Cover by me
Moza Reffilia Abraham—fotografer berparas bidadari, jatuh hati sejak pandangan pertama. Abrizam Putra Bimantara—tentara teguh yang baru menyandang pangkat Kapten, justru mengunci rapat hatinya.
Pernikahan mereka lahir dari perjodohan, bukan pilihan. Abri menolak, dibayangi luka lama—pernah ditinggal kekasih saat bertugas di perbatasan. Ia takut jatuh cinta, takut kehilangan untuk kedua kalinya.
Namun kisah ini tak semudah itu.
Sosok dari masa lalu kembali hadir—seorang bawahan di kesatuan yang sejak dulu hingga sekarang menjadi pesaing dalam cinta, mengaduk luka lama dan membangkitkan kegelisahan yang nyaris tak tertahan.
Di antara tugas negara dan gejolak rasa, sang Kapten harus memilih membuka hati, atau kembali kehilangan.
Lanjut baca langsung ya disini ya👇
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika cha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertarungan Sebelum Janji
Lima helikopter mendarat mulus di lapangan kesatuan tepat pukul tujuh pagi. Debu berterbangan saat baling-baling raksasa itu berhenti berputar. Abri dan timnya turun, masih mengenakan pakaian tempur, membawa ransel besar dan senjata. Mereka baru saja menyelesaikan misi berat di desa perbatasan, berangkat pulang sejak pukul tiga dini hari.
"Masih sempat gak bang ke akad nikahan sendiri?"goda Marvin sambil menepuk bahu Abri, berjalan bersama.
Abri melirik arlojinya. “Jam sembilan akadnya,” jawabnya singkat, tapi yakin.
“Beta antar pulang, eh?” tawar Dico sambil mengusap peluh di pelipis.
Abri menggeleng lalu menepuk pundak Dico "kau pasti capek, istirahat aja. Saya bisa pulang sendiri."
"Kalau kata mamak ku, pantang bang calon pengantin keluar sendiri sebelum acara pernikahan," celetuk Ibam.
Abri tersenyum miring. “Kalau benar begitu, mungkin saya udah nggak berdiri di sini sekarang.”
Kompak empat orang itu berdecak sebal karena komandan mereka itu tidak bisa di bilangi. Abri hanya tersenyum kecil memperlihatkan lesung pipi nya saat mendengar decakan mereka.
"Kalian istrahat saja. Saya mau rap–"
"Alhamdulillah bri!" Tiba tiba saja pundak Abri di putar membuatnya spontan berbalik dan mendapati wajah mayor Malik yang nampak lega melihat dan mengamati dirinya dari ujung kepala hingga ujung kaki, seolah memastikan Abri pulang dalam kondisi utuh.
"Kenapa mayor?"
Plak!
Spontan kepala Abri di pukul oleh mayor Malik yang nampak geram dengan pertanyaan anak buahnya itu.
"Setelah kau berangkat ikut misi di detik detik pernikahan mu masih kau tanya lagi kenapa?! Hampir aja calon mertuamu itu jatuhkan rudal ke kesatuan ini waktu dia tau calon mantunya malah nekat minggat ikut misi!" Wajah jengkel mayor Malik begitu jelas tergambar disana.
Abri diam, tak lagi tau harus menanggapi apa, ia hanya garuk garuk alis merasa tak enak pada mayor Malik dan yang lain karena sudah pasti di amuk habis habisan oleh panglima jenderal Hamzah kemarin.
"Leh, Soleh!" Panggil mayor Malik pada salah satu anggotanya yang lain saat akan menjalankan apel pagi.
"Siap mayor!" Tentunya prajurit berpangkat sertu itu berlari menghampiri komandannya.
"Antar Abri pulang ke rumahnya, ingat jangan sampai dia kenapa-kenapa. Cukup kemarin kita di amuk sama panglima," Perintahnya.
Sertu Soleh mengangguk patuh. Tapi tidak dengan Abri, pria itu malah menyela ucapan mayor Malik.
"Izin mayor, tapi kita harus rapat."
Mata mayor Malik mendelik "sudah seperti ini kau masih mikirin rapat, heh?"
"Mayor." Bujuk Abri.
