Evan dipaksa menikah oleh ayahnya dengan Alya, gadis yang tidak dikenalnya. Dengan sangat terpaksa Evan menjalani pernikahan dengan gadis yang tidak dicintainya.
Evan mulai menjalani kehidupan rumah tangga bersama Alya. Perbedaan karakter dan pola pikir menjadi bumbu dalam pernikahan mereka.
Akankah pernikahan mereka berhasil? Atau mereka menyerah dan memilih untuk berpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichageul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penjual Tahu Bulat
Di dapur, Alya nampak sedang memasukkan ayam ungkep yang dibuatnya tadi ke dalam wadah. Lalu di wadah lain, dia menaruh adonan perkedel jagung. Kemudian berturut-turut ke dalam plastik, Alya memasukkan genjer, lalapan, serta bahan untuk membuat sambal. Wanita akan memasak semua di rumah sang ayah nanti.
Dimasukkan semuanya ke dalam tote bag, lalu membawanya ke ruang depan. Begitu mendengar suara motor mendekat, Alya segera keluar dari rumah. Bergegas dia mengunci pintu rumah dan menggembok pagar, kemudian naik ke belakang suaminya. Kendaraan roda dua milik Evan segera meluncur pergi menuju kediaman mertuanya.
Evan terpaksa mengambil jalan tikus, guna menghindari kemacetan yang mulai melanda menjelang jam pulang kantor. Lima belas menit kemudian, motor yang dikendarainya sudah sampai di daerah mertuanya tinggal. Dari kejauhan, sayup-sayup terdengar suara pedagang tahu bulat.
“TAHU BULEUD DIGORENG DADAKAN, HANEUT.. HANEUT.. HANEUT.. GURILEM.. GURILEM.. GURILEM.. NYA GURIH NYA PELEM.. GURIH-GURIH ENYOY. GURIH-GURIH ENYOY. TAHU BULEUD.. RASANYA… WAKWAW.”
Alya menepuk pundak suaminya, ketika mendekati mobil bak terbuka yang dijadikan tempat berjualan tahu bulat. Dia ingin mampir sebentar, meminta Irfan untuk pulang cepat agar bisa makan malam bersama.
Di atas mobil bak, Irfan nampak tidak mau diam. Sedari tadi tubuhnya terus bergoyang ke kanan dan kiri. Keringat dingin mulai membasahi keningnya. Sambil melayani pembeli dan menggoreng tahu, pria itu terus menggerakkan tubuhnya. Begitu melihat Alya mendekati mobil jualannya, dia terlihat sumringah.
“Alya!!”
Dengan cepat Irfan turun dari mobil, meninggalkan pembeli dan gorengannya begitu saja. Evan menghentikan kendaraan miliknya tepat di dekat Irfan. Keningnya mengernyit melihat wajah Irfan yang tegang, seperti tengah menahan sesuatu.
“Al.. Van.. tolong gantiin akang bentar ya. Ngga kuat, sakit perut, mules.”
“Oh iya, kang.”
“Aku pinjem motornya ya, Van. Biar cepat.”
Alya segera turun dari motor, begitu pula dengan Evan. Keduanya melepaskan helm, lalu menggantungnya di stang. Irfan segera naik ke atas motor begitu Evan turun.
“Kang, itu tas isinya makanan, taruh di dapur ya.”
“Iyaaaa..” jawab Irfan seraya memacu motor Evan.
Melihat pembeli yang masih menunggu, Alya segera naik ke atas mobil disusul Evan. Alya meminta Evan melayani pembeli, sedang dirinya menggoreng tahu dan sotong. Salah seorang anak yang sedang mengantri tahu bulat, segera berlari sambil berteriak.
“AMIIIIHHH.. NU DAGANG TAHU BULET, BULEEE!!”
