertiup dari luar jendela. Malam itu, Sekte Qingyun terasa lebih hangat dari biasanya, meski di dalam hati Lu Mo, bayangan masa lalu masih bergolak, menunggu saat yang tepat untuk dibangkitkan kembali.