"Gak, gak, kau harus pulang dan di antar Soleh," keukeuh mayor Malik.
Abri menyeringai. “Sedikit.”
Memang cari gara-gara dia.
"Pulang Abri!" tegas Mayor Malik.
Dengan pasrah, Abri mengangguk.
"Sana Leh, Antar dia" Perintah mayor Malik lagi setelah menunjuk Abri. "Dico ambil alih rapat. Sisanya istirahat. Nanti malam baru pergi ke nikahan Abri," katanya pada anggota Abri yang lain yang sejak tadi hanya jadi penonton.
"Siap, komandan!"
Kini Abri sudah berada di tempat parkir bersama Sertu Soleh yang di perintahkan mayor Malik mengantarkan Abri pulang. "Kau balik aja Leh, saya bisa pulang sendiri."
“Izin, maaf Bang. Ini perintah langsung. Saya harus antar Abang sampai rumah.”
"Tenang aja, saya gak akan adukan kau ke mayor Malik."
"Maaf bang," keukeuh Sertu Soleh membuat Abri Abri berdecak. Sertu Soleh ini patuh sekali pada mayor Malik.
Dengan malas, Abri melempar kunci mobil ke arah Soleh yang langsung menangkapnya.
Namun langkah mereka terhenti tak jadi masuk ke dalam mobil saat terdengar suara meneriaki nama Abri.
"Bang Abri?!"
Abri dan Sertu Soleh menoleh bersamaan. Di sana berdiri Letnan Aji, tubuhnya masih kurus, mengenakan pakaian pasien rumah sakit. Wajahnya pucat tapi sorot matanya tajam, penuh emosi.
“Aji?”
"Keget, huh?" sahut Aji sarkastik, berjalan dengan langkah limbung tapi mantap
Abri tentu kaget melihat prilaku Aji yang tak biasa seperti ini padanya. Ia menutup kembali pintu mobil yang sudah sempat di buka, Abri mendekati Aji "bagiamana keadaanmu? Kenapa kau malah kemari dengan masih menggunakan pakaian rumah sakit?"
Aji tertawa hambar "gak usah sok khawatirkan keadaan saya!" Ia berjalan dua langkah dengan agak sempoyongan ke hadapan Abri, saling bertatap muka dengan atasannya itu. "Ini apa kapten?!" Tanyanya melempar amplop undangan pernikahan Abri dan Moza yang baru ia dapatkan.
Abri melirik sekilas amplop berwarna hijau tua berpita merah muda yang jatuh di atas paving blok itu, tampak huruf inisial dia dan Moza begitu besar di kertas amplopnya.
Jidatnya tampak mengerut bingung, ada apa dengan undangan itu? Ada apa dengan pernikahannya? Kenapa itu membuat Aji sampai marah. "Kenapa?" tanyanya tak mengerti.
Aji mengontrol diri, mati-matian ia menahan emosi agar dia tidak menonjok wajah kaptennya ini untuk yang kedua kalinya. Ya, dulu juga mereka pernah berantem jauh sebelum mereka sama-sama masuk Akmil, lebih tepatnya masih sama-sama duduk di bangku sekolah. Mereka dulu pernah satu sekolah. Aji satu tingkat di bawah Abri.
"Abang serius sama pernikahan ini atau ini hanya pelampiasan? Aku kenal Abang seperti apa. Nona saya Moza? Yang benar aja?!"
Setelah itu hening, hanya deru nafas saja yang terdengar. Abri juga tak merespon apapun yang di ucapkan oleh Aji, ia ikut bungkam. Sertu Soleh yang masih berada di sana dan tentunya menyaksikan itu juga bingung sendiri. Dia tak tau harus berbuat apa pada kedua seniornya itu.
Semetara jarum jam terus berputar, acara akad nikah juga sudah semakin dekat tapi Abri masih tak mampu berkutik, entah mengapa ucapan Aji begitu mengganggunya di detik-detik terakhir ini. Banyak pertanyaan juga perasaan yang mengerubungi pikiran dan relung jiwanya. Kesal pada diri sendiri yang tak tau harus menjawab apa. Tangan Abri terkepal di samping tubuh.