Mendengar teriakan anak itu, orang-orang yang ada di sana tentu saja penasaran. Segera saja mereka menghampiri mobil tahu bulat tersebut. Ternyata apa yang diteriakan anak tadi benar adanya. Refleks mereka mengerubungi mobil untuk membeli tahu bulat sambil menyiapkan ponselnya. Kapan lagi mereka melihat seorang bule tampan berjualan tahu bulat.
“Kangbul, abi beli tahu bulat lima rebueun, bumbu pedes sama asin.”
“Abi sotongna hungkul, lima rebueun, bumbu asin keju.”
“Sebentar-sebentar, antri ya adek-adek, ibu-ibu. Bumbunya silahkan ambil dan pilih sendiri. Ayo sekarang baris!” seru Evan.
Serempak mereka yang sedari berkerumun di dekat mobil langsung berbaris untuk mengantri tahu bulat. Panjang antrian sudah seperti antrian sembako saja. Alya tak bisa menahan tawanya melihat banyaknya orang yang mengantri membeli tahu bulat demi bisa melihat suaminya.
“Kang.. tahu bulet sepuluh ribu.”
“Tahunya masih digoreng, bu. Tunggu sebentar ngga apa-apa?”
“Ngga apa-apa. Saya boleh ya foto sama akang?”
Evan hanya mengangguk pasrah. Dilarang pun mereka akan tetap mengambil gambar dirinya. Ibu itu berdiri dengan pose membelakangi Evan, kemudian menjepretkan kamera ponselnya. Apa yang dilakukan ibu tersebut, tentu saja menarik perhatian yang lain. Mereka yang masih mengantri pun ikut melakukan apa yang dilakukan ibu tadi.
Alya menaruh tahu bulat yang sudah digoreng ke dalam wadah. Dia lanjut menggoreng sotong. Orang-orang yang datang semakin banyak. Alya sampai kerepotan menggoreng tahu dan sotong. Begitu pula dengan Evan, tangannya tidak berhenti memasukkan tahu bulat atau sotong ke dalam plastik.
Lima belas menit kemudian, Irfan kembali. Dia terkejut melihat panjangnya antrian yang membeli tahu bulatnya. Pria itu segera naik ke atas mobil, lalu membantu Evan menyiapkan pesanan pembeli. Sesekali dia membantu Alya yang sibuk menggoreng tahu dan sotong.
Setengah jam kemudian, antrian berakhir, begitu pula dengan dagangan Irfan. Pria itu ternganga melihat tahu dan sotong tidak bersisa. Baru kali ini dagangannya laris manis. Tentu saja semua berkat ipar bulenya.
“Wah.. makasih, Van. Sering-sering aja bantuin akang jualan, hahaha..”
“Harus jelas bagi hasilnya, kang.”
“Hahaha.. bisa aja.”
“Kang, kita pulang dulu, ya. Jangan lupa kita makan bareng di rumah,” ujar Alya sambil turun dari mobil.
Evan memegang pinggang Alya, kemudian membantunya turun. Irfan hanya mengangkat jempolnya saja. Pria itu membereskan peralatan dagangnya sebelum pulang ke rumah sang pemilik usaha. Alya segera duduk di belakang Evan. Kendaraan dua roda tersebut segera meluncur meninggalkan mobil tahu bulat.
☘️☘️☘️
Begitu Irfan pulang, di ruang depan sudah tersedia nasi putih hangat, ayam goreng, perkedel jagung, tumis genjer, lalapan dan sambal. Perutnya seketika berbunyi, meminta segera diisi. Belum sempat pria itu duduk, terdengar suara Alya meminta tolong padanya.
“Kang, tolong panggilin pak Karta. Ajakin makan bareng kita.”
“Wokeh.”
Secepat kilat Irfan keluar dari rumah. Tak lama kemudian dia kembali bersama pak Karta. Seperti halnya Irfan, perut Karta pun langsung berbunyi melihat aneka hidangan yang tersedia. Dia segera mengambil tempat di samping Dadang. Kelima orang itu segera memulai acara makan malam.
“Gimana, mas? Enak ngga sambelnya?”
“Enak, pake banget,” Evan mengangkat jempolnya.
“Fan.. tumben jam segini udah pulang. Biasanya sampe rumah jam delapanan,” ujar Dadang.
“Dagangan hari ini laris manis, wa. Tadi Alya sama Evan bantu jual. Ternyata efek yang jualan bule bener-bener berpengaruh ya. Langsung ludes tahu bulat sama sotongnya.”
“Pasti laku. Soalnya pembeli sudah terbiasa lihat pedagang kucel kaya kamu, terus ganti yang sama yang bening-bening, ya langsung semangat belanjanya,” timpal Karta.
“Ya ampun, pak. Mulutnya jahat banget. Jadi, saya kucel gitu?”
“Hahaha… coba aja ngaca.”
Evan sampai tersedak gara-gara mendengar perbincangan Karta dan Irfan. Alya mengambilkan minuman untuk suaminya. Dadang yang melihat itu hanya tersenyum saja. Hatinya bahagia melihat putri tunggalnya hidup bahagia bersama suaminya.
“Akang tuh kalau dipikir-pikir ganteng lo,” seru Alya.
“Yang bener, Al?”
“Iya. Cuma sayang, orang-orang pada males mikir, hihihi..”
“Asem..”
Tak ayal senyum Irfan terbit juga mendengar ucapan sepupunya ini. Sekilas Evan melirik pada Irfan. Sebenarnya wajah pria itu bisa dikatakan manis. Kulitnya sawo matang, memiliki alis tebal dan hidung mancung. Hanya saja Irfan tidak pernah memperhatikan penampilannya. Jika dipoles sedikit, penampilannya lumayan juga.
“Besok pasti banyak yang nanyain nih. Kang, mana yang jual kemarin. Bakalan anyep dah besok mah.”
“Optimis, kang. Gimana kalau penampilan akang dirubah dikit.”
“Dirubah gimana?”
“Pake bajunya rapihan dikit, rambut juga dipotong, dirapihin. Minta dimodel sesuai wajah akang. Terus tuh mobil dikasih lagu, jangan teriakan tahu bulet terus. Diselang-seling aja. Kalau ada yang ngantri, puterin lagu, biar pada goyang yang ngantri. Terus kasih senyuman manis buat yang beli. Pasti pada betah beli tahu bulat ke akang.”
“Wah idenya bagus juga tuh. Tapi aku ngga punya baju bagus, maklumlah dulu kerja di pabrik pake seragam, terus lanjut jualan tahu bulat.”
“Tenang aja. Aku punya stok baju banyak. Kalau akang mau, nanti aku pilihin buat akang. Kan kita seukuran kayanya.”
“Beneran, Van?” mata Irfan nampak berbinar.
“Benar, kang. Nanti sekalian aku ajarin mix and match bajunya.”
“Alhamdulillah.. siapa tahu aja ada jodoh yang nyangkut.”
“Aamiin.. yang kenceng,” sahut Alya.
Wajah Irfan terus menyunggingkan senyuman. Membayangkan dirinya yang sudah dimake over Evan dan menjadi viral di media sosial. Penjual tahu bulat ganteng, mungkin itu berita yang berseliweran di FB atau IG, semoga saja. Irfan tertawa sendiri mengingat khayalannya.
Usai makan malam, Dadang dan Karta berbincang di teras sambil menikmati angin malam. Alya mencuci peralatan kotor, sementara Evan berbincang dengan Irfan. Mereka masih membicarakan strategi penjualan tahu bulat agar penjualannya meningkat. Selain itu, mereka juga membicarakan hal lain.
“Akang ngga punya pacar?”
“Dulu punya waktu masih kerja di pabrik. Begitu kena pecat dan banting stir jualan tahu bulat, dia minta putus. Katanya malu punya pacar jualan tahu bulat.”