Karena Abri yang tak lekas membuka suara dan menjawab pertanyaannya, Aji mendengus dan tersenyum hambar "Abang mau mempermainkannya? Aku tau Abang menikahi nona saya karena terpaksa."
Tubuhnya letih, pikirannya pun tak jauh berbeda bahkan rasa-rasanya mau meledak. Tanpa di beritahu pun ia paham, jika saja Moza tau ia belum bisa membereskan masa lalunya di dalam sana pasti akan melukai gadis itu. Tapi Abri pun tak sejahat itu membiarkan gadis itu terluka karenanya. Abri selama ini juga sudah mencari jalan keluar untuk permasalahan ini tapi tak ia temukan, semua orang terdekatnya memberikan saran jalan satu-satunya hanya menikahi Moza yang entah memang benar atau tidak, bisa mengobati dan membersihkan serpihan luka yang tersisa.
"Nona saya akan hancur begitu tau jika calon suaminya ini masih belum bisa melupakan bayangan masa lalunya bahkan masih menyimpan rapat kenangan dengan wanita itu disini," Tunjuk Aji begitu lancang pada dada kiri Abri dimana letak organ tubuh bernama jantung itu berada.
Tunjukan tangan Aji di dada kirinya berhasil menyulut emosi Abri yang selama ini ia pendam. Ia tak kuat lagi menahan diri, kepalan tangannya semakin kuat di kedua sisi tubuh. Lagian apa hak Aji berkata seperti ini padanya? Dwika yang notabennya ipar Moza yang tau bagaimana masa lalunya saja tak seberisik Aji.
Apa adik tingkatnya ini masih memiliki dendam masa lalu yang belum tuntas sepenuhnya?
Abri mengambil satu langkah mendekati Aji dengan tatapan tak gentarnya juga dengan wajah yang sudah mengibarkan bendera permusuhan sama seperti dulu. Ia tak lagi memikirkan bahwa pria di depannya ini masih termasuk pasien rawat inap di salah satu rumah sakit.
"Hakmu apa mengurus hidupku? Kau hanya ajudan Aji, hanya ajudan Moza, a-nak tu-an mu. Jangan melewatinya batas dengan bersikap seolah-oleh kau pemiliknya."
Aji terkekeh, "ya, saya memang hanya ajudan. Ajudan nona Moza, a-nak tu-an saya." Katanya mengulangi beberapa kalimat Abri. "Tapi ajudan ini tak akan diam saja melihat nonanya akan jatuh dalam pelukan laki-laki bodoh yang masih belum beres sama Masalah yang namanya masa lalu."
Abri mengeratkan kepalan tangannya mendengar ucapan Aji itu "kau gak tau apa-apa,! Jadi saya sarankan kau diam!" Desis Abri menahan amarah yang mungkin dalam hitungan menit akan segera meledak.
Aji tertawa keras kali ini ia sampai mendongak sangking terbahak "gak tau apa-apa? Abang bercanda? Saya bahkan tau semuanya Bang Abri! Walaupun di tinggal nikah rasa cintamu sama Rania masih begitu besar! Di sini masih begitu penuh akan sosok itu" kembali Aji menunjuk dada kiri Abri tanpa izinnya.
"Lalu bagiamana dengan nona saya? Bagaimana dengan Moza?! Mau kau tempatkan dimana? Di bagian mana?! Sementara di sini semuanya penuh dengan Rania! Kenapa kau malah ingin menikahinya sementara kau sendiri gak cinta?!"
Emosi Abri akhirnya benar-benar meluap ke permukaan "ya, aku terpaksa! Aku di jodohkan! Aku menikahinya karena jenderal yang memintaku untuk menikahi anaknya! Puas, hah?!" Katanya dengan suara kencang, dadanya nampak naik turun dengan detak jantung yang juga sudah tak stabil karena emosi.
BUGH!
Kejujuran Abri membuat darah Aji tak kalah mendidih, tangannya yang sejak tadi ia tahan akhirnya benar-benar menghantam wajah tampan komandannya itu untuk kedua kalinya. Wajahnya juga ikut berubah warna.