“Kok gitu?”
“Yah namanya juga cewek. Makanya sekarang aku fokus kerja aja, kumpulin uang. Soal jodoh mah nanti juga ngikutin. Kamu sendiri sama Alya gimana?”
“Ya gini aja, kang. Masih dalam tahap pengenalan, penjajagan dan pacaran.”
“Tapi udah jebol gawang kan?” Irfan menaik turunkan alisnya.
“Eeeyy.. kalo itu ngga usah ditanya kang, hahaha…”
“Syukur, deh. Aku senang kalau kalian udah saling terima dan sayang. Tadinya aku pikir kamu tuh orangnya sombong, ngga akan mau berbaur sama keluarga Alya. Ternyata aku salah.”
“Tak kenal, maka tak sayang. Wajar aja sih, mungkin di awal-awal aku nyebelin, hahaha..”
Irfan ikut tertawa mendengar ucapan Evan. Ternyata suami adik sepupunya ini termasuk orang yang ramah dan mudah bergaul dengan siapa saja. Evan juga menerima keluarga Alya dengan tangan terbuka. Padahal status sosial mereka berbeda. Bukan hanya Evan, tapi Antonio dan kakak-kakak Evan juga berperilaku ramah dan humble.
“Udah selesai, Al? Mau pulang sekarang?” tanya Evan begitu melihat istrinya kembali dari dapur.
“Ayo, mas. Besok kan mas harus kerja.”
“Kang, aku pulang dulu. Soal baju, nanti aku ke sini lagi.”
“Iya, Van. Tenang aja. Makasih ya soal tadi. Aku dapet bonus dari bos gara-gara dagangan laku.”
“Iya, kang.”
Bersama dengan Alya, Evan keluar dari rumah. Mereka berpamitan pada Dadang dan juga Karta. Tak lupa Irfan mengantar sampai ke depan rumah. Seperti biasa, Evan memakaikan helm pada istrinya. Dia juga meminta Alya memakai jaketnya karena hari sudah malam.
“Pulang dulu, pak, kang. Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam.”
☘️☘️☘️
Sambil mengusak rambutnya yang basah, Evan mendekati Alya yang duduk di sisi ranjang. Dia sedang berbalas pesan dengan Kiara tentang hasil ujian saringan masuk yang sedianya akan keluar hari ini.
“Siapa?” tanya Evan.
“Kia.. aku nanya soal pengumuman hasil ujian kemarin. Katanya hari ini.”
“Iya, pengumumannya lewat web, nanti jam sepuluh.”
“Kira-kira aku lulus ngga, mas?”
“Pasti lulus. Nanti malam kita ke rumah papa, kita nginep di sana. Kamu siapin baju, buat kamu aja. Aku ngga usah.”
“Iya, mas.”
“Kamu buat sarapan apa?”
“Aku bikinin omelet sama roti bakar aja. Ngga apa-apa kan, mas?”
“Ngga apa-apa.”
“Mas pake baju dulu, aku siapin sarapan sekarang.”
Alya segera keluar dari kamarnya lalu langsung menuju dapur untuk menyiapkan sarapan. Mendengar mereka akan menginap di rumah Antonio, Alya urung untuk berbelanja. Untuk makan siangnya, dia akan membeli makanan jadi saja.
☘️☘️☘️
Antonio menyambut senang kedatangan anak dan menantunya. Setelah menikah, baru sekarang Evan dan Alya menginap di rumahnya. Kedatangan adik dan adik iparnya, Fariz segera memasakkan makanan spesial untuk mereka.
“Bagaimana ujianmu, Al?” tanya Antonio.
“Alhamdulillah, aku lulus, pa.”
“Kalau begitu besok kamu antar Alya buat daftar ulang. Papa sudah siapkan uangnya.”
“Iya, pa,” jawab Evan.
“Nanti kalau kamu butuh buat beli buku atau apapun, bilang saja pada papa.”