"Berengsek! Bahkan Abang begitu jujur kalau gak menginginkan nona saya?! Jangan nikahi dia! Saya akan mencegah kau untuk tak menghadiri acara akad hari ini. Saya gak akan diam saja dan memberikan nona saya terluka gara-gara laki-laki seperti Abang!"
BUGH!
Lagi kepalan tangan Aji mendarat di wajah Abri. Sertu Soleh yang berada di sana sejak tadi menyaksikan pun lekas mendekat menghalangi Aji untuk kembali bertindak. Ia mencekal tubuh Aji.
"Kau mau menghalangi saya pun percuma. Mau sekuat apapun kau berusaha untuk tak membuat saya menikahi Moza. Itu percuma, saya akan tetap menikahi Moza karena semua kendali ada di Jenderal Hamzah," Abri menyeka darah yang keluar dari sudut bibirnya akibat pukulan dari Aji.
Abri akui walaupun tubuh Aji belum pulih sepenuhnya tenaga pria itu masih tetap sama kuatnya. Abri bahkan tak sempat mengelak dan membaca pergerakan tiba-tiba Aji.
Aji terdiam sesaat… lalu berkata lirih namun tajam. "Cukup dulu gue mengalah karena Rania memilih lo. Tapi kali ini gue gak akan mengalah untuk yang kedua kalinya!" Ucapan Aji tak lagi formal seperti tadi.
Deg!
Tunggu, apa ini?
Abri yang tadinya sibuk memegangi lukanya seketika di buat membeku karena kaget. Tubuhnya limbung sampai punggungnya menghantam body mobil. Wajah itu nampak pias, lalu selanjutnya matanya melebar begitu otaknya selesai menyimpulkan.
Aji mencintai Moza.
Pantas adik tingkatnya itu semarah ini ternyata sama seperti kejadian di masalalu. Dia menyukai Moza.
Dulu mereka pernah terjebak cinta segitiga. Dan ini kali kedua takdir yang sama terulang kembali. Tapi dengan perbedaan Abri tak mencintai Moza.
Seolah waktu terhenti. Aji melihat reaksi seniornya kembali menjelaskan dengan lugas masih dalam cekalan sertu Soleh yang belum mau melepaskannya "ya, gue cinta nona Moza, nona gue, kapten! Berulang kali gue ingin bilang hal ini sama nona Moza, tapi berulang kali gue di tampar kenyataan bahwa menantu yang di idamkan jenderal Hamzah itu bukan kayak gue."
Abri masih bungkam. Tatapannya kosong menatap Aji.
"Dulu gue, merelakan Rania sama Abang karena cinta lo dan cintanya sama besar. Tapi kali ini gak akan gue biarkan, karena keduanya gak seimbang!"
"Kau mencinta Moza?" Tanya Abri baru benar-benar pulih dari pikirannya. Ia menatap wajah Aji begitu nanar, seakan menuntut jawaban.
Keduanya kembali diam, Aji baru menyadari kalimat apa yang melompat keluar. Pandangannya menuduk seiring cekalan sertu Soleh yang ikut mengendur saat tau reaksi Aji.
Hatinya terasa di cabik-cabik begitu melihat undangan pernikahan nonanya dengan pria yang dulu juga pernah menjadi main lead di cinta segitiga mereka dan sialnya sejarah itu kini terulang kembali. Emosinya surut begitu mengingat dalam hitungan menit gadis pujaan hatinya akan menjadi milik seniornya yang mungkin akan menjadi main lead kembali di kisah cinta segitiga mereka kali ini.
"Kau mencintainya?" Tanya Abri sekali lagi karena tak kunjung di jawab oleh Aji.
Tatapan Aji naik kembali namun api membara yang begitu menyala tadi seakan padam di gantikan dengan tatapan sendu.
"Kalau iya, kenapa? Apa Abang mau merelakan nona Moza menikah dengan saya? Mau menjadikan gue gantinya dan berkorban seperti gue dulu?" Pernyataan itu bukan terdengar seperti pertanyaan tapi malah seperti saran bahkan lebih ke ejekan, terlihat jelas saat sebelah alisnya yang naik dengan sebelah bibir terangkat.
"Abang bahkan gak menginginkannya kan? Bisalah nanti walaupun kalian tetap menikah kasih gue peluang untuk berada di sisinya."