“Ngga usah, pa. Aku juga bisa,” sahut Evan.
“Papa udah janji membiayai kuliah Alya. Kamu fokus saja cari uang buat kebutuhan hidup kalian. Siapa tahu Allah memberi kalian anak dalam waktu dekat.”
Uhuk.. uhuk..
Evan tersedak sendiri mendengar ucapan ayahnya. Sebenarnya Evan sendiri belum ada niatan untuk memiliki anak dalam waktu dekat. Namun mengingat dirinya selalu menyuntik Alya hampir tiap malam, bukan tidak mungkin hal itu bisa terjadi. Apalagi setelah Alya datang bulan, dia langsung tancap gas.
“Pengennya sih nanti aja punya anaknya. Aku masih mau habisin waktu berdua Alya,” Evan memegang tangan istrinya.
“Kalau gitu KB. Kalian itu masih muda, masih dalam masa subur, apalagi kalau kamu nyuntik tiap malam. Bisa bobol juga Alya.”
Uhuk.. uhuk..
Kali ini Alya yang terbatuk. Wanita itu tidak menyangka ayah mertuanya akan berbicara tanpa saringan seperti itu. Fariz terpingkal melihat wajah pasangan suami istri di depannya ini memerah. Antonio hanya mengulum senyum saja. Kapan lagi dia bisa membuat Evan malu seperti ini.
“Al.. bantuin aku pilihin baju buat kang Irfan.”
Evan memilih kabur dari pada terus dijadikan bulan-bulanan oleh ayahnya. Mendengar itu, Alya segera berdiri. Keduanya segera masuk ke dalam kamar. Terdengar tawa Antonio dan Fariz melihat tingkah pengantin baru itu.
“Papa pasti udah tenang sekarang. Evan sudah berubah sekarang,” ujar Fariz.
“Bukan berubah, tapi kembali seperti dulu. Dia berubah setelah kepergian mama kalian. Kehadiran Alya bisa menjadi pengobat rindunya. Dan sekarang anak itu menjadi lebih baik lagi, lebih bertanggung jawab dan peduli pada istrinya. Sekarang papa hanya tinggal memikirkan kamu aja.”
“Aku?”
“Iya. Kamu masih muda, kamu harus cari pengganti Sera. Apa kamu tidak mau punya keluarga dan anak seperti adik-adikmu? Semakin cepat kamu menemukan pengganti Sera, maka semakin kecil kemungkinan Sera mengganggumu. Kecuali kamu masih mau kembali padanya.”
“Ngga pa, aku ngga akan kembali padanya. Papa tenang aja.”
“Baguslah. Kalau begitu mulailah mencari wanita yang baik sebagai pasanganmu. Jangan terpuruk terlalu lama.”
Fariz hanya menganggukkan kepalanya. Walau dirinya masih belum tahu wanita seperti apa yang akan menjadi pendampingnya nanti. Namun tidak ada salahnya membuka hati pada seseorang yang baru. Kemudian Fariz teringat akan perkataan Evan tentang Riana. Mungkin saja dia akan mulai dari gadis itu. Riana adalah gadis yang baik, pintar, rajin dan ceria. Dia selalu bisa membuatnya tertawa.
☘️☘️☘️
**Kemarin di kolom komentar ada beberapa yang nangis gara² ngga tau arti lagu yang Evan nyanyiin ya🤭
Secara keseluruhan arti lagu itu tentang rasa terima kasih pria pada wanitanya yang sudah mencintainya, memberinya kehidupan yang berarti untuknya. Dicintai begitu dalam sama orang terkasih membuatnya ingin mengatakan, terima kasih sudah mencintaiku.
Nah itu artinya, sekian dan terima gaji💃💃💃**
Alya tidak tahu itu - jadi bikin Alya merasa diabaikan - tak di sayang ayahnya.
Gak jadi kabur Bro - jadi menikah nih /Facepalm/