Menjengkelkan, satu kata itu pantas untuk Aji saat ini. Abri memang tidak cinta, tapi hatinya tak suka mendengar pria lain ingin bersanding dengannya, menggantikannya.
Kepalan tangan Abri yang tadi sudah mengendur kembali terkepal. "Mimpi." Desis Abri, penuh amarah.
Aji tertawa bak setan, membuat sertu Soleh merinding di buatnya. Tapi tawa Aji itu tak begitu menakutkan di mata Abri, malah itu terdengar menyedihkan juga tengah menahan kekesalan dengan lidah yang di miringkan, menyentuh kulit pipi bagian dalam.
"Berengsek!"
Umpatnya sudah akan maju kembali memukul Abri, tapi sertu Soleh menahan Aji. "Udah bang udah."
"Lepasin gue, Leh, lepasin!" Berontak Aji saat tubuhnya di cekal erat oleh sertu Soleh.
"Kenapa harus Lo, kenapa Lo lagi yang harus berurusan sama gue di saat gue udah benar-benar berdamai. Kenapa Lo lagi?!"
"Walaupun saya gak mencintainya dan cintamu begitu besar untuknya, tapi sejak dulu kau bukan pemeran utamanya begitupun sekarang. Di tambah kau juga tak pernah lebih baik dari saya."
Pernyataan sombong Abri membuat emosi Aji kian membuncah. Cekalan sertu Soleh bahkan sampai terlepas dan dengan segera Aji menghampiri Abri.
BUGH!
Kembali Aji menghantam wajah yang tadi sempat ia tinju. "Sialan!" Teriaknya murka Dengan wajah merah padam dengan tangan yang terkepal sudah sempat menghantam wajah Abri berulang kali.
BUGH!
"Nona gue orang baik-baik, dia permata di keluarganya, bahkan tak satupun orang yang boleh sembarangan menyentuh dan mendekatinya termasuk gue. Tapi Lo dengan jujur gak mencintainya, anjing!" Ia sudah duduk di atas tubuh Abri yang kini tergeletak.
Sertu Soleh berusaha untuk menarik Aji tapi tak bisa. Pria yang tengah emosi itu sangat kuat tenaganya.
BUGH!
Tap!
Abri berhasil menangkis pukulan Aji. "Jangan pancing saya Aji!" Abri tak membalas pukulan Aji walaupun ada kesempatan karena ia ingat Aji masih pasien pemulihan. Ia berusaha menahan diri.
Dada Aji naik turun, masih berada di atas tubuh senior yang juga merupakan atasannya itu ia berkata "ingat ucapan gue kapten. Lo akan kehilangan Moza dan gue sendiri yang akan merebutnya. Lihat aja," peringat Aji terakhir kali sebelum bangkit dari atas tubuh Abri dengan tersenyum hambar, lalu lanjut melangkah pergi dari sana, dari hadapan Abri.
Sementara Abri sendiri dia terdiam di tempat dan masih tergeletak di atas paving blok. Entah mengapa kekuatannya seakan hilang tak mampu untuk berdiri. Bukan karena wajah babak belur yang membuatnya tak bisa bangkit. bahkan itu tak menyakitkan sama sekali untuknya.
Tapi perkataan aja yang terakhir yang paling membuat dadanya sesak.
“Aku akan rebut Moza darimu.”
Sertu Soleh yang melihat Abri masih berbaring di atas paving block bingung harus berbuat apa, terlebih Abri mematung sambil menatap langit. apa kepalanya terlalu keras dipukul oleh Aji makanya membuat AbriI sampai seperti itu.
Soleh pun mendekat, "Bang..." panggilnya sembari mencolek tubuh Abri.
Abri hanya memberi lirikan sebagai respon. "perlu... ke rumah sakit?" tanya Soleh ragu.
Abri menggeleng. "Kita langsung ke kediaman jenderal Hamzah," katanya lalu bangkit.
“Abang... jadi menikah hari ini?” ucap Soleh ragu, pelan.
...Art kedua bang Abri 👆...
klo nnt mayor nelpon lagi, jgn diangkat ya bg abri... biar berhasil... 😂